29 C
Medan
Friday, November 22, 2024
spot_img

Langgar Tradisi untuk Kelestarian Budaya

Manjunjung Hutabarat

Lahir sebagai putra Batak memberi Manjunjung Hutabarat (27) rasa tanggung jawab untuk kelestarian kebudayaan tradisional miliknya khususnya ulos dan jungkit. Sekalipun untuk itu batasan tradisi harus dilanggar.

Ya, menenun kain atau dalam bahasa Batak disebut martonun, biasanya identik dilakukan dengan kaum hawa. Tapi, bukan berarti bagi kaum adam dilarang untuk melakukan aktivitas tersebut, seperti yang dilakukan Manjunjung Hutabarat.

Ketika ditemui pada Pameran Kartini yang dilaksanakan di Cambrigde Medan, Jumat (15/4) lalu, pria yang akrab disapa Junjung ini tengah serius dalam pekerjaannya menenun. Untaian-untaian benang berwarna hijau di alat penenunan akan dirajut menjadi songket yang dalam bahasa Batak disebut jungkit. “Sudah dua jengkal yang siap. Memang sedikit rumit dibanding membuat ulos, jadi butuh waktu agak lama,” ucapnya.

Dengan latar budaya Batak, Junjung pun memasang motif-motif yang diambil dari motif pada ulos untuk songket buatannya. Demikian pula dia menamakannya sebagai songket sadum, songket sibolang rasta, songket tumtunan, dan songket pinancaan. Begitu pun, dibanding songket batak kebanyakan, karya Junjung memiliki ciri tersendiri. Yaitu semua motif tadi dirangkai tanpa menggunakan sambungan.

Hal itu yang menjadi ciri khas songket Palembang. Teknik itu sendiri membuat penggunaan payet tidak memperlihatkan benangnya sehingga tidak mudah putus. Selain itu pria ini juga mampu menambahkan motif tambahan pada songket sesuai dengan pesanan. Seperti nama pengantin, falsafah Batak, dan lain sebagainya.
“Kita harus kreatif untuk bisa bersaing. Bagaimana kita membuat peluang dengan memahami keinginan dari konsumen dan perkembangan tren di tengah-tengah masyarakat. Kalau tidak, kebudayaan ini mungkin akan hilang,” tuturnya.

Dengan kreatif yang tidak pernah berhenti tadi, Junjung pun berhasil menciptakan saluran rezeki yang tidak sedikit. Dirinya menghasilkan Rp3.000.000 hingga Rp3.500.000 per songket yang dibuatnya. Lebih dari situ bahkan bisa didapat dari songket sutra spunsilk karyanya. Junjung juga mampu membuka gerai di Lantai II Tahap II Petisah Baru No.471 Medan untuk memajang songket-songket buatannya.Semua itu pun menjadi pembuktian Junjung akan keputusan yang dulu dianggap satu kesalahan oleh keluarga dan di tengah-tengah masyarakat Batak. Seperti yang diceritakan kepada Sumut Pos, di awal perjalanannya putra dari Arbones Hutabarat dan Nija Sihombing ini sempat dianggap aneh oleh masyarakat di lingkungannya di Tarutung. Pasalnya dalam tradisi masyarakat Batak, kegiatan menenun hanya dilakukan oleh kaum hawa.

Namun ketertarikan Junjung yang lebih besar membuatnya tak peduli pada anggapan negatif tadi. Kesan semasa kecil yang sempat dialami membantu Junjung dalam pembuatan ulos perdananya yang langsung laku terjual dengan harga Rp200.000. “Jumlah yang jauh lebih besar dari yang biasa dihasilkan laki-laki di lingkungannya dengan bekerja di sawah untuk upah Rp15.000.

Hal itu pun memotivasi Junjung untuk menekuni kegiatan menenun hingga menamatkan pendidikan di SMK Negeri 1 Tarutung. Selain membuat ulos, dirinya pun belajar pemasaran ketika menjual ulos-ulos buatannya ke pasaran. Hingga, dirinya mampu mendatangkan duit meskipun ulos yang dijual sudah habis stok.

Perkembangan pada Junjung ternyata menggelitik kaum pria di lingkungannya yang dulunya sempat memandang sebelah mata. Dimulai dari abang dan adik-adiknya laki-laki, kini kampung kelahirannya bahkan menjadi sentral pengerajin ulos Tarutung. Junjung membuat tradisi menenun ulos hanya milik wanita pada masyarakat Batak kini tidak berlaku lagi.

Pengalaman hidup selama empat tahun di Jakarta seolah mengingatkan akan panggilan hidupnya. Setelah gagal menamatkan pendidikan ilmu Komputer di Universitas Negeri Jogjakarta, dirinya sempat bekerja di sebuah perusahaan selama dua tahun. Hingga 2006, Junjung pun memutuskan untuk kembali menekuni kegiatan yang sempat ditinggalkan.

Sekembalinya dari perantauan, Junjung seolah melihat tantangan untuk mengangkat budaya tradisional tadi. Apalagi mindset masyarakat Batak terhadap benda-benda budaya seperti songket masih jauh dari akar tradisinya. Mulailah Junjung berkreasi dengan menerapkan motif ulos pada songket buatannya. Dirinya juga membuat tas dengan motif-motif Batak.

Semua itu pun membawa Junjung bergabung di Dewan Kesenian Nasional semasa Gubernur Sumatera Utara dijabat Rudolf Pardede. Junjung dipercaya mengajar menenun. Semasa itu dirinya pun memperkenalkan karya-karyanya yang ternyata diminati masyarakat luas. (jul)

Manjunjung Hutabarat

Lahir sebagai putra Batak memberi Manjunjung Hutabarat (27) rasa tanggung jawab untuk kelestarian kebudayaan tradisional miliknya khususnya ulos dan jungkit. Sekalipun untuk itu batasan tradisi harus dilanggar.

Ya, menenun kain atau dalam bahasa Batak disebut martonun, biasanya identik dilakukan dengan kaum hawa. Tapi, bukan berarti bagi kaum adam dilarang untuk melakukan aktivitas tersebut, seperti yang dilakukan Manjunjung Hutabarat.

Ketika ditemui pada Pameran Kartini yang dilaksanakan di Cambrigde Medan, Jumat (15/4) lalu, pria yang akrab disapa Junjung ini tengah serius dalam pekerjaannya menenun. Untaian-untaian benang berwarna hijau di alat penenunan akan dirajut menjadi songket yang dalam bahasa Batak disebut jungkit. “Sudah dua jengkal yang siap. Memang sedikit rumit dibanding membuat ulos, jadi butuh waktu agak lama,” ucapnya.

Dengan latar budaya Batak, Junjung pun memasang motif-motif yang diambil dari motif pada ulos untuk songket buatannya. Demikian pula dia menamakannya sebagai songket sadum, songket sibolang rasta, songket tumtunan, dan songket pinancaan. Begitu pun, dibanding songket batak kebanyakan, karya Junjung memiliki ciri tersendiri. Yaitu semua motif tadi dirangkai tanpa menggunakan sambungan.

Hal itu yang menjadi ciri khas songket Palembang. Teknik itu sendiri membuat penggunaan payet tidak memperlihatkan benangnya sehingga tidak mudah putus. Selain itu pria ini juga mampu menambahkan motif tambahan pada songket sesuai dengan pesanan. Seperti nama pengantin, falsafah Batak, dan lain sebagainya.
“Kita harus kreatif untuk bisa bersaing. Bagaimana kita membuat peluang dengan memahami keinginan dari konsumen dan perkembangan tren di tengah-tengah masyarakat. Kalau tidak, kebudayaan ini mungkin akan hilang,” tuturnya.

Dengan kreatif yang tidak pernah berhenti tadi, Junjung pun berhasil menciptakan saluran rezeki yang tidak sedikit. Dirinya menghasilkan Rp3.000.000 hingga Rp3.500.000 per songket yang dibuatnya. Lebih dari situ bahkan bisa didapat dari songket sutra spunsilk karyanya. Junjung juga mampu membuka gerai di Lantai II Tahap II Petisah Baru No.471 Medan untuk memajang songket-songket buatannya.Semua itu pun menjadi pembuktian Junjung akan keputusan yang dulu dianggap satu kesalahan oleh keluarga dan di tengah-tengah masyarakat Batak. Seperti yang diceritakan kepada Sumut Pos, di awal perjalanannya putra dari Arbones Hutabarat dan Nija Sihombing ini sempat dianggap aneh oleh masyarakat di lingkungannya di Tarutung. Pasalnya dalam tradisi masyarakat Batak, kegiatan menenun hanya dilakukan oleh kaum hawa.

Namun ketertarikan Junjung yang lebih besar membuatnya tak peduli pada anggapan negatif tadi. Kesan semasa kecil yang sempat dialami membantu Junjung dalam pembuatan ulos perdananya yang langsung laku terjual dengan harga Rp200.000. “Jumlah yang jauh lebih besar dari yang biasa dihasilkan laki-laki di lingkungannya dengan bekerja di sawah untuk upah Rp15.000.

Hal itu pun memotivasi Junjung untuk menekuni kegiatan menenun hingga menamatkan pendidikan di SMK Negeri 1 Tarutung. Selain membuat ulos, dirinya pun belajar pemasaran ketika menjual ulos-ulos buatannya ke pasaran. Hingga, dirinya mampu mendatangkan duit meskipun ulos yang dijual sudah habis stok.

Perkembangan pada Junjung ternyata menggelitik kaum pria di lingkungannya yang dulunya sempat memandang sebelah mata. Dimulai dari abang dan adik-adiknya laki-laki, kini kampung kelahirannya bahkan menjadi sentral pengerajin ulos Tarutung. Junjung membuat tradisi menenun ulos hanya milik wanita pada masyarakat Batak kini tidak berlaku lagi.

Pengalaman hidup selama empat tahun di Jakarta seolah mengingatkan akan panggilan hidupnya. Setelah gagal menamatkan pendidikan ilmu Komputer di Universitas Negeri Jogjakarta, dirinya sempat bekerja di sebuah perusahaan selama dua tahun. Hingga 2006, Junjung pun memutuskan untuk kembali menekuni kegiatan yang sempat ditinggalkan.

Sekembalinya dari perantauan, Junjung seolah melihat tantangan untuk mengangkat budaya tradisional tadi. Apalagi mindset masyarakat Batak terhadap benda-benda budaya seperti songket masih jauh dari akar tradisinya. Mulailah Junjung berkreasi dengan menerapkan motif ulos pada songket buatannya. Dirinya juga membuat tas dengan motif-motif Batak.

Semua itu pun membawa Junjung bergabung di Dewan Kesenian Nasional semasa Gubernur Sumatera Utara dijabat Rudolf Pardede. Junjung dipercaya mengajar menenun. Semasa itu dirinya pun memperkenalkan karya-karyanya yang ternyata diminati masyarakat luas. (jul)

Artikel Terkait

spot_imgspot_imgspot_img

Terpopuler

Artikel Terbaru

/