27.8 C
Medan
Thursday, May 2, 2024

Museum Alkitab yang Kontroversial Dibuka di Washington

AP Photo/Jacquelyn Martin
Pameran tentang perbudakan dan alkitab di AS dipajang di dalam Museum Alkitab, Senin, 30 Oktober 2017, di Washington.

WASHINGTON D.C., SUMUTPOS.CO – Sebuah museum yang didanai pihak swasta “Museum of the Bible” dibuka untuk publik akhir pekan lalu. Museum yang terletak di dekat gedung Kongres dan bernilai 500 juta dolar ini menghadirkan artefak kuno, benda-benda interaktif dan alkitab dari beberapa abad lalu.

Tidak mengherankan jika Museum Alkitab atau Museum of the Bible ini menghadirkan banyak kitab Injil yang bervariasi, lagu-lagu tentang kitab Injil, kisah yang menggunakan teks Hebrew seperti kisah “Laut Mati”, bahkan busana kontemporer dengan tema kitab Injil. Bagi museum yang didirikan oleh seorang penganut Kristen-Evangelis konservatif, tidak terlalu banyak hal yang mengejutkan tentang Yesus.

Direktur Eksekutif Museum of the Bible Tony Zeiss mengatakan fokusnya adalah pada kitab Injil karena ajarannya membantu memberi pedoman dalam kehidupan.

Tony mengatakan, “Banyak pelajaran yang bisa dipetik. Jadi kami memusatkan perhatian pada sejarah, narasi dan dampaknya. Kami ingin hal-hal itu menjadikan orang yang taat menjadi lebih mempelajari ajaran kitab ini.”

Tony menambahkan museum ini non-sektarian dan lebih dari 100 ilmuwan – yang mewakili beragam pandangan agama – merancang ruang-ruang pameran pada beberapa lantai di gedung yang luas ini. Ada pula sajian seni interaktif berwarna-warni, tidak saja untuk mendidik orang, tetapi juga menghibur mereka; di dalam lift sekali pun.

Mereka juga bisa mengikuti secara langsung penciptaan kembali Nazaret, kota di mana Yesus dibesarkan, lengkap dengan pohon-pohon yang dilukis tangan dan suara nyanyian burung-burung. Direktur Urusan Isi dan Materi Museum of the Bible Seth Pollinger mengatakan, “Ini bertujuan untuk menciptakan suasana yang Anda masuki. Anda akan merasa berada di tempat berbeda sebagaimana 2.000 tahun lalu.”

Museum ini didirikan oleh Steve Green, seorang penganut Kristen-Evangelis konservatif yang menghabiskan waktu bertahun-tahun untuk menyebarluaskan kisah tentang kitab Injil. Museum ini menghadirkan sejumlah artefak kuno yang mengesankan, sebagian dipinjam dari negara-negara di luar Amerika dan sebagian lainnya dari koleksi barang-barang antik yang luar biasa banyaknya milik keluarga Steve Green. Sebagian diantaranya bahkan diselundupkan keluar Irak dan dibeli keluarga itu, yang mengatakan mereka tidak tahu bahwa mereka membeli barang curian. Keluarga Green kehilangan benda-benda berharga itu dan bahkan harus membayar denda tiga juta dolar.

AP Photo/Jacquelyn Martin
Pameran tentang perbudakan dan alkitab di AS dipajang di dalam Museum Alkitab, Senin, 30 Oktober 2017, di Washington.

WASHINGTON D.C., SUMUTPOS.CO – Sebuah museum yang didanai pihak swasta “Museum of the Bible” dibuka untuk publik akhir pekan lalu. Museum yang terletak di dekat gedung Kongres dan bernilai 500 juta dolar ini menghadirkan artefak kuno, benda-benda interaktif dan alkitab dari beberapa abad lalu.

Tidak mengherankan jika Museum Alkitab atau Museum of the Bible ini menghadirkan banyak kitab Injil yang bervariasi, lagu-lagu tentang kitab Injil, kisah yang menggunakan teks Hebrew seperti kisah “Laut Mati”, bahkan busana kontemporer dengan tema kitab Injil. Bagi museum yang didirikan oleh seorang penganut Kristen-Evangelis konservatif, tidak terlalu banyak hal yang mengejutkan tentang Yesus.

Direktur Eksekutif Museum of the Bible Tony Zeiss mengatakan fokusnya adalah pada kitab Injil karena ajarannya membantu memberi pedoman dalam kehidupan.

Tony mengatakan, “Banyak pelajaran yang bisa dipetik. Jadi kami memusatkan perhatian pada sejarah, narasi dan dampaknya. Kami ingin hal-hal itu menjadikan orang yang taat menjadi lebih mempelajari ajaran kitab ini.”

Tony menambahkan museum ini non-sektarian dan lebih dari 100 ilmuwan – yang mewakili beragam pandangan agama – merancang ruang-ruang pameran pada beberapa lantai di gedung yang luas ini. Ada pula sajian seni interaktif berwarna-warni, tidak saja untuk mendidik orang, tetapi juga menghibur mereka; di dalam lift sekali pun.

Mereka juga bisa mengikuti secara langsung penciptaan kembali Nazaret, kota di mana Yesus dibesarkan, lengkap dengan pohon-pohon yang dilukis tangan dan suara nyanyian burung-burung. Direktur Urusan Isi dan Materi Museum of the Bible Seth Pollinger mengatakan, “Ini bertujuan untuk menciptakan suasana yang Anda masuki. Anda akan merasa berada di tempat berbeda sebagaimana 2.000 tahun lalu.”

Museum ini didirikan oleh Steve Green, seorang penganut Kristen-Evangelis konservatif yang menghabiskan waktu bertahun-tahun untuk menyebarluaskan kisah tentang kitab Injil. Museum ini menghadirkan sejumlah artefak kuno yang mengesankan, sebagian dipinjam dari negara-negara di luar Amerika dan sebagian lainnya dari koleksi barang-barang antik yang luar biasa banyaknya milik keluarga Steve Green. Sebagian diantaranya bahkan diselundupkan keluar Irak dan dibeli keluarga itu, yang mengatakan mereka tidak tahu bahwa mereka membeli barang curian. Keluarga Green kehilangan benda-benda berharga itu dan bahkan harus membayar denda tiga juta dolar.

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/