32 C
Medan
Thursday, May 23, 2024

Eks Napi, Berdayakan Napi dan Kaum Marjinal

“Di situ juga saya baru tahu, bahwa panglima tertinggi hukum itu adalah hukum sosial. Istri pun harus menerima kenyataan pahit bahwa suaminya bekas narapidana. Beruntung kala itu anak saya baru berusia 3 tahun dan belum mengetahui buruknya kondisi seorang eks napi,” kenang pria kelahiran Medan, 12 November 1989 ini.

Meski berlabel mantan prilaku kriminal, dirinya tetap menjaga silaturahmi dengan kawan-kawan narapidana yang masih menjalani masa hukuman. Justru persahabatan yang terjalin semasa menjalani hukuman, mereka jadikan sarana saling menguatkan agar tetap optimis menatap masa depan.

“Tiba satu bulan setelah saya sudah bebas, seorang teman menghubungi saya melalui istrinya dengan  mengirimkan surat. Yang tadinya dia berada di Rutan Tanjung Gusta dipindah ke Rutan Kabanjahe. Dengan segala keluh kesahnya ia tuangkan dalam surat itu pada saya. Akhirnya saya dan istri memutuskan untuk menjenguk dia ke sana,” katanya.

Sesampainya di sana, Wanda baru sadar betapa beruntungnya dirinya saat itu. Karena tempat yang membina ia kala itu, adalah rutan klas I dengan fasilitas cukup baik dan memadai daripada rutan di daerah terpencil. “Andai kata saya melakukan tindak kriminal di tempat berbeda, saya tidak akan mengalami pembinaan sebaik itu. Di situ saya terus belajar bersyukur dengan hidup saya sekarang ini. Ternyata ada hikmah di balik setiap kejadian,” katanya.

Dari perasaan miris melihat kondisi rekannya itulah, alumnus SMAN 3 Medan ini memulai gerakan sosial keagamaan di dalam rutan. Yakni dimulai dari Rutan Kabanjahe dengan menghidupkan sarana ibadah di sana. “Karena saya seorang Muslim, saya menghidupkan sarana masjidnya. Dari mulai nggak ada speaker untuk mengumandangkan azan, sampai mengaktifkan Salat Jumat yang tidak pernah ada sebelumnya,” katanya.

Dibantu istri dan rekannya sesama eks napi, Wanda menjalin kerja sama dengan Kantor Urusan Agama (KUA) setempat dan menyediakan dana tiap bulan untuk kegiatan tersebut. Ia bahkan rela meminta uang dari keluarganya guna mewujudkan kegiatan positif bagi napi di Rutan Kabanjahe. “Sampai akhirnya kita tergerak melihat isu tentang anak. Kita merasa terpanggil melihat kondisi anak bangsa yang berada di tempat seperti itu (rutan, Red). Banyak hal baru saya alami dengan istri, terutama janji Tuhan sangat benar dan cukup mudah bagi Tuhan merendahkan serta meninggikan derajat seseorang,” ujar ayah dari Kanza Asyifa dan Alfa Alfarabi itu.

Mulai dari situ pulalah, Wanda dan istri membentuk Yayasan Inspirasi Bangsa. Lembaga sosial ini mereka dirikan untuk mengkaryakan eks napi sehingga punya keahlian dan mendapat pekerjaan. Bahkan mereka menjadikan tempat tinggalnya saat ini yang berada di Jl. Pondok Surya, sebagai rumah singgah bagi eks napi dan juga kaum termajinalkan. (*/bersambung)

“Di situ juga saya baru tahu, bahwa panglima tertinggi hukum itu adalah hukum sosial. Istri pun harus menerima kenyataan pahit bahwa suaminya bekas narapidana. Beruntung kala itu anak saya baru berusia 3 tahun dan belum mengetahui buruknya kondisi seorang eks napi,” kenang pria kelahiran Medan, 12 November 1989 ini.

Meski berlabel mantan prilaku kriminal, dirinya tetap menjaga silaturahmi dengan kawan-kawan narapidana yang masih menjalani masa hukuman. Justru persahabatan yang terjalin semasa menjalani hukuman, mereka jadikan sarana saling menguatkan agar tetap optimis menatap masa depan.

“Tiba satu bulan setelah saya sudah bebas, seorang teman menghubungi saya melalui istrinya dengan  mengirimkan surat. Yang tadinya dia berada di Rutan Tanjung Gusta dipindah ke Rutan Kabanjahe. Dengan segala keluh kesahnya ia tuangkan dalam surat itu pada saya. Akhirnya saya dan istri memutuskan untuk menjenguk dia ke sana,” katanya.

Sesampainya di sana, Wanda baru sadar betapa beruntungnya dirinya saat itu. Karena tempat yang membina ia kala itu, adalah rutan klas I dengan fasilitas cukup baik dan memadai daripada rutan di daerah terpencil. “Andai kata saya melakukan tindak kriminal di tempat berbeda, saya tidak akan mengalami pembinaan sebaik itu. Di situ saya terus belajar bersyukur dengan hidup saya sekarang ini. Ternyata ada hikmah di balik setiap kejadian,” katanya.

Dari perasaan miris melihat kondisi rekannya itulah, alumnus SMAN 3 Medan ini memulai gerakan sosial keagamaan di dalam rutan. Yakni dimulai dari Rutan Kabanjahe dengan menghidupkan sarana ibadah di sana. “Karena saya seorang Muslim, saya menghidupkan sarana masjidnya. Dari mulai nggak ada speaker untuk mengumandangkan azan, sampai mengaktifkan Salat Jumat yang tidak pernah ada sebelumnya,” katanya.

Dibantu istri dan rekannya sesama eks napi, Wanda menjalin kerja sama dengan Kantor Urusan Agama (KUA) setempat dan menyediakan dana tiap bulan untuk kegiatan tersebut. Ia bahkan rela meminta uang dari keluarganya guna mewujudkan kegiatan positif bagi napi di Rutan Kabanjahe. “Sampai akhirnya kita tergerak melihat isu tentang anak. Kita merasa terpanggil melihat kondisi anak bangsa yang berada di tempat seperti itu (rutan, Red). Banyak hal baru saya alami dengan istri, terutama janji Tuhan sangat benar dan cukup mudah bagi Tuhan merendahkan serta meninggikan derajat seseorang,” ujar ayah dari Kanza Asyifa dan Alfa Alfarabi itu.

Mulai dari situ pulalah, Wanda dan istri membentuk Yayasan Inspirasi Bangsa. Lembaga sosial ini mereka dirikan untuk mengkaryakan eks napi sehingga punya keahlian dan mendapat pekerjaan. Bahkan mereka menjadikan tempat tinggalnya saat ini yang berada di Jl. Pondok Surya, sebagai rumah singgah bagi eks napi dan juga kaum termajinalkan. (*/bersambung)

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/