30.7 C
Medan
Thursday, May 16, 2024

Korban Emon Menjadi 89 Anak

Emon, pelaku sodomi.
Emon, pelaku sodomi.

SUKABUMI, SUMUTPOS.CO – Bocah lelaki korban pencabulan Sobari alias Emon (24) terus bertambah hingga malam hari kemarin. Dari total 73 anak, kini bertambah lagi 16 anak yang mengaku menjadi korban Emon.

“Jadi sudah 89 anak, ada 16 anak yang baru,” kata Kapolres Sukabumi AKBP Hari Santoso, Senin (5/5).

Emon sebelumnya mengaku jumlah korbannya sebanyak 55 anak. Namun pihak kepolisian tidak mempercayainya begitu saja, ditambah sudah 89 anak yang datang melapor.

“Masih banyak, mereka melaporkan dan kita masih pilah, apakah benar atau ada orang lain?” kata Hari.

Sementara itu, pemeriksaan terhadap korban-korban Emon masih terus dilakukan. Hingga saat ini, sudah 61 anak yang selesai diperiksa.

“Ada 27 anak yang datang itu belum kita periksa lagi, tapi yang sudah di-BAP 61 anak,” ujar Hari.

Ada kemungkinan angka itu terus bertambah. Mungkinkah Emon dihukum lebih dari ancaman maksimal di UU Perlindungan Anak, yakni 15 tahun.

Hari Santoso sebelumnya mengatakan, Emon dijerat dengan Pasal 82 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak juncto Pasal 292 KUHP tentang Perbuatan Cabul juncto Pasal 64 KUHP tentang Perbuatan Kejahatan yang Dilakukan Secara Berulang.

“Karena perbuatanya dilakukan berulang dan menyebabkan banyak korban, tersangka kami jerat dengan pasal berlapis dan diancam dengan hukuman 15 tahun penjara,” kata Hari.

Namun, seiring dengan terus bertambahnya jumlah korban, desakan untuk menghukum Emon lebih tinggi pun muncul. Sebagian kalangan beranggapan, hukuman maksimal 15 tahun bui tidak cukup untuk memberi efek jera, terlebih lagi jumlah korbannya yang mendekati angka 100.

Guru besar krimonologi Universitas Indonesia Tubagus Ronny Nitibaskara mengatakan, hakim nanti harus mempertimbangkan alasan banyaknya korban dalam kasus ini. Pemberatan itu bisa saja terjadi.

“Hakim boleh saja memperberat hukumannya, karena hakim berhak melakukan itu. Ini bisa untuk efek jera, agar tidak menakuti anak-anak lagi,” kata Ronny.

Menurut Ronny, selama ini banyak orang menyepelekan kasus paedofil dan kekerasan seks karena ancaman hukumannya yang rendah. Bahkan dulu sebelum ada UU Perlindungan Anak, ancaman maksimalnya hanya lima tahun penjara.

“Ini bisa terjadi proses peniruan,” tegasnya.

Karena itu, dia mengimbau agar para penegak hukum memberlakukan hukuman yang tegas bagi para predator seksual ini. Masa depan anak menjadi pertaruhannya. (net/bbs)

Emon, pelaku sodomi.
Emon, pelaku sodomi.

SUKABUMI, SUMUTPOS.CO – Bocah lelaki korban pencabulan Sobari alias Emon (24) terus bertambah hingga malam hari kemarin. Dari total 73 anak, kini bertambah lagi 16 anak yang mengaku menjadi korban Emon.

“Jadi sudah 89 anak, ada 16 anak yang baru,” kata Kapolres Sukabumi AKBP Hari Santoso, Senin (5/5).

Emon sebelumnya mengaku jumlah korbannya sebanyak 55 anak. Namun pihak kepolisian tidak mempercayainya begitu saja, ditambah sudah 89 anak yang datang melapor.

“Masih banyak, mereka melaporkan dan kita masih pilah, apakah benar atau ada orang lain?” kata Hari.

Sementara itu, pemeriksaan terhadap korban-korban Emon masih terus dilakukan. Hingga saat ini, sudah 61 anak yang selesai diperiksa.

“Ada 27 anak yang datang itu belum kita periksa lagi, tapi yang sudah di-BAP 61 anak,” ujar Hari.

Ada kemungkinan angka itu terus bertambah. Mungkinkah Emon dihukum lebih dari ancaman maksimal di UU Perlindungan Anak, yakni 15 tahun.

Hari Santoso sebelumnya mengatakan, Emon dijerat dengan Pasal 82 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak juncto Pasal 292 KUHP tentang Perbuatan Cabul juncto Pasal 64 KUHP tentang Perbuatan Kejahatan yang Dilakukan Secara Berulang.

“Karena perbuatanya dilakukan berulang dan menyebabkan banyak korban, tersangka kami jerat dengan pasal berlapis dan diancam dengan hukuman 15 tahun penjara,” kata Hari.

Namun, seiring dengan terus bertambahnya jumlah korban, desakan untuk menghukum Emon lebih tinggi pun muncul. Sebagian kalangan beranggapan, hukuman maksimal 15 tahun bui tidak cukup untuk memberi efek jera, terlebih lagi jumlah korbannya yang mendekati angka 100.

Guru besar krimonologi Universitas Indonesia Tubagus Ronny Nitibaskara mengatakan, hakim nanti harus mempertimbangkan alasan banyaknya korban dalam kasus ini. Pemberatan itu bisa saja terjadi.

“Hakim boleh saja memperberat hukumannya, karena hakim berhak melakukan itu. Ini bisa untuk efek jera, agar tidak menakuti anak-anak lagi,” kata Ronny.

Menurut Ronny, selama ini banyak orang menyepelekan kasus paedofil dan kekerasan seks karena ancaman hukumannya yang rendah. Bahkan dulu sebelum ada UU Perlindungan Anak, ancaman maksimalnya hanya lima tahun penjara.

“Ini bisa terjadi proses peniruan,” tegasnya.

Karena itu, dia mengimbau agar para penegak hukum memberlakukan hukuman yang tegas bagi para predator seksual ini. Masa depan anak menjadi pertaruhannya. (net/bbs)

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/