26.7 C
Medan
Sunday, May 19, 2024

Hari Ini, Bharada E Ajukan Diri Jadi JC

JAKARTA, SUMUTPOS.CO – Tim Penasihat Hukum langsung menindaklanjuti keinginan Richard Eliezer Pudihang Lumiu atau Bharada E untuk menjadi justice collaborator (JC) dalam kasus dugaan pembunuhan terhadap Brigadir Polisi Yosua Hutabarat. Hari ini (8/8), mereka berniat menyampaikan permohonan resmi kepada Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) agar segera diproses. Keterangan yang selama ini belum diungkap akan mereka sampaikan.

Deolipa Yumara sebagai salah seorang anggota Tim Penasihat Hukum Bharada E mengungkapkan hal itu saat diwawancarai oleh Jawa Pos (grup Sumut Pos), kemarin (7/8). Menurut dia, Bharada E bisa membantu penyidik untuk mengungkap peran pihak lain yang jauh lebih besar. Dia berani menyatakan itu lantaran kliennya turut mengalami dan menyaksikan peristiwa yang terjadi di rumah dinas kepala Divisi Propam Polri pada 8 Juli lalu. “Bukan (hanya) meyakini. Tapi, (Bharada E) mengalami,” tegas dia.

Setelah tim penasihat hukum lama mundur dan tim penasihat hukum baru masuk, Bharada E langsung buka-bukaan. Semua keterangan yang sebelumnya tidak dia sampaikan, akhirnya dia ungkap. Deolipa menyebut, kliennya diperintah untuk melakukan tindak pidana pembunuhan. “(Diperintah oleh) atasan langsung, atasan yang dia jaga,” imbuhnya. Selain itu, Bharada E juga sudah menyampaikan pihak-pihak lain yang terlibat dalam peristiwa tersebut.

Namun demikian, Deolipa belum bisa menyampaikan nama-nama tersebut. Menurut dia, hal itu masuk dalam materi penyidikan. Sehingga pihaknya tidak bisa sembarangan membukanya kepada publik. “Nanti penyidik yang akan menyampaikan semuanya secara lengkap,” jelas dia. Setelah berubah sikap, lanjut dia, kondisi kliennya jauh lebih baik. “Saat ini orangnya tambah sehat, tambah seger,” ujar dia.

Menurut Deolipa, kliennya tidak memiliki motif apapun untuk menghabisi nyawa Yosua. Karena itu, dia yakin keterangan kliennya dapat dipertanggungjawabkan. Itu pula yang membuat mereka percaya diri segera menyampaikan permohonan kepada LPSK agar Bharada E bisa menjadi justice collaborator. “Kami mengajukan ke LPSK permohonan sebagai justice collaborator,” imbuhnya. Dengan begitu, penanganan kasus yang menyeret nama Irjen Ferdy Sambo itu semakin terang.

Sebelumnya, Bharada E juga sudah menyampaikan permohonan untuk mendapat perlindungan dari LPSK. Namun, permohonan yang diajukan oleh tim penasihat hukum lama itu sudah pasti kandas. “Karena yang bersangkutan sudah menjadi tersangka. Tentu kami tidak bisa memberikan perlindungan,” kata Ketua LPSK Hasto Atmojo Suroyo.

Namun demikian, LPSK tidak menutup diri atas perubahan sikap Bharada E dan keinginan yang bersangkutan menjadi justice collaborator. Hasto memastikan bahwa permohonan resmi tim penasihat hukum Bharada E akan direspons sesuai prosedur yang berlaku. LPSK akan memastikan lebih dulu ketersediaan Bharada E menjadi justice collaborator, memastikan Bharada E bukan pelaku utama, dan memastikan keterangan dari Bharada E signifikan pengaruhnya terhadap proses hukum yang sedang berjalan. Meski permohonan resmi belum masuk, dia menegaskan, secara prinsip LPSK juga ingin kasus tersebut tuntas.

Sesuai dengan arahan Presiden Joko Widodo, kasus itu harus dibuka apa adanya. Lebih lanjut, Hasto menyatakan bahwa ada beberapa hal yang akan diperoleh Bharada E bila sudah diberi lampu hijau menjadi justice collaborator. “Pertama berkas perkaranya dipisah dari pelaku lain, kemudian tahanannya juga dipisah untuk keamanan, yang bersangkutan juga berhak atas keringanan hukuman,” beber Hasto.

Tidak sampai di situ, LPSK juga akan berusaha memberikan layanan total dengan mencari tahu kondisi dan situasi yang dialami oleh Bharada E. “Kalau keluarga juga ikut mengalami ancaman, tentu saja kami berkewajiban untuk mengamankan keluarganya,” ujar dia. LPSK menjamin semua pihak yang berada di bawah perlindungan mereka bisa menyampaikan keterangan secara terbuka dan tanpa tekanan dari pihak manapun.

Menyusul langkah tegas Polri dengan membawa dan menempatkan Irjen Ferdy Sambo di Mako Brimob, Kelapa Dua, Depok, Jawa Barat, kemarin Polri juga telah menahan dua orang polisi. Yakni Bharada RE dan Brigadir RR. Keduanya merupakan sopir dan ajudan istri Irjen Ferdy Sambo, Putri Candrawathi. “Sudah ditahan di (Rutan) Bareskrim,” ungkap Direktur Tindak Pidana Umum (Dirtipidum) Bareskrim Polri Brigjen Pol Andi Rian.

Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Mohammad Mahfud MD menyampaikan bahwa dugaan pelanggaran etik yang dilakukan oleh Irjen Ferdy Sambo sangat mungkin turut diproses pidana. “Pengambilan CCTV itu bisa melanggar etik karena tidak cermat atau tidak profesional dan sekaligus bisa pelanggaran pidana karena obstruction of justice” terang Mahfud.

Mantan ketua Mahkamah Konstitusi (MK) itu pun menekankan bahwa proses atas dugaan pelanggaran etik bisa berjalan beriringan dengan proses hukum pidana. Mahfud menyebut, sanksi atas pelanggaran etik tidak diputus oleh hakim. Hukumannya juga bersifat administratif. “Sedangkan peradilan pidana diputus oleh hakim yang hukumannya adalah sanksi pidana seperti masuk penjara, hukuman mati, perampasan harta hasil tindak pidana, dan lain-lain,” bebernya.

Sementara itu, Pakar Hukum Pidana Mudzakir Universitas Islam Indonesia (UII) menyatakan, dalam menjerat Bharada E, Tim Khusus menggunakan Pasal 338 KUHP juncto Pasal 55 dan Pasal 56 KUHP. Penggunaan Pasal 55 dikombinasikan dengan Pasal 56 itu menimbulkan tanda tanya. “Pasal 55 itu pasal penyertaan, yang artinya pelakunya lebih dari satu orang atau pelaku dua orang atau lebih. Siapa ini?” tuturnya.

Dengan begitu, ada orang lain yang turut melakukannya. Baik, penyuruh atau penganjur perbuatan pidana. Kondisi bahwa Bharada E itu disuruh seseorang yang punya kewenangan lebih besar atau pangkat lebih tinggi. Sehingga, membuat Bharada E tidak bisa menolak membuatnya tidak bisa dipidana. “Perlindungan terhadap Bharada E bisa berupa SP3, surat perintah penghentian penyidikan,” jelasnya.

Namun, bila ternyata Bharada E merupakan salah satu pelaku penembakan. Maka, jalan yang bisa ditempuh adalah menjadi justice collaborator. “Bukan pelaku utama dan membantu mengungkapkan kasus,” terangnya. Dia menegaskan, dalam kasus ini secepatnya Tim Khusus harus menemukan kebenaran materil. Yakni, siapa pelaku sesungguhnya, siapa eksekutor sesungguhnya, atau justru otak dan eksekutornya orang yang sama. “Ini bukan perkara sulit tidak sulit seperti yang disebut Menko Polhukam Mahfud MD, melainkan berani tidak berani. Kalau profesional itu syaratnya obyektif dan berani,” tegasnya kepada Jawa Pos.

Meski tidak sebanyak dua hari lalu (6/8), kemarin masih ada personel Korps Brimob yang berdatangan dan bersiaga di sekitar Bareskrim. Menurut Pengamat Kepolisian Bambang Rukminto, kehadiran Brimob itu justru memberikan kesan sebagai dukungan terhadap Bareskrim untuk menuntaskan kasus dengan transparan dan seadil mungkin. “Bentuk dukungan ke Bareskrim,” jelasnya.

Bukan hanya ke Bareskrim, pengerahan pasukan itu juga merupakan bentuk dukungan kepada Bharada E. Diketahui Bharada E merupakan anggota Brimob yang diperbantukan ke Divisi Propam Polri. “Agar Bharada E mendapatkan keadilan semestinya tanpa ada tekanan,” ungkapnya. Menurutnya, pengamanan untuk Bharada E menjadi sangat penting karena menjadi saksi pelaku. Yang memiliki banyak informasi yang bisa digali untuk membuka kasus seterang mungkin. “Persoalan terbukti atau tidak, nanti di pengadilan,” urainya.

Berdasar sumber Jawa Pos, Bharada E memang belum lama diberi izin untuk membawa dan menggunakan senjata api. Sumber itu menyebut, jumlah orang yang masuk dan berada di rumah dinas kepala Divisi Propam Polri saat peristiwa terjadi lebih dari tiga orang. “Kuncinya ya di-file dan barang bukti yang dihilangkan,” ungkapnya. Dia pun menyampaikan bahwa Bharada E tidak bertindak sendiri. “Kambing hitam,” imbuh dia. (idr/syn/jpg)

 

JAKARTA, SUMUTPOS.CO – Tim Penasihat Hukum langsung menindaklanjuti keinginan Richard Eliezer Pudihang Lumiu atau Bharada E untuk menjadi justice collaborator (JC) dalam kasus dugaan pembunuhan terhadap Brigadir Polisi Yosua Hutabarat. Hari ini (8/8), mereka berniat menyampaikan permohonan resmi kepada Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) agar segera diproses. Keterangan yang selama ini belum diungkap akan mereka sampaikan.

Deolipa Yumara sebagai salah seorang anggota Tim Penasihat Hukum Bharada E mengungkapkan hal itu saat diwawancarai oleh Jawa Pos (grup Sumut Pos), kemarin (7/8). Menurut dia, Bharada E bisa membantu penyidik untuk mengungkap peran pihak lain yang jauh lebih besar. Dia berani menyatakan itu lantaran kliennya turut mengalami dan menyaksikan peristiwa yang terjadi di rumah dinas kepala Divisi Propam Polri pada 8 Juli lalu. “Bukan (hanya) meyakini. Tapi, (Bharada E) mengalami,” tegas dia.

Setelah tim penasihat hukum lama mundur dan tim penasihat hukum baru masuk, Bharada E langsung buka-bukaan. Semua keterangan yang sebelumnya tidak dia sampaikan, akhirnya dia ungkap. Deolipa menyebut, kliennya diperintah untuk melakukan tindak pidana pembunuhan. “(Diperintah oleh) atasan langsung, atasan yang dia jaga,” imbuhnya. Selain itu, Bharada E juga sudah menyampaikan pihak-pihak lain yang terlibat dalam peristiwa tersebut.

Namun demikian, Deolipa belum bisa menyampaikan nama-nama tersebut. Menurut dia, hal itu masuk dalam materi penyidikan. Sehingga pihaknya tidak bisa sembarangan membukanya kepada publik. “Nanti penyidik yang akan menyampaikan semuanya secara lengkap,” jelas dia. Setelah berubah sikap, lanjut dia, kondisi kliennya jauh lebih baik. “Saat ini orangnya tambah sehat, tambah seger,” ujar dia.

Menurut Deolipa, kliennya tidak memiliki motif apapun untuk menghabisi nyawa Yosua. Karena itu, dia yakin keterangan kliennya dapat dipertanggungjawabkan. Itu pula yang membuat mereka percaya diri segera menyampaikan permohonan kepada LPSK agar Bharada E bisa menjadi justice collaborator. “Kami mengajukan ke LPSK permohonan sebagai justice collaborator,” imbuhnya. Dengan begitu, penanganan kasus yang menyeret nama Irjen Ferdy Sambo itu semakin terang.

Sebelumnya, Bharada E juga sudah menyampaikan permohonan untuk mendapat perlindungan dari LPSK. Namun, permohonan yang diajukan oleh tim penasihat hukum lama itu sudah pasti kandas. “Karena yang bersangkutan sudah menjadi tersangka. Tentu kami tidak bisa memberikan perlindungan,” kata Ketua LPSK Hasto Atmojo Suroyo.

Namun demikian, LPSK tidak menutup diri atas perubahan sikap Bharada E dan keinginan yang bersangkutan menjadi justice collaborator. Hasto memastikan bahwa permohonan resmi tim penasihat hukum Bharada E akan direspons sesuai prosedur yang berlaku. LPSK akan memastikan lebih dulu ketersediaan Bharada E menjadi justice collaborator, memastikan Bharada E bukan pelaku utama, dan memastikan keterangan dari Bharada E signifikan pengaruhnya terhadap proses hukum yang sedang berjalan. Meski permohonan resmi belum masuk, dia menegaskan, secara prinsip LPSK juga ingin kasus tersebut tuntas.

Sesuai dengan arahan Presiden Joko Widodo, kasus itu harus dibuka apa adanya. Lebih lanjut, Hasto menyatakan bahwa ada beberapa hal yang akan diperoleh Bharada E bila sudah diberi lampu hijau menjadi justice collaborator. “Pertama berkas perkaranya dipisah dari pelaku lain, kemudian tahanannya juga dipisah untuk keamanan, yang bersangkutan juga berhak atas keringanan hukuman,” beber Hasto.

Tidak sampai di situ, LPSK juga akan berusaha memberikan layanan total dengan mencari tahu kondisi dan situasi yang dialami oleh Bharada E. “Kalau keluarga juga ikut mengalami ancaman, tentu saja kami berkewajiban untuk mengamankan keluarganya,” ujar dia. LPSK menjamin semua pihak yang berada di bawah perlindungan mereka bisa menyampaikan keterangan secara terbuka dan tanpa tekanan dari pihak manapun.

Menyusul langkah tegas Polri dengan membawa dan menempatkan Irjen Ferdy Sambo di Mako Brimob, Kelapa Dua, Depok, Jawa Barat, kemarin Polri juga telah menahan dua orang polisi. Yakni Bharada RE dan Brigadir RR. Keduanya merupakan sopir dan ajudan istri Irjen Ferdy Sambo, Putri Candrawathi. “Sudah ditahan di (Rutan) Bareskrim,” ungkap Direktur Tindak Pidana Umum (Dirtipidum) Bareskrim Polri Brigjen Pol Andi Rian.

Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Mohammad Mahfud MD menyampaikan bahwa dugaan pelanggaran etik yang dilakukan oleh Irjen Ferdy Sambo sangat mungkin turut diproses pidana. “Pengambilan CCTV itu bisa melanggar etik karena tidak cermat atau tidak profesional dan sekaligus bisa pelanggaran pidana karena obstruction of justice” terang Mahfud.

Mantan ketua Mahkamah Konstitusi (MK) itu pun menekankan bahwa proses atas dugaan pelanggaran etik bisa berjalan beriringan dengan proses hukum pidana. Mahfud menyebut, sanksi atas pelanggaran etik tidak diputus oleh hakim. Hukumannya juga bersifat administratif. “Sedangkan peradilan pidana diputus oleh hakim yang hukumannya adalah sanksi pidana seperti masuk penjara, hukuman mati, perampasan harta hasil tindak pidana, dan lain-lain,” bebernya.

Sementara itu, Pakar Hukum Pidana Mudzakir Universitas Islam Indonesia (UII) menyatakan, dalam menjerat Bharada E, Tim Khusus menggunakan Pasal 338 KUHP juncto Pasal 55 dan Pasal 56 KUHP. Penggunaan Pasal 55 dikombinasikan dengan Pasal 56 itu menimbulkan tanda tanya. “Pasal 55 itu pasal penyertaan, yang artinya pelakunya lebih dari satu orang atau pelaku dua orang atau lebih. Siapa ini?” tuturnya.

Dengan begitu, ada orang lain yang turut melakukannya. Baik, penyuruh atau penganjur perbuatan pidana. Kondisi bahwa Bharada E itu disuruh seseorang yang punya kewenangan lebih besar atau pangkat lebih tinggi. Sehingga, membuat Bharada E tidak bisa menolak membuatnya tidak bisa dipidana. “Perlindungan terhadap Bharada E bisa berupa SP3, surat perintah penghentian penyidikan,” jelasnya.

Namun, bila ternyata Bharada E merupakan salah satu pelaku penembakan. Maka, jalan yang bisa ditempuh adalah menjadi justice collaborator. “Bukan pelaku utama dan membantu mengungkapkan kasus,” terangnya. Dia menegaskan, dalam kasus ini secepatnya Tim Khusus harus menemukan kebenaran materil. Yakni, siapa pelaku sesungguhnya, siapa eksekutor sesungguhnya, atau justru otak dan eksekutornya orang yang sama. “Ini bukan perkara sulit tidak sulit seperti yang disebut Menko Polhukam Mahfud MD, melainkan berani tidak berani. Kalau profesional itu syaratnya obyektif dan berani,” tegasnya kepada Jawa Pos.

Meski tidak sebanyak dua hari lalu (6/8), kemarin masih ada personel Korps Brimob yang berdatangan dan bersiaga di sekitar Bareskrim. Menurut Pengamat Kepolisian Bambang Rukminto, kehadiran Brimob itu justru memberikan kesan sebagai dukungan terhadap Bareskrim untuk menuntaskan kasus dengan transparan dan seadil mungkin. “Bentuk dukungan ke Bareskrim,” jelasnya.

Bukan hanya ke Bareskrim, pengerahan pasukan itu juga merupakan bentuk dukungan kepada Bharada E. Diketahui Bharada E merupakan anggota Brimob yang diperbantukan ke Divisi Propam Polri. “Agar Bharada E mendapatkan keadilan semestinya tanpa ada tekanan,” ungkapnya. Menurutnya, pengamanan untuk Bharada E menjadi sangat penting karena menjadi saksi pelaku. Yang memiliki banyak informasi yang bisa digali untuk membuka kasus seterang mungkin. “Persoalan terbukti atau tidak, nanti di pengadilan,” urainya.

Berdasar sumber Jawa Pos, Bharada E memang belum lama diberi izin untuk membawa dan menggunakan senjata api. Sumber itu menyebut, jumlah orang yang masuk dan berada di rumah dinas kepala Divisi Propam Polri saat peristiwa terjadi lebih dari tiga orang. “Kuncinya ya di-file dan barang bukti yang dihilangkan,” ungkapnya. Dia pun menyampaikan bahwa Bharada E tidak bertindak sendiri. “Kambing hitam,” imbuh dia. (idr/syn/jpg)

 

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/