30.6 C
Medan
Friday, May 17, 2024

UMP Naik Rp70 ribu, Buruh-Pengusaha Sepakat Menolak

MEDAN- Keputusan upah minimum provinsi (UMP) menimbulkan reaksi, baik dari pihak pengusaha dan buruh. Keputusan revisi UMP dari Rp1.305.000 menjadi Rp1.375. 000 masih memicu reaksi.
Sejumlah organisasi buruh, masih menuntut agar UMP Sumut sebesar Rp2,2 juta. Bila tidak, ribuan buruh dari berbagai organisasi akan turun ke jalan dan memblokir sejumlah ruas jalan dan jalan tol.

TUNTUT UPAH LAYAK:  Federasi Serikat Pekerja Metal Indonesia melakukan aksi  depan kantor Gubernur Sumatera Utara  Jalan Diponegoro, Medan, Rabu (3/10).//ANDRI GINTING/SUMUT POS
TUNTUT UPAH LAYAK: Federasi Serikat Pekerja Metal Indonesia melakukan aksi di depan kantor Gubernur Sumatera Utara di Jalan Diponegoro, Medan, Rabu (3/10).//ANDRI GINTING/SUMUT POS

Seperti dibeberkan Ketua DPC SBSI 92, Adi Sitanggang menegaskan, SBSI 1992 belum menerima keputusan. Penetapan UMP sebesar Rp1.375.000 itu merupakan pelecehan.

“Sekarang ini kami sedang mempersiapkan pertemuan-pertemuan untuk membahas aksi lebih lanjut. Mungkin dalam minggu depan kita akan melakukand demonstrasi dengan jumlah yang lebih besar daripada tanggal 21 kemarin saat kami memblokir jalan tol,” katanya.

Terpisah, Sekretaris Serikat Pekerja Nasional (SPN) Sumut, Ningsih Simatupang menegaskan, SPN menolak UMP Sumut sebesar Rp1.375.000. Pasalnya, kenaikan hanya Rp70 ribu dari UMP Sumut yang telah ditetapkan. “Kami bersama Dewan Buruh Sumatera Utara bersiap-siap untuk turun ke jalan,” ujarnya.

Lebih lanjut, Ketua SNPBI Sumut, Ahmad Havysanus Fau menegaskan, pada dasarnya SNPBI yang tergabung di Forum Lintas Buruh meminta UMP Sumut direvisi. Tapi, hasil dari revisinya masih jauh dari hidup layak.
“Kemarin kami sempat berharap dengan statemen Gubsu merevisi bisa diangka Rp2,4 juta itu yang dapat dari penghitungan beberapa lembaga. Kenyataanya kenaikan Rp170 ribu dari tahun lalu tak berarti karena nilai manfaatnya rendah,” katanya.

Sedangkan dari pihak pengusaha melalui Sekretaris Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Sumut, Laksamana Adyaksa mengatakan Apindo Sumut menunda menjatuhkan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negeri (PTUN) Medan terkait dengan revisi Upah Minimum Provinsi (UMP). Penundaan ini dilakukan hingga Surat Keterangan (SK) tersebut sudah berada ditangan Apindo.

Menurutnya, terlalu dini bagi asosiasi ini untuk melakukan tindakan, mengingat suasana saat ini belum kondusif. “Intinya, kami menolak keputusan tersebut. Kenaikan UMP sekitar Rp170 mulai setelah revisi sudah tidak sesuai dengan peraturan dan mekanisme,” ucapnya.

Laksamana menambahkan, dari berbagai pengalaman yang dilihatnya, masyarakat tidak membutuhkan gaji besar, asal harga barang akan naik. Tetapi, bila upah besar dengan harga barang tinggi, masyarakat merasa tidak akan ada gunanya upah besar. “Karena tidak bisa dielakkan, bila setiap tahun harga produk atau komponen produksi akan naik. Yang jelas akan berdampak pada harga barang yang beredar,” lanjutnya.

Dituturkannya, untuk meningkatkan kesejahteraan buruh, menaikkan upah bukanlah satu-satunya cara. Masih banyak cara lain, salah satunya dengan menaikkan produktivitas. Seperti menaikkan upah lembur, kerajinan, dan lainnya. Masa antara yang malas dan rajin upahnya sama.

“Manusia itu memiliki sifat tidak puas. Sudah ditetapkan, masih minta lebih. Nah, sekarang setelah direvisi, pasti tidak puas lagi. Nanti akan demo lagi. Ini-ini saja kerjaan kita, tidak puas, demo, naik, tidak puas lagi, demo lagi, tidak puas lagi. Itu-itu saja,” tambahnya.

Dengan keadaan yang berputar seperti itu, Laksamana menilai tugas pemerintah sebagai penengah tidak berhasil. Karena kesepakatan antara dua organisasi ini belum tercapai. “Kalau dipaksakan seperti ini. Saya berharap, agar honorer juga menuntut upah sesuai dengan UMP, biar tahu pemerintah keadaan kita juga tidak mudah,” tambahnya. (ram/don)

MEDAN- Keputusan upah minimum provinsi (UMP) menimbulkan reaksi, baik dari pihak pengusaha dan buruh. Keputusan revisi UMP dari Rp1.305.000 menjadi Rp1.375. 000 masih memicu reaksi.
Sejumlah organisasi buruh, masih menuntut agar UMP Sumut sebesar Rp2,2 juta. Bila tidak, ribuan buruh dari berbagai organisasi akan turun ke jalan dan memblokir sejumlah ruas jalan dan jalan tol.

TUNTUT UPAH LAYAK:  Federasi Serikat Pekerja Metal Indonesia melakukan aksi  depan kantor Gubernur Sumatera Utara  Jalan Diponegoro, Medan, Rabu (3/10).//ANDRI GINTING/SUMUT POS
TUNTUT UPAH LAYAK: Federasi Serikat Pekerja Metal Indonesia melakukan aksi di depan kantor Gubernur Sumatera Utara di Jalan Diponegoro, Medan, Rabu (3/10).//ANDRI GINTING/SUMUT POS

Seperti dibeberkan Ketua DPC SBSI 92, Adi Sitanggang menegaskan, SBSI 1992 belum menerima keputusan. Penetapan UMP sebesar Rp1.375.000 itu merupakan pelecehan.

“Sekarang ini kami sedang mempersiapkan pertemuan-pertemuan untuk membahas aksi lebih lanjut. Mungkin dalam minggu depan kita akan melakukand demonstrasi dengan jumlah yang lebih besar daripada tanggal 21 kemarin saat kami memblokir jalan tol,” katanya.

Terpisah, Sekretaris Serikat Pekerja Nasional (SPN) Sumut, Ningsih Simatupang menegaskan, SPN menolak UMP Sumut sebesar Rp1.375.000. Pasalnya, kenaikan hanya Rp70 ribu dari UMP Sumut yang telah ditetapkan. “Kami bersama Dewan Buruh Sumatera Utara bersiap-siap untuk turun ke jalan,” ujarnya.

Lebih lanjut, Ketua SNPBI Sumut, Ahmad Havysanus Fau menegaskan, pada dasarnya SNPBI yang tergabung di Forum Lintas Buruh meminta UMP Sumut direvisi. Tapi, hasil dari revisinya masih jauh dari hidup layak.
“Kemarin kami sempat berharap dengan statemen Gubsu merevisi bisa diangka Rp2,4 juta itu yang dapat dari penghitungan beberapa lembaga. Kenyataanya kenaikan Rp170 ribu dari tahun lalu tak berarti karena nilai manfaatnya rendah,” katanya.

Sedangkan dari pihak pengusaha melalui Sekretaris Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Sumut, Laksamana Adyaksa mengatakan Apindo Sumut menunda menjatuhkan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negeri (PTUN) Medan terkait dengan revisi Upah Minimum Provinsi (UMP). Penundaan ini dilakukan hingga Surat Keterangan (SK) tersebut sudah berada ditangan Apindo.

Menurutnya, terlalu dini bagi asosiasi ini untuk melakukan tindakan, mengingat suasana saat ini belum kondusif. “Intinya, kami menolak keputusan tersebut. Kenaikan UMP sekitar Rp170 mulai setelah revisi sudah tidak sesuai dengan peraturan dan mekanisme,” ucapnya.

Laksamana menambahkan, dari berbagai pengalaman yang dilihatnya, masyarakat tidak membutuhkan gaji besar, asal harga barang akan naik. Tetapi, bila upah besar dengan harga barang tinggi, masyarakat merasa tidak akan ada gunanya upah besar. “Karena tidak bisa dielakkan, bila setiap tahun harga produk atau komponen produksi akan naik. Yang jelas akan berdampak pada harga barang yang beredar,” lanjutnya.

Dituturkannya, untuk meningkatkan kesejahteraan buruh, menaikkan upah bukanlah satu-satunya cara. Masih banyak cara lain, salah satunya dengan menaikkan produktivitas. Seperti menaikkan upah lembur, kerajinan, dan lainnya. Masa antara yang malas dan rajin upahnya sama.

“Manusia itu memiliki sifat tidak puas. Sudah ditetapkan, masih minta lebih. Nah, sekarang setelah direvisi, pasti tidak puas lagi. Nanti akan demo lagi. Ini-ini saja kerjaan kita, tidak puas, demo, naik, tidak puas lagi, demo lagi, tidak puas lagi. Itu-itu saja,” tambahnya.

Dengan keadaan yang berputar seperti itu, Laksamana menilai tugas pemerintah sebagai penengah tidak berhasil. Karena kesepakatan antara dua organisasi ini belum tercapai. “Kalau dipaksakan seperti ini. Saya berharap, agar honorer juga menuntut upah sesuai dengan UMP, biar tahu pemerintah keadaan kita juga tidak mudah,” tambahnya. (ram/don)

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/