27.8 C
Medan
Friday, May 17, 2024

Bermodal Rp300 Ribuan, Sabet Emas di Jerman

Foto: Idris/Sumut Pos
Dua siswa Chandra Kusuma School, Deliserdang, Fira Fatmasiefa (Kelas XI SMA) dan Bramasto Rahman Prasojo (Kelas IX SMP) meraih medali emas pada ajang International Conference of Young Scientis (ICYS) di Jerman, beberapa waktu lalu.

Dijelaskannya, latar belakang munculnya ide penelitian ini lahir usai mengikuti kegiatan bakti sosial di Sekolah Luar Biasa (SLB) A Yayasan Pendidikan Tuna Netra (Yapentra) Tanjungmorawa, beberapa waktu lalu. Ketika itu, seorang tuna netra bernama Berkah Stefanus ingin sekali kembali dapat membaca dan menulis.

Melihat semangat Berkah Stefanus yang kini berusia 20 tahun, lanjut Diah, hati kedua anaknya tergerak. Selanjutnya, berdiskusi dengan Bramasto untuk membantu harapan dan keinginannya itu. “Fira bercerita kepada saya sambil menangis, dan begitu juga dengan Pras,” ungkap Diah.

Menurutnya, setelah bercerita panjang lebar, Pras kemudian bilang ingin membantu mereka. Lalu, Pras mengajak Fira dan meyakinkan bahwa pasti ada yang bisa mereka bantu untuk memenuhi harapannya. “Berselang beberapa waktu, Fira dan Pras mengajak saya ke sekolah itu lagi. Setelah sampai di sekolah, dikenalkan kepada temannya itu sama kawan-kawan lainnya dan juga para guru serta kepala sekolah. Disitu, keduanya mempelajari cara pengajaran huruf braille di SLB A pada umumnya. Keduanya pun tahu bahwa untuk belajar huruf braille secara konvensional mutlak membutuhkan kehadiran guru atau pembimbing. Sehingga, ketika jam sekolah habis dan mereka berada di asrama, maka mereka tidak dapat mempelajarinya,” ulas Diah

Dari situ, muncul ide riset mereka untuk melakukan project penelitian. Misi utamanya adalah menghadirkan suatu alat atau media pembelajaran pola-pola huruf braille. Namun, alat pembelajaran itu bisa dilakukan juga untuk belajar sendiri atau tanpa bantuan.

“Proses riset ini cukup panjang dimulai dari Agustus 2016 lalu. Kemudian, riset tersebut diikutkan ke dalam seleksi tingkat provinsi pada Oktober. Setelah lolos seleksi melaju ke tahap nasional. Pada tahap seleksi itu, mereka menjelaskan kepada juri kenapa tidak diciptakan suatu alat yang bisa men-scan pola-pola huruf braille dan mengeluarkan suara. Sebab, banyak tuna netra yang kesulitan membaca huruf braille dengan konsep konvensional yaitu meraba bintil-bintil yang kecil pada media kertas. Padahal, mereka memiliki semangat dan motivasi tinggi untuk membaca,” jelas ibu dua anak ini.

Disebutkan Diah, satu alat riset hasil karya anaknya sudah diberikan kepada SLB A Yapentra. Alat itu telah digunakan dan terbukti dengan cepat mempelajari huruf-huruf braille.

“Siswa diajari terlebih dahulu 4 huruf pola braille, misalnya A, D, F dan G. Setelah mengetahui polanya seperti apa, lalu dites dengan alat itu. Apabila skornya besar, maka masih perlu belajar lagi. Namun, apabila skornya kecil maka cukup baik dan bila nol nilainya berarti sudah mengerti,” ucapnya. (bersambung/adz)

Foto: Idris/Sumut Pos
Dua siswa Chandra Kusuma School, Deliserdang, Fira Fatmasiefa (Kelas XI SMA) dan Bramasto Rahman Prasojo (Kelas IX SMP) meraih medali emas pada ajang International Conference of Young Scientis (ICYS) di Jerman, beberapa waktu lalu.

Dijelaskannya, latar belakang munculnya ide penelitian ini lahir usai mengikuti kegiatan bakti sosial di Sekolah Luar Biasa (SLB) A Yayasan Pendidikan Tuna Netra (Yapentra) Tanjungmorawa, beberapa waktu lalu. Ketika itu, seorang tuna netra bernama Berkah Stefanus ingin sekali kembali dapat membaca dan menulis.

Melihat semangat Berkah Stefanus yang kini berusia 20 tahun, lanjut Diah, hati kedua anaknya tergerak. Selanjutnya, berdiskusi dengan Bramasto untuk membantu harapan dan keinginannya itu. “Fira bercerita kepada saya sambil menangis, dan begitu juga dengan Pras,” ungkap Diah.

Menurutnya, setelah bercerita panjang lebar, Pras kemudian bilang ingin membantu mereka. Lalu, Pras mengajak Fira dan meyakinkan bahwa pasti ada yang bisa mereka bantu untuk memenuhi harapannya. “Berselang beberapa waktu, Fira dan Pras mengajak saya ke sekolah itu lagi. Setelah sampai di sekolah, dikenalkan kepada temannya itu sama kawan-kawan lainnya dan juga para guru serta kepala sekolah. Disitu, keduanya mempelajari cara pengajaran huruf braille di SLB A pada umumnya. Keduanya pun tahu bahwa untuk belajar huruf braille secara konvensional mutlak membutuhkan kehadiran guru atau pembimbing. Sehingga, ketika jam sekolah habis dan mereka berada di asrama, maka mereka tidak dapat mempelajarinya,” ulas Diah

Dari situ, muncul ide riset mereka untuk melakukan project penelitian. Misi utamanya adalah menghadirkan suatu alat atau media pembelajaran pola-pola huruf braille. Namun, alat pembelajaran itu bisa dilakukan juga untuk belajar sendiri atau tanpa bantuan.

“Proses riset ini cukup panjang dimulai dari Agustus 2016 lalu. Kemudian, riset tersebut diikutkan ke dalam seleksi tingkat provinsi pada Oktober. Setelah lolos seleksi melaju ke tahap nasional. Pada tahap seleksi itu, mereka menjelaskan kepada juri kenapa tidak diciptakan suatu alat yang bisa men-scan pola-pola huruf braille dan mengeluarkan suara. Sebab, banyak tuna netra yang kesulitan membaca huruf braille dengan konsep konvensional yaitu meraba bintil-bintil yang kecil pada media kertas. Padahal, mereka memiliki semangat dan motivasi tinggi untuk membaca,” jelas ibu dua anak ini.

Disebutkan Diah, satu alat riset hasil karya anaknya sudah diberikan kepada SLB A Yapentra. Alat itu telah digunakan dan terbukti dengan cepat mempelajari huruf-huruf braille.

“Siswa diajari terlebih dahulu 4 huruf pola braille, misalnya A, D, F dan G. Setelah mengetahui polanya seperti apa, lalu dites dengan alat itu. Apabila skornya besar, maka masih perlu belajar lagi. Namun, apabila skornya kecil maka cukup baik dan bila nol nilainya berarti sudah mengerti,” ucapnya. (bersambung/adz)

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/