Jangan Cengeng
Pengamat transportasi, Medis Surbakti menilai, para sopir angkutan daring jangan cengeng menyikapi Permenhub 108/2017. Meski butuh waktu panjang dengan segala dinamika yang terjadi, pemerintah menurutnya tetap akan menetapkan yang terbaik bagi semua pihak.
“Ini (Permenhub) memang sesuatu yang baru. Butuh waktu lama sampai akhirnya kita mendapat keseimbangan dari sistem transportasi daring ini. Saya rasa tarik ulur ini balik lagi bisa mengakomodir baik angkutan konvensional dan online (daring),” katanya.
Guna menjadikan sistem transportasi yang baru antara eksisting dan online ini, lanjut Medis, akan menempuh perjalanan agak panjang. Apalagi tarik ulur terus terjadi sampai saat sekarang. “Nah di satu sisi, angkutan online juga tidak boleh terlalu cengeng atau reaktif menyikapi Permenhub 108. Pemerintah terus berusaha agar semua bisa hidup dan tumbuh, dan kita berharap angkutan daring bisa mengikuti aturan main yang ada,” katanya.
Ketua Departemen Sipil USU ini menyebut, perlu ada satu keadilan dalam penerapan setiap regulasi. Contohnya bila angkutan daring mesti di uji KIR, untuk angkutan eksisting juga diberlakukan hal serupa. Sehingga juga terimplementasi satu azas keadilan bagi kedua pihak. Di samping itu, untuk urusan keamanan baik terhadap sopir daring maupun penumpang juga perlu dipertimbangkan.
“Begitu juga sebaliknya terhadap keamanan penumpang dan sopir pada transportasi massal. Sebab banyak pemberitaan dan kabar baik di media massa ataupun sosial, sopir taksi online dibunuh penumpang, atau ada penumpang yang ditelantarkan. Bahkan baru-baru ini terkuak bahwa ada laporan order fiktif,” katanya.
Setiap negara atau daerah diyakini berbeda dinamika yang terjadi. Terkhusus Kota Medan sebut Medis, cukup kuat persatuan dan organisasi para sopir angkutan umumnya. Atas dasar itu pula, diperlukan keseimbangan yang baik antarstakeholder, mau bernegosiasi untuk kepentingan bersama.
“Di sini tergantung sikap kepala daerahnya juga. Karenakan setiap daerah itu dinamika dan tingkat masalahnya berbeda-beda. Atau bahkan perlu calon gubernur ke depan dimintai pandangannya soal ini. Mana tahu dia punya solusi mengakomodir masalah tersebut,” katanya.
Sementara, Sekretaris Komisi D DPRD Medan Salman Alfarisi mengatakan, pemerintah pusat semestinya bertanggungjawab penuh atas konflik horizontal antara driver angkutan daring dengan konvensioal. Ia menilai, perlu ada unsur kesetaraan di semua sisi terhadap pemberlakuan aturan untuk aplikator dan juga driver taksi online.
“Yang saya maksud kesetaraan, seperti tatanan sopir perlu dilakukan. Seharusnya ada regulasi tentang kontrak pekerja (driver) para penyelenggara-penyelenggara taksi online ini. Pusat harusnya terlebih dulu memerhatikan hal tersebut. Kemudian barulah ada dibebankan hal-hal seperti uji KIR, koperasi dan lainnya,” katanya kepada Sumut Pos, tadi malam.
Mengenai uji KIR, Salman menilai tetap diperlukan terhadap angkutan daring dalam rangka kenyamanan konsumen. Disamping itu sebagai wujud kesetaraan dengan perusahaan angkutan lainnya. “Tapi lagi-lagi, muaranya ini ada di pemerintah pusat. Artinya pemerintah pusat tidak peduli dengan kondisi yang terjadi di bawah. Bahkan sudah ada yang sampai berdarah-darah, terus berbenturan dimana kalau dibiarkan bisa menjadi konflik horizontal yang berkepanjangan,” katanya.