32.8 C
Medan
Sunday, April 28, 2024

Terusir dari Istana, Menggelandang Bersama Majikan

Foto: Boy Slamet/Jawa Pos
Museum Presidential Palace di kota Nanjing Provinsi Jiangsu, China 28/5/2017. Museum ini merupakan pusat pemerintahan pada abad ke 17, sebelum pindah ke Beijing.

SUMUTPOS.CO – Suasana Presidential Palace (Istana Kepresidenan) Nanjing pada Minggu siang (28/5) sangat ramai. Lebih dari 500 orang memadati empat loket pembelian tiket. Mayoritas berasal dari Nanjing. Sisanya adalah rombongan dari luar kota.

Masyarakat Nanjing memang tengah libur panjang. Hampir semua tempat wisata di kota yang luasnya 10 kali lipat luas Jakarta (Jakarta seluas 661 km2, sedangkan Nanjing 6.500 km2) itu ramai pengunjung. Terutama Istana Kepresidenan yang menjadi istana bagi enam dinasti awal kekaisaran Tiongkok.

Di Istana Kepresidenan itu pula sejarah yang membentuk takdir Cheng Ho terjadi. Juga, kelak di kota itulah Cheng Ho paling banyak menghabiskan waktu.

’’Selama di Tiongkok, Nanjing boleh dibilang home base Cheng Ho,’’ kata Ian Hudson, tangan kanan Gavin Menzies, penulis buku terkenal Cheng Ho, 1421, melalui e-mail. ’’Tidak di Kunyang, tidak di Beijing. Tetapi Nanjing,’’ imbuhnya.

Bermula ketika kaisar pertama Dinasti Ming, Zhu Yuanzhang, berhasil merebut Nanjing pada 1368 dan mengalahkan kaisar terakhir Dinasti Mongol Yuan, Toghon Temur. Sebagai anak kaisar, Zhu Di berhasil membuktikan dirinya sebagai pria tangguh dengan ikut serta menghancurkan bangsa Mongol di tanahnya sendiri.

Seusai kampanye penaklukan itu, Zhu Di mendapat penempatan di Ta-Tu, lalu mengganti namanya dengan Beijing. Tentu saja, saat itu Cheng Ho sudah menyertainya. Baik sebagai sahabat maupun kasim yang paling dipercaya.

Pada 1387, perangai Kaisar Zhu Yuanzhang makin aneh. Terutama setelah kematian anak pertama dan ketiganya (Zhu Di adalah anak kedua). Dia menyingkirkan banyak orang, termasuk para jenderal militernya, dengan alasan yang tak jelas. Banyak perwira militer yang dituding berkhianat, lalu dihukum pancung.

Termasuk kepada Zhu Di. Kaisar yang berjuluk Hong Wu itu bahkan menganggap Zhu Di sebagai orang Mongol. Ketika akan meninggal pada 1398, Zhu Yuanzhang menunjuk Zhu Yunwen, keponakannya, sebagai kaisar. Zhu Yunwen ini meneruskan program aneh Zhu Yuanzhang dan mengirimkan banyak pembunuh bayaran ke Beijing untuk menghabisi Zhu Di.

Terjepit, Zhu Di yang ditemani Cheng Ho meninggalkan istananya dan selama beberapa bulan hidup sebagai gelandangan di jalanan Beijing. Tidur di selokan dan siangnya menelusuri jalanan Beijing. Tentu untuk melihat situasi dan menghindari sekaligus merencanakan serangan balasan kepada para pembunuh bayaran itu.

Foto: Boy Slamet/Jawa Pos
Museum Presidential Palace di kota Nanjing Provinsi Jiangsu, China 28/5/2017. Museum ini merupakan pusat pemerintahan pada abad ke 17, sebelum pindah ke Beijing.

SUMUTPOS.CO – Suasana Presidential Palace (Istana Kepresidenan) Nanjing pada Minggu siang (28/5) sangat ramai. Lebih dari 500 orang memadati empat loket pembelian tiket. Mayoritas berasal dari Nanjing. Sisanya adalah rombongan dari luar kota.

Masyarakat Nanjing memang tengah libur panjang. Hampir semua tempat wisata di kota yang luasnya 10 kali lipat luas Jakarta (Jakarta seluas 661 km2, sedangkan Nanjing 6.500 km2) itu ramai pengunjung. Terutama Istana Kepresidenan yang menjadi istana bagi enam dinasti awal kekaisaran Tiongkok.

Di Istana Kepresidenan itu pula sejarah yang membentuk takdir Cheng Ho terjadi. Juga, kelak di kota itulah Cheng Ho paling banyak menghabiskan waktu.

’’Selama di Tiongkok, Nanjing boleh dibilang home base Cheng Ho,’’ kata Ian Hudson, tangan kanan Gavin Menzies, penulis buku terkenal Cheng Ho, 1421, melalui e-mail. ’’Tidak di Kunyang, tidak di Beijing. Tetapi Nanjing,’’ imbuhnya.

Bermula ketika kaisar pertama Dinasti Ming, Zhu Yuanzhang, berhasil merebut Nanjing pada 1368 dan mengalahkan kaisar terakhir Dinasti Mongol Yuan, Toghon Temur. Sebagai anak kaisar, Zhu Di berhasil membuktikan dirinya sebagai pria tangguh dengan ikut serta menghancurkan bangsa Mongol di tanahnya sendiri.

Seusai kampanye penaklukan itu, Zhu Di mendapat penempatan di Ta-Tu, lalu mengganti namanya dengan Beijing. Tentu saja, saat itu Cheng Ho sudah menyertainya. Baik sebagai sahabat maupun kasim yang paling dipercaya.

Pada 1387, perangai Kaisar Zhu Yuanzhang makin aneh. Terutama setelah kematian anak pertama dan ketiganya (Zhu Di adalah anak kedua). Dia menyingkirkan banyak orang, termasuk para jenderal militernya, dengan alasan yang tak jelas. Banyak perwira militer yang dituding berkhianat, lalu dihukum pancung.

Termasuk kepada Zhu Di. Kaisar yang berjuluk Hong Wu itu bahkan menganggap Zhu Di sebagai orang Mongol. Ketika akan meninggal pada 1398, Zhu Yuanzhang menunjuk Zhu Yunwen, keponakannya, sebagai kaisar. Zhu Yunwen ini meneruskan program aneh Zhu Yuanzhang dan mengirimkan banyak pembunuh bayaran ke Beijing untuk menghabisi Zhu Di.

Terjepit, Zhu Di yang ditemani Cheng Ho meninggalkan istananya dan selama beberapa bulan hidup sebagai gelandangan di jalanan Beijing. Tidur di selokan dan siangnya menelusuri jalanan Beijing. Tentu untuk melihat situasi dan menghindari sekaligus merencanakan serangan balasan kepada para pembunuh bayaran itu.

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/