30 C
Medan
Tuesday, May 28, 2024

Bukan Ini Saja Korupsi di USU…

Prof Ediwarman SH MHum
Prof Ediwarman SH MHum

MEDAN, SUMUTPOS.CO – Kasus dugaan korupsi yang melanda Universitas Sumatera Utara (USU) menuai banyak sorotan dari berbagai kalangan. Kali ini, ahli hukum pidana sekaligus kriminolog, Prof Ediwarman SH MHum, angkat bicara perihal dimaksud. Direktur Program Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara (UMSU) sekaligus dosen di Fakultas USU itu tidak terkejut dengan banyaknya kasus korupsi yang melilit kampus yang berada di Jalan dr Mansyur tersebut.

Bahkan menurut Ediwarman, dugaan korupsi pada Fakultas Farmasi dan Departemen Etnomusikologi yang tengah ditangani Kejaksaan Agung (Kejagung), merupakan sebahagian kecil dari mengguritanya dugaan korupsi yang ada di USU.

“Bukan ini saja korupsi yang terjadi di USU. Banyak lagi seperti kasus tanah di Mandailing Natal, peruntukkan rumah dinas, rumah sakit dan lainnya, di mana sampai sekarang mandek tidak ada kelanjutan dari penegak hukum dalam menindak itu,” bebernya saat dijumpai Sumut Pos di kantornya Jalan Kota Baru II, Jumat sore kemarin.

Lebih lanjut, Ediwarman yang juga dosen di Fakultas Hukum USU ini mengungkapkan, seharusnya yang ditangkap adalah pimpinan teritinggi saat peristiwa hukum tersebut terjadi. “Itu (pimpinan) yang harus ditangkap bersama-sama Abdul Hadi, disaat waktu peristiwa hukum itu terjadi. Yakni pada tahun 2008, 2009 dan 2010,” tegasnya.

Dalam konteks hukum pidana, sebutnya, ada tiga bentuk penanggung jawab pidana. Pertama individu, kedua lembaga, dan terakhir siapa decision maker (pengambil keputusan) pada lembaga tersebut.

“Jadi secara kajian hukum, siapa yang bertanggung jawab pada peristiwa hukum saat itu, dia yang memegang kekuasaan di waktu tersebut,” jelasnya.

Menurut Ediwarman, Kejagung harus melihat hukum pidana yang benar itu sebagai “Low us a great antropological dacument”. Yang mana artinya sebut dia, melihat peristiwa hukum itu secara menyeluruh atau utuh. “Kalau melihat kasus korupsi dalam konteks ini, lihatlah secara utuh. Mulai dari rektor pada saat kejadian itu. Kemudian lihat ke bawah siapa pimpinan proyeknya, dekannya, dan siapa pelaksananya. Jangan yang dikenakan itu pegawai, sebab dia tak tahu apa-apa kalau tidak disuruh pimpinan,” papar Ediwarman. “Jadi pertanggungjawaban pidana itu bisa individu, pimpinan, korporasi dan juga lembaganya. Tetapi dalam kasus korupsi ini, pegawai takkan bisa berbuat banyak,jika tidak diperintahkan atasan,” tambahnya.

Disinggung apakah AH menjadi ‘tumbal’ atas kasus korupsi tersebut, ia tidak berani menyebutkan begitu. Namun menurutnya jangan yang dikorbankan hanya dibawah saja, sementara otak pelakunya seakan dikaburkan. Sebab menurut dia, posisi rektor yang menjabat sekarang hanya meneruskan kebijakan yang sudah berjalan. Sementara pertanggung jawaban seutuhnya lebih mengarah kepada mantan rektor, karena sebenarnya ialah yang berbuat.

“Seharusnya yang ditangkap itu bukan pegawai, melainkan Kejagung harus menangkap siapa rektor saat peristiwa hukum tersebut terjadi.

Siapa yang bertanggung jawab secara pidana? Pertama adalah siapa yang melakukan, siapa yang menyuruh melakukan dan siapa pimpinan pada waktu itu,” tegasnya lagi.

Dia menambahkan, berbicara korupsi dalam konteks hukum pidana tidaklah pernah bermain sendiri. Selalu permainan korupsi melibatkan 2, 3 bahkan lebih oknum yang bermain atau secara berjamaah.

“Kejagung harus jeli melihat kasus korupsi hukum. Di mana pada tahun kejadian hukum itu sebenarnya yang menjadi sasaran utama. Jangan hanya menangkap yang dibawah, namun ke atasnya tidak. Sehingga tidak ketemu yang benar itu seperti apa,” papar Ediwarman.Ia menilai, di masa kepemimpinan rektor lama kurang lebih 16 tahun, tidak mungkin berjalan mulus dan pasti ada terdapat kesalahan. Peristiwa ini seperti didesain di mana sengaja dikambinghitamkan adalah oknum yang berada dibawah.

“Kita berharap tentunya Kejagung harus jeli melihat siapa otak pelakunya. Empat unsur dalam konteks hukum pidana; yakni siapa yang berbuat, siapa yang menyuruh berbuat, kemudian yang menyuruh itu sebagai apa, lalu siapa yang bertanggung jawab dalam satu lembaga tersebut di tangan siapa, harus diperhatikan betul oleh Jaksa Agung. Sebab enggak mungkin yang dibawah berbuat kalau tidak ada perintah dari atasan,” pungkasnya. (prn/rbb)

Prof Ediwarman SH MHum
Prof Ediwarman SH MHum

MEDAN, SUMUTPOS.CO – Kasus dugaan korupsi yang melanda Universitas Sumatera Utara (USU) menuai banyak sorotan dari berbagai kalangan. Kali ini, ahli hukum pidana sekaligus kriminolog, Prof Ediwarman SH MHum, angkat bicara perihal dimaksud. Direktur Program Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara (UMSU) sekaligus dosen di Fakultas USU itu tidak terkejut dengan banyaknya kasus korupsi yang melilit kampus yang berada di Jalan dr Mansyur tersebut.

Bahkan menurut Ediwarman, dugaan korupsi pada Fakultas Farmasi dan Departemen Etnomusikologi yang tengah ditangani Kejaksaan Agung (Kejagung), merupakan sebahagian kecil dari mengguritanya dugaan korupsi yang ada di USU.

“Bukan ini saja korupsi yang terjadi di USU. Banyak lagi seperti kasus tanah di Mandailing Natal, peruntukkan rumah dinas, rumah sakit dan lainnya, di mana sampai sekarang mandek tidak ada kelanjutan dari penegak hukum dalam menindak itu,” bebernya saat dijumpai Sumut Pos di kantornya Jalan Kota Baru II, Jumat sore kemarin.

Lebih lanjut, Ediwarman yang juga dosen di Fakultas Hukum USU ini mengungkapkan, seharusnya yang ditangkap adalah pimpinan teritinggi saat peristiwa hukum tersebut terjadi. “Itu (pimpinan) yang harus ditangkap bersama-sama Abdul Hadi, disaat waktu peristiwa hukum itu terjadi. Yakni pada tahun 2008, 2009 dan 2010,” tegasnya.

Dalam konteks hukum pidana, sebutnya, ada tiga bentuk penanggung jawab pidana. Pertama individu, kedua lembaga, dan terakhir siapa decision maker (pengambil keputusan) pada lembaga tersebut.

“Jadi secara kajian hukum, siapa yang bertanggung jawab pada peristiwa hukum saat itu, dia yang memegang kekuasaan di waktu tersebut,” jelasnya.

Menurut Ediwarman, Kejagung harus melihat hukum pidana yang benar itu sebagai “Low us a great antropological dacument”. Yang mana artinya sebut dia, melihat peristiwa hukum itu secara menyeluruh atau utuh. “Kalau melihat kasus korupsi dalam konteks ini, lihatlah secara utuh. Mulai dari rektor pada saat kejadian itu. Kemudian lihat ke bawah siapa pimpinan proyeknya, dekannya, dan siapa pelaksananya. Jangan yang dikenakan itu pegawai, sebab dia tak tahu apa-apa kalau tidak disuruh pimpinan,” papar Ediwarman. “Jadi pertanggungjawaban pidana itu bisa individu, pimpinan, korporasi dan juga lembaganya. Tetapi dalam kasus korupsi ini, pegawai takkan bisa berbuat banyak,jika tidak diperintahkan atasan,” tambahnya.

Disinggung apakah AH menjadi ‘tumbal’ atas kasus korupsi tersebut, ia tidak berani menyebutkan begitu. Namun menurutnya jangan yang dikorbankan hanya dibawah saja, sementara otak pelakunya seakan dikaburkan. Sebab menurut dia, posisi rektor yang menjabat sekarang hanya meneruskan kebijakan yang sudah berjalan. Sementara pertanggung jawaban seutuhnya lebih mengarah kepada mantan rektor, karena sebenarnya ialah yang berbuat.

“Seharusnya yang ditangkap itu bukan pegawai, melainkan Kejagung harus menangkap siapa rektor saat peristiwa hukum tersebut terjadi.

Siapa yang bertanggung jawab secara pidana? Pertama adalah siapa yang melakukan, siapa yang menyuruh melakukan dan siapa pimpinan pada waktu itu,” tegasnya lagi.

Dia menambahkan, berbicara korupsi dalam konteks hukum pidana tidaklah pernah bermain sendiri. Selalu permainan korupsi melibatkan 2, 3 bahkan lebih oknum yang bermain atau secara berjamaah.

“Kejagung harus jeli melihat kasus korupsi hukum. Di mana pada tahun kejadian hukum itu sebenarnya yang menjadi sasaran utama. Jangan hanya menangkap yang dibawah, namun ke atasnya tidak. Sehingga tidak ketemu yang benar itu seperti apa,” papar Ediwarman.Ia menilai, di masa kepemimpinan rektor lama kurang lebih 16 tahun, tidak mungkin berjalan mulus dan pasti ada terdapat kesalahan. Peristiwa ini seperti didesain di mana sengaja dikambinghitamkan adalah oknum yang berada dibawah.

“Kita berharap tentunya Kejagung harus jeli melihat siapa otak pelakunya. Empat unsur dalam konteks hukum pidana; yakni siapa yang berbuat, siapa yang menyuruh berbuat, kemudian yang menyuruh itu sebagai apa, lalu siapa yang bertanggung jawab dalam satu lembaga tersebut di tangan siapa, harus diperhatikan betul oleh Jaksa Agung. Sebab enggak mungkin yang dibawah berbuat kalau tidak ada perintah dari atasan,” pungkasnya. (prn/rbb)

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/