29 C
Medan
Sunday, April 28, 2024

Maria: Aku Mau Mereka Mati di Penjara

Foto: Rano K Hutasoit/Metro Siantar/JPNN Maria Christina Pandjaitan menangis histeris, ketika ditemui di kediaman kakak sepupunya di Kelurahan Sarimatondang, Sidamanik, Simalungun, Sumatera Utara, Rabu (4/2).
Foto: Rano K Hutasoit/Metro Siantar/JPNN
Maria Christina Pandjaitan menangis histeris, ketika ditemui di kediaman kakak sepupunya di Kelurahan Sarimatondang, Sidamanik, Simalungun, Sumatera Utara, Rabu (4/2).

MEDAN, SUMUTPOS.CO – Maria Kristina boru Panjaitan (28) yang jadi korban penyiksaan ibu tiri akhirnya membuat pengaduan ke Poldasu, Kamis (5/2) siang. Ditemani paman dan tantenya, Maria yang mengenakan celana panjang kuning dipadu jaket putih itu sempat ketakutan melihat polisi.

Saat masuk ke ruang penyidik Subdit IV Renakta Poldasu, Maria sempat terdiam beberapa saat. Ia ketakutan karena jadi bahan perhatian para polisi dan pengunjung. Beruntung paman korban, Mangasa Nainggolan langsung memberi pengertian bahwa saat itu mereka sedang berada di kantor polisi untuk meminta perlindungan. Setelah beberapa menit diyakinkan, Maria akhirnya bersedia menjalani pemeriksaan.

Di hadapan penyidik, Maria menceritakan kekejaman ibu tirinya, Septiana boru Siahaan. Sekitar 15 menit diperiksa, korban tampak keluar dari ruang penyidik sembari membawa bukti laporan No LP/136/II/2015/SPKT II. Saat ditemui ini di ruang tamu Subdit Renakta, Maria mengaku tak hanya dipukul dan distrika, tapi kerap juga dilempar Septiana dengan gelas dan batu gilingan cabai.

“Mungkin hidupku memang sudah ditakdirkan begini. Punya ibu yang kucintai tapi sudah meninggal. Punya bapak yang sehat, tapi tidak pernah mengurusku. Punya adik laki-laki (Eko-red) tapi tidak bisa menjagaku. Siapa yang mau dilahirkan tapi disiksa? Aku juga mau hidup seperti anak-anak lain, bisa sekolah dan berteman,” lirihnya dengan mata berkaca-kaca.

Dikisahkan Maria, pasca ibu kandungnya meninggal karena sakit beberapa tahun lalu, sebenarnya ia berharap ayahnya, Richard Panjaitan tak kawin lagi agar bisa fokus merawat dia dan kedua adiknya. Tapi asa Maria tak kesampaian. Pasalnya tak lama berselang, sang ayah malah menikah lagi.

“Awalnya ibu tiri itu berjanji akan merawat kami sekeluarga. Namun sejak dikaruniai anak, perangainya mulai berubah. Entah apa salahku, hingga aku yang terus menjadi sasaran kekejamannya,” kenang Maria. Sebelum pindah ke Medan, lanjut Maria, ia dan keluarganya menetap di Sibolga. Karena di sanalah ayahnya mengajar di salah satu STM Negeri.

“Mulai dari sana, aku sudah disiksa oleh ibu tiriku. Apapun yang aku lakukan, selalu salah di matanya. Membersihkan rumah atau lainnya, tetap aku salah. Cacian dan tunjangan kerap aku terima. Namun, bila ada bapak, dia seolah-olah baik, aku ditawari makan dan mencoba memperhatikanku. Tapi, setelah bapak pergi kerja, habislah aku. Saat masih tinggal di Sibolga itulah jugalah punggungku disetrika. Sudah aku laporkan dengan bapak, tapi yang ada hanya nasehat agar aku menghormati ibu tiriku,” sesalnya.

Foto: Gibson/PM Maria Panjaitan saat membuat visum di RS Bhayangkara Medan. Ia menderita akibat disiksa ibu tirinya.
Foto: Gibson/PM
Maria Panjaitan saat membuat visum di RS Bhayangkara Medan. Ia menderita akibat disiksa ibu tirinya.

Singkat cerita, beberapa tahun tinggal Sibolga, Septiana yang tak kerasan membawa Maria dan Eko pindah ke Medan. Sedang ayahnya, tetap tinggal di Sibolga. “Di sinilah kehidupanku semakin hancur. Kekejaman ibu tiriku makin mengganas karena tak terpantau lagi oleh bapakku yang pulang ke Medan dua minggu sekali. Selama di Medan ini aku selalu diperlakukan seperti binatang. Aku tidak dikasih makan dan bila tingkahku salah langsung dilempar dengan batu gilingan cabai,” kata Maria lagi.

Mirisnya lagi, Maria juga mengaku sempat disiksa dan dikurung karena ketahuan mencuri ikan yang disembunyikan ibu tirinya. “Pernah aku tak makan seharian. Karena kelaparan, aku mengambil ikan yang disembunyikan ibu tiriku di atas lemari. Tapi aku ketahuan. Aku sudah bilang, aku sangat lapar. Tapi bukannya diberi makan, aku ditunjang dan dilempar batu gilingan. Aku dikurung dalam kamar dan tidak dikasih makan. Kalau aku menangis, aku tambah dipukul,” akunya.

Bukan itu saja, bila melakukan kesalahan, kepala Maria yang selalu jadi sasaran ibu tirinya. “Kalau gak dipukul, dilempar pakai gelas dan batu gilingan. Luka hitam yang ada di kepalaku ini adalah bekas luka robek yang tidak diobatin. Memang lukanya kecil bang, tapi berdarah, tidak pernah diobatin,” bebernya sembari merundukkan kepalanya.

Lanjut Maria, kekejaman Setiana tak sampai di situ saja. Selain melempar dan memukul, pelaku juga kerap menggigit badan korban. “Pokoknya, setelah memukul, dia menggigitku. Bekas luka gigitan juga masih ada di belakang tubuhku. Bila menggigit, dia seperti kesetanan, makanya bekasnya masih ada dan jelas. Parahnya lagi, semua kekejaman ibu tiriku diketahui oleh adikku yang bernama Eko. Namun, bukannya melarang, dia juga ikut menunjangku. Dia tega melakukannya, padahal aku adalah kakak kandungnya. Kalau adikku yang lain, sudah lari ke Jakarta karena takut mendapat pelakuan sama sepertiku,” akunya.

Ironisnya lagi, meski Maria berulang kalui melaporkan kekejaman sang ibu tiri dan adik kandungnya, tapi ayahnya tidak bisa berbuat apa-apa. Setiap menanyakan laporan korban, dia selalu dibentak dan disuruh Setiana untuk tidak ikut campur. “Bahkan, bila aku ada salah, bapakku pun sudah ikut memukuliku. Bila bapak balik ke Sibolga, aku dikurung dalam kamar, kakiku diikat, mulutku dilakban dan tidak diperbolehkan sekolah. Setiap aku meminta keluar atau mandi, aku selalu dimaki. Ibu tiriku bilang, aku anak lon**. Setiap hari, aku mendapat pukulan, bahkan kupingku sebelah kiri sudah pekak akibat dipukuli terus,” geramnya.

Puncaknya terjadi beberapa hari lalu, Richard yang melihat Maria terus disiksa akhirnya melarikan Maria ke rumah kerabatnya di daerah Sidamanik. “Aku disembunyikan di sana, dan aku diancam agar tidak menceritakan semua kekejaman ibu tiriku kepada orang lain. Baju yang kupakai masih ada bekas darah dari punggungku. Aku sudah tidak suka melihat bapak, ibu tiri dan adikku. Biar saja mereka dipenjara,” harapnya dengan berlinang air mata.

“Aku sempat putus asa, buat apa aku hidup kalau hanya disiksa saja. Kemana lagi aku mengadu, bapakku saja sudah jahat kepadaku. Aku hanya berdoa di dalam kamar dengan kaki diikat dan menahan sakit di badanku. Kalau disuruh memilih, aku lebih baik lari daripada tinggal di rumah itu lagi. Aku sudah tidak suka melihat mereka lagi. Aku mau mereka mati di penjara,”tandas Maria.

Sementara itu, Mangasa Nainggolan, paman korban berharap polisi segera menindaklanjuti laporan keponakannya. Mereka mengaku akan tetap mengawal kasus ini, hingga orang yang menyakiti korban ditangkap. Mangasa tak peduli meski pun bapak dan adik Maria terlibat. “Soalnya, rasa kemanusiaan tidak ada diberikan kepada korban. Mereka memukul dan mengetahui kekejaman ibu tirinya, mengapa korban tidak dilindungi. Saat ini kami hanya berharap korban sehat dan tidak trauma,”ucapnya. Dikatakannya, hingga detik ini, mereka tidak pernah bertemu dengan ibu tiri korban, karena dia mengatakan tidak ada hubungan apa-apa lagi dengan kami.

“Apalagi, adik kami (ibu korban) sudah meninggal. Si Panjaitan (ayah korban) juga pernah mengatakan itu. Makanya, kami tidak palah respon dengan keluarganya. Kami juga mengetahui hal ini setelah baca koran , kami terkejut karena foto dan namanya kami ingat. Kamipun mengecek dan ternyata benar. Kami dari Siantar ke Poldasu hanya mencari keadilan. Kekejaman ibu tirinya sudah kelewatan. Kalaupun, bapak dan adik korban terlibat, kami pasrah saja. Proses hukun tetap jalan dan kami tunggu keadilan,”pungkasnya didampingi kerabatnya, Albert Nainggolan. Terpisah, Kasubdit IV Renakta Poldasu, AKBP Juliana Situmorang mengatakan laporan korban sudah diterima dan pihaknya akan memeriksa saksi-saksi dan memanggil terlapor. “Dari keterangan korban, kita menerapkan Pasal 44 UU RI No 23 tahun 2004 tentang penghapusan kekerasan dalam rumah tangga dan Pasal 351 KUPidana. Laporannya akan kita tindaklanjutin,” tegasnya.

 

Foto: Gibson/PM Maria Panjaitan, korban penyiksaan ibu tirinya, didampingi pamannya dari pihak ibu, Mangasa Nainggolan, saat mengadu ke Renakta Poldasu.
Foto: Gibson/PM
Maria Panjaitan, korban penyiksaan ibu tirinya, didampingi pamannya dari pihak ibu, Mangasa Nainggolan, saat mengadu ke Renakta Poldasu.

Dilarang Beribadah

Selain mengalami penyiksaan luar biasa, hak beribadah Maria juga dicabut oleh ibu tirinya. Selama ini, ia tidak pernah diizinkan sang ibu tiri beribadah ke gereja. Bahkan, setiap kali meminta waktu beribadah, walau hanya 2 jam saja, makian yang diterima Maria. “Kalaupun aku disiksa, kan aku dapat beribadah. Tapi, bertahu-tahun aku tidak pernah gereja. Aku rindu beribadah bang,”tuturnya.

Sembari menatap kosong ke depan, Maria menambahkan hidupnya benar-benar hancur, ibadah yang dianggapnya sebagai pelipur lara dan mengadukan nasibnya kepada Tuhan, tidak diberikan oleh ibu tirinya. Setiap hari Minggu, bila meminta beribadah, ia mengaku selalu dimaki dan dipukul. “Dari pada begitu, lebih baik aku diam saja, dan berdoa di dalam hati. Kehidupan yang kuanggap anugrah berubah menjadi neraka. Kamar tempat aku dikurung menjadi saksi bisu kasusku,” lirihnya.

“Di ruang tamu rumah kami itulah aku kerap disiksa. Sesudah ibu tiriku puas memukulku, aku disuruh masuk ke dalam kamar. Kalau aku kuat-kuat nangis, mulutku disumbat pakai kain dan kakiku diikat. Pokoknya aku dibuat seperti binatang bang. Kalau ingat itu, aku menjadi takut melihat orang, apalagi mendengar nama ibu tiriku. Pokoknya aku ingin dia dihukum,”pintanya kepada polisi. Maria juga mengaku merindukan kehidupan yang layak seperti anak-anak lain. Ia juga ingin sekolah dan bebas beribadah. “Mungkin ibu tiriku takut luka-lukaku dilihat sama orang makanya aku tidak diperbolehkan beribadah. Apalagi ada luka di sekujur tubuhku. Ibu tiriku itu jahat sekali,” lirihnya. (gib/ind/deo)

Foto: Rano K Hutasoit/Metro Siantar/JPNN Maria Christina Pandjaitan menangis histeris, ketika ditemui di kediaman kakak sepupunya di Kelurahan Sarimatondang, Sidamanik, Simalungun, Sumatera Utara, Rabu (4/2).
Foto: Rano K Hutasoit/Metro Siantar/JPNN
Maria Christina Pandjaitan menangis histeris, ketika ditemui di kediaman kakak sepupunya di Kelurahan Sarimatondang, Sidamanik, Simalungun, Sumatera Utara, Rabu (4/2).

MEDAN, SUMUTPOS.CO – Maria Kristina boru Panjaitan (28) yang jadi korban penyiksaan ibu tiri akhirnya membuat pengaduan ke Poldasu, Kamis (5/2) siang. Ditemani paman dan tantenya, Maria yang mengenakan celana panjang kuning dipadu jaket putih itu sempat ketakutan melihat polisi.

Saat masuk ke ruang penyidik Subdit IV Renakta Poldasu, Maria sempat terdiam beberapa saat. Ia ketakutan karena jadi bahan perhatian para polisi dan pengunjung. Beruntung paman korban, Mangasa Nainggolan langsung memberi pengertian bahwa saat itu mereka sedang berada di kantor polisi untuk meminta perlindungan. Setelah beberapa menit diyakinkan, Maria akhirnya bersedia menjalani pemeriksaan.

Di hadapan penyidik, Maria menceritakan kekejaman ibu tirinya, Septiana boru Siahaan. Sekitar 15 menit diperiksa, korban tampak keluar dari ruang penyidik sembari membawa bukti laporan No LP/136/II/2015/SPKT II. Saat ditemui ini di ruang tamu Subdit Renakta, Maria mengaku tak hanya dipukul dan distrika, tapi kerap juga dilempar Septiana dengan gelas dan batu gilingan cabai.

“Mungkin hidupku memang sudah ditakdirkan begini. Punya ibu yang kucintai tapi sudah meninggal. Punya bapak yang sehat, tapi tidak pernah mengurusku. Punya adik laki-laki (Eko-red) tapi tidak bisa menjagaku. Siapa yang mau dilahirkan tapi disiksa? Aku juga mau hidup seperti anak-anak lain, bisa sekolah dan berteman,” lirihnya dengan mata berkaca-kaca.

Dikisahkan Maria, pasca ibu kandungnya meninggal karena sakit beberapa tahun lalu, sebenarnya ia berharap ayahnya, Richard Panjaitan tak kawin lagi agar bisa fokus merawat dia dan kedua adiknya. Tapi asa Maria tak kesampaian. Pasalnya tak lama berselang, sang ayah malah menikah lagi.

“Awalnya ibu tiri itu berjanji akan merawat kami sekeluarga. Namun sejak dikaruniai anak, perangainya mulai berubah. Entah apa salahku, hingga aku yang terus menjadi sasaran kekejamannya,” kenang Maria. Sebelum pindah ke Medan, lanjut Maria, ia dan keluarganya menetap di Sibolga. Karena di sanalah ayahnya mengajar di salah satu STM Negeri.

“Mulai dari sana, aku sudah disiksa oleh ibu tiriku. Apapun yang aku lakukan, selalu salah di matanya. Membersihkan rumah atau lainnya, tetap aku salah. Cacian dan tunjangan kerap aku terima. Namun, bila ada bapak, dia seolah-olah baik, aku ditawari makan dan mencoba memperhatikanku. Tapi, setelah bapak pergi kerja, habislah aku. Saat masih tinggal di Sibolga itulah jugalah punggungku disetrika. Sudah aku laporkan dengan bapak, tapi yang ada hanya nasehat agar aku menghormati ibu tiriku,” sesalnya.

Foto: Gibson/PM Maria Panjaitan saat membuat visum di RS Bhayangkara Medan. Ia menderita akibat disiksa ibu tirinya.
Foto: Gibson/PM
Maria Panjaitan saat membuat visum di RS Bhayangkara Medan. Ia menderita akibat disiksa ibu tirinya.

Singkat cerita, beberapa tahun tinggal Sibolga, Septiana yang tak kerasan membawa Maria dan Eko pindah ke Medan. Sedang ayahnya, tetap tinggal di Sibolga. “Di sinilah kehidupanku semakin hancur. Kekejaman ibu tiriku makin mengganas karena tak terpantau lagi oleh bapakku yang pulang ke Medan dua minggu sekali. Selama di Medan ini aku selalu diperlakukan seperti binatang. Aku tidak dikasih makan dan bila tingkahku salah langsung dilempar dengan batu gilingan cabai,” kata Maria lagi.

Mirisnya lagi, Maria juga mengaku sempat disiksa dan dikurung karena ketahuan mencuri ikan yang disembunyikan ibu tirinya. “Pernah aku tak makan seharian. Karena kelaparan, aku mengambil ikan yang disembunyikan ibu tiriku di atas lemari. Tapi aku ketahuan. Aku sudah bilang, aku sangat lapar. Tapi bukannya diberi makan, aku ditunjang dan dilempar batu gilingan. Aku dikurung dalam kamar dan tidak dikasih makan. Kalau aku menangis, aku tambah dipukul,” akunya.

Bukan itu saja, bila melakukan kesalahan, kepala Maria yang selalu jadi sasaran ibu tirinya. “Kalau gak dipukul, dilempar pakai gelas dan batu gilingan. Luka hitam yang ada di kepalaku ini adalah bekas luka robek yang tidak diobatin. Memang lukanya kecil bang, tapi berdarah, tidak pernah diobatin,” bebernya sembari merundukkan kepalanya.

Lanjut Maria, kekejaman Setiana tak sampai di situ saja. Selain melempar dan memukul, pelaku juga kerap menggigit badan korban. “Pokoknya, setelah memukul, dia menggigitku. Bekas luka gigitan juga masih ada di belakang tubuhku. Bila menggigit, dia seperti kesetanan, makanya bekasnya masih ada dan jelas. Parahnya lagi, semua kekejaman ibu tiriku diketahui oleh adikku yang bernama Eko. Namun, bukannya melarang, dia juga ikut menunjangku. Dia tega melakukannya, padahal aku adalah kakak kandungnya. Kalau adikku yang lain, sudah lari ke Jakarta karena takut mendapat pelakuan sama sepertiku,” akunya.

Ironisnya lagi, meski Maria berulang kalui melaporkan kekejaman sang ibu tiri dan adik kandungnya, tapi ayahnya tidak bisa berbuat apa-apa. Setiap menanyakan laporan korban, dia selalu dibentak dan disuruh Setiana untuk tidak ikut campur. “Bahkan, bila aku ada salah, bapakku pun sudah ikut memukuliku. Bila bapak balik ke Sibolga, aku dikurung dalam kamar, kakiku diikat, mulutku dilakban dan tidak diperbolehkan sekolah. Setiap aku meminta keluar atau mandi, aku selalu dimaki. Ibu tiriku bilang, aku anak lon**. Setiap hari, aku mendapat pukulan, bahkan kupingku sebelah kiri sudah pekak akibat dipukuli terus,” geramnya.

Puncaknya terjadi beberapa hari lalu, Richard yang melihat Maria terus disiksa akhirnya melarikan Maria ke rumah kerabatnya di daerah Sidamanik. “Aku disembunyikan di sana, dan aku diancam agar tidak menceritakan semua kekejaman ibu tiriku kepada orang lain. Baju yang kupakai masih ada bekas darah dari punggungku. Aku sudah tidak suka melihat bapak, ibu tiri dan adikku. Biar saja mereka dipenjara,” harapnya dengan berlinang air mata.

“Aku sempat putus asa, buat apa aku hidup kalau hanya disiksa saja. Kemana lagi aku mengadu, bapakku saja sudah jahat kepadaku. Aku hanya berdoa di dalam kamar dengan kaki diikat dan menahan sakit di badanku. Kalau disuruh memilih, aku lebih baik lari daripada tinggal di rumah itu lagi. Aku sudah tidak suka melihat mereka lagi. Aku mau mereka mati di penjara,”tandas Maria.

Sementara itu, Mangasa Nainggolan, paman korban berharap polisi segera menindaklanjuti laporan keponakannya. Mereka mengaku akan tetap mengawal kasus ini, hingga orang yang menyakiti korban ditangkap. Mangasa tak peduli meski pun bapak dan adik Maria terlibat. “Soalnya, rasa kemanusiaan tidak ada diberikan kepada korban. Mereka memukul dan mengetahui kekejaman ibu tirinya, mengapa korban tidak dilindungi. Saat ini kami hanya berharap korban sehat dan tidak trauma,”ucapnya. Dikatakannya, hingga detik ini, mereka tidak pernah bertemu dengan ibu tiri korban, karena dia mengatakan tidak ada hubungan apa-apa lagi dengan kami.

“Apalagi, adik kami (ibu korban) sudah meninggal. Si Panjaitan (ayah korban) juga pernah mengatakan itu. Makanya, kami tidak palah respon dengan keluarganya. Kami juga mengetahui hal ini setelah baca koran , kami terkejut karena foto dan namanya kami ingat. Kamipun mengecek dan ternyata benar. Kami dari Siantar ke Poldasu hanya mencari keadilan. Kekejaman ibu tirinya sudah kelewatan. Kalaupun, bapak dan adik korban terlibat, kami pasrah saja. Proses hukun tetap jalan dan kami tunggu keadilan,”pungkasnya didampingi kerabatnya, Albert Nainggolan. Terpisah, Kasubdit IV Renakta Poldasu, AKBP Juliana Situmorang mengatakan laporan korban sudah diterima dan pihaknya akan memeriksa saksi-saksi dan memanggil terlapor. “Dari keterangan korban, kita menerapkan Pasal 44 UU RI No 23 tahun 2004 tentang penghapusan kekerasan dalam rumah tangga dan Pasal 351 KUPidana. Laporannya akan kita tindaklanjutin,” tegasnya.

 

Foto: Gibson/PM Maria Panjaitan, korban penyiksaan ibu tirinya, didampingi pamannya dari pihak ibu, Mangasa Nainggolan, saat mengadu ke Renakta Poldasu.
Foto: Gibson/PM
Maria Panjaitan, korban penyiksaan ibu tirinya, didampingi pamannya dari pihak ibu, Mangasa Nainggolan, saat mengadu ke Renakta Poldasu.

Dilarang Beribadah

Selain mengalami penyiksaan luar biasa, hak beribadah Maria juga dicabut oleh ibu tirinya. Selama ini, ia tidak pernah diizinkan sang ibu tiri beribadah ke gereja. Bahkan, setiap kali meminta waktu beribadah, walau hanya 2 jam saja, makian yang diterima Maria. “Kalaupun aku disiksa, kan aku dapat beribadah. Tapi, bertahu-tahun aku tidak pernah gereja. Aku rindu beribadah bang,”tuturnya.

Sembari menatap kosong ke depan, Maria menambahkan hidupnya benar-benar hancur, ibadah yang dianggapnya sebagai pelipur lara dan mengadukan nasibnya kepada Tuhan, tidak diberikan oleh ibu tirinya. Setiap hari Minggu, bila meminta beribadah, ia mengaku selalu dimaki dan dipukul. “Dari pada begitu, lebih baik aku diam saja, dan berdoa di dalam hati. Kehidupan yang kuanggap anugrah berubah menjadi neraka. Kamar tempat aku dikurung menjadi saksi bisu kasusku,” lirihnya.

“Di ruang tamu rumah kami itulah aku kerap disiksa. Sesudah ibu tiriku puas memukulku, aku disuruh masuk ke dalam kamar. Kalau aku kuat-kuat nangis, mulutku disumbat pakai kain dan kakiku diikat. Pokoknya aku dibuat seperti binatang bang. Kalau ingat itu, aku menjadi takut melihat orang, apalagi mendengar nama ibu tiriku. Pokoknya aku ingin dia dihukum,”pintanya kepada polisi. Maria juga mengaku merindukan kehidupan yang layak seperti anak-anak lain. Ia juga ingin sekolah dan bebas beribadah. “Mungkin ibu tiriku takut luka-lukaku dilihat sama orang makanya aku tidak diperbolehkan beribadah. Apalagi ada luka di sekujur tubuhku. Ibu tiriku itu jahat sekali,” lirihnya. (gib/ind/deo)

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/