31.8 C
Medan
Saturday, May 18, 2024

Lahan Sengketa jadi Kuburan

Penggarap Nyaris Bentrok dengan PTPN 2

LABUHAN DELI-Pihak PTPN 2 kembali nyaris bentrok dengan petani penggarap. Kali ini, ketegangan itu berasal dari kuburan yang berada di lahan sengketa.

Peritiwa ini melibatkan puluhan warga yang mengatasnamakan petani penggarap di Pasar VIII Jalan Perjuangan Desa Manunggal Kecamatan Labuhan Deli Kabupaten Deliserdang. Mereka nyaris bentrok dengan petugas keamanan PTPN 2 Kebun Helvetia.

Pasalnya, pihak perusahaan menuding kelompok penggarap tidak meminta izin terkait dijadikannya lahan berstatus sengketa tersebut sebagai kompleks Tempat Pemakaman Umum (TPU), Selasa (5/6) kemarin.

Informasi diperoleh Sumut Pos di sekitar lokasi kejadian menyebutkan, peristiwa keributan dan nyaris terjadi bentrok fisik itu bermula ketika warga penggarap bermaksud akan mengebumikan, Tugiman bin Tugino (24) warga Pasar X Dusun 8 Desa Manunggal Kecamatan Labuhan Deli di lahan sengketa tersebut.

Pihak PTPN 2 yang menerima laporan dari petugas keamanan kebun sekitar pukul 09.30 WIB, langsung menuju lokasi lahan dimaksud guna melarang warga penggarap untuk menggali tanah untuk dijadikan kuburan. Warga penggarap yang kesal sempat adu mulut dengan B Simamora selaku Papam PTPN 2 Kebun Helvetia.

“Ini lahan eks HGU, jadi bukan milik PTPN 2. Kami warga penggarap di sini sudah bertahun-tahun menggarap lahan tanah di sekitar tempat ini,” kata Kliwon (62), pemimpin petani penggarap di daerah tersebut.

Pria mantan petugas keamanan kebun PTPN ini menilai pihak perkebunan tidak mempunyai hak untuk melarang penggarap. Apalagi lahan eks HGU tersebut untuk lokasi pemakaman masyarakat setempat. “PTPN jangan memaksakan kehendaknya karena pelepasan lahan eks HGU ini untuk kepentingan rakyat,” ungkapnya.

“Lahan ini masih milik PTPN 2 dan masih berstatus HGU. Kami minta warga penggarap untuk tidak menjadikan lahan ini sebagai wakaf kuburan, apalagi izin dari perusahan perkebunan tidak ada dan ini jelas ilegal,” timpal B Simamora, pria yang mengaku pernah bertugas di Kodam I/BB ini.

Aparat kepolisian dari Polsekta Medan Labuhan yang turun ke lokasi setelah menerima informasi berusaha mengamankan situasi. Guna mengantisipasi terjadinya bentrokan fisik, Kanit Binmas Polsekta Medan Labuhan AKP S Simanjuntak didampingi Kanit Intel, AKP P Parangi-angin langsung menengahi keributan.

“Kenapa warga yang akan memanfaatkan lahan ini sebagai wakaf pemakaman masyarakat dan pertanian dilarang, sementara PTPN 2 tidak berani melarang dan mengokupasi bangunan kafe-kafe yang banyak berdiri di lahan ini,” teriak warga penggarap lainnya.

Menurut mereka, sebelumnya penggarap pernah mengajukan permohonan ke pemerintah desa agar lahan dimaksud dimanfaatkan warga penggarap sebagai TPU. Namun, tak kunjung mendapat jawaban. “Bukannya warga penggarap di daerah ini tidak mau berkoordinasi dengan PTPN 2. Tapi sudah tiga kali kami mengajukan permohonan memalui surat ke kepala desa (Kades) untuk diteruskan ke PTPN, tapi tetap tak dijawab dan soal ini sudah dari tiga tahun lalu kami perjuangkan,” ungkap para penggarap.

Para petani penggarap menilai lemahnya pemerintah, dalam hal ini pihak Badan Pertanahan Nasional yang tak mampu menentukan batas-batas perkebunan dengan lahan pertanian masyarakat banyak dimanfaatkan pihak-pihak tertentu.

Pantauan di sekitar lokasi karena tak memperoleh kata sepakat, akhirnya petugas PTPN 2 Kebun Helvetia meninggalkan lokasi. Sementara, puluhan warga penggarap tetap melakukan prosesi pemakaman di lahan dimaksud dengan pengamanan dari aparat kepolisian.

Setwapres Gandeng LIPI
Dari Jakarta, Kantor Sekretariat Wakil Presiden  (Setwapres) terus berupaya mencari solusi permanen terkait konflik lahan eks HGU PTPN 2. Guna menyerap masukan dari pihak-pihak terkait, kemarin Setwapres menggandeng Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), menggelar workshop di gedung LIPI, Jakarta Selatan.

Selain kasus Sumut, dibahas juga kasus konflik lahan di Sumatera Selatan, Lampung, Jawa Timur. Masyarakat korban juga hadir di acara tersebut.

Dari Sumut, perwakilan masyarakat yang hadir dan diundang adalah Harun Nuh,  Ketua Umum Barisan Perjuangan Rakyat Penunggu Indonesia (BPRPI). Dia mewakili  masyarakat yang bersengketa dengan PTPN II di Langkat, Binjai, Deli Serdang.

Di acara tersebut, Harun Nuh, mengatakan, konflik agraria yang terjadi antara BPRPI dengan PTPN II harus segera diselesaikan. “Sebab telah banyak menimbulkan korban. Jika tak segera diselesaikan, konflik yang memakan korban bisa terjadi lagi,” ujar Harun.
Dikatakan juga, penyelesaian yang berlarut-larut juga telah menarik kalangan calo, mafia tanah, preman dan oknum aparat.  “Mereka semua terlibat dengan beragam kepentingannya sehingga proses penyelesaian menjadi semakin sulit,” cetusnya.

Dia mengatakan, sebenarnya persoalannya tidak rumit. Pasalnya, menurut Harun Nuh, sudah ada keputusan Gubernur EWP Tambunan pada 24 Mei 1980.  Bahkan sudah ada putusan MA yang sudah berkekuatan hukum tetap tentang pengakuan dan perlindungan kampung-kampung BPRPI.
“Namun tidak pernah dijalankan dan dihormati. Bahkan, dari 61 kampung sekarang hanya tersisa 21 kampung karena diusir oleh PTPN dan aparat,” sambungnya.

Harun juga menyoroti sikap Pemprov Sumut dan BPN dalam menangani kasus lahan ini, menurutnya lamban. “Ini membuktikan bahwa banyak aktor kepentingan yang terlibat dalam mempersulit, sehingga persoalan menjadi terkatung-katung,” cetus Harun.

Forum workshop juga menyoroti kinerja aparat keamanan.  Keterlibatan kepolisian dalam konflik agraria saat ini justru dinilai banyak membuat keadaan semakin buruk.  Menurut Harun, penangkapan, penahanan banyak dilakukan kepolisian jika petani dan masyarakat adat memperjuangkan hak atas tanahnya.

“Bahkan, dalam penanganan kerapkali kepolisian melakukan penembakan kepada petani,” ujarnya, seraya menyebut kasus di Labuhan Batu yang dikabarkan ada tiga petani yang ditembak.
Iwan Nurdin, Deputi Sekjen Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) yang menjadi salah satu fasilitator dalam workshop tersebut menjelaskan, tujuan workshop tersebut  untuk mendapatkan gambaran utuh tentang konflik agraria dan pilihan-pilihan penyelesaian yang mungkin dilakukan agar konflik agraria tidak berlarut-larut dan dapat segera diselesaikan di daerah.

“Rekomendasi workshop harapannya tidak hanya dapat dipakai oleh pemerintah untuk membuka kanal penyelesaian namun juga kerangka kebijakan dalam penyelesaiankonflik agraria,” pungkas Iwan.(mag-17/sam)

Penggarap Nyaris Bentrok dengan PTPN 2

LABUHAN DELI-Pihak PTPN 2 kembali nyaris bentrok dengan petani penggarap. Kali ini, ketegangan itu berasal dari kuburan yang berada di lahan sengketa.

Peritiwa ini melibatkan puluhan warga yang mengatasnamakan petani penggarap di Pasar VIII Jalan Perjuangan Desa Manunggal Kecamatan Labuhan Deli Kabupaten Deliserdang. Mereka nyaris bentrok dengan petugas keamanan PTPN 2 Kebun Helvetia.

Pasalnya, pihak perusahaan menuding kelompok penggarap tidak meminta izin terkait dijadikannya lahan berstatus sengketa tersebut sebagai kompleks Tempat Pemakaman Umum (TPU), Selasa (5/6) kemarin.

Informasi diperoleh Sumut Pos di sekitar lokasi kejadian menyebutkan, peristiwa keributan dan nyaris terjadi bentrok fisik itu bermula ketika warga penggarap bermaksud akan mengebumikan, Tugiman bin Tugino (24) warga Pasar X Dusun 8 Desa Manunggal Kecamatan Labuhan Deli di lahan sengketa tersebut.

Pihak PTPN 2 yang menerima laporan dari petugas keamanan kebun sekitar pukul 09.30 WIB, langsung menuju lokasi lahan dimaksud guna melarang warga penggarap untuk menggali tanah untuk dijadikan kuburan. Warga penggarap yang kesal sempat adu mulut dengan B Simamora selaku Papam PTPN 2 Kebun Helvetia.

“Ini lahan eks HGU, jadi bukan milik PTPN 2. Kami warga penggarap di sini sudah bertahun-tahun menggarap lahan tanah di sekitar tempat ini,” kata Kliwon (62), pemimpin petani penggarap di daerah tersebut.

Pria mantan petugas keamanan kebun PTPN ini menilai pihak perkebunan tidak mempunyai hak untuk melarang penggarap. Apalagi lahan eks HGU tersebut untuk lokasi pemakaman masyarakat setempat. “PTPN jangan memaksakan kehendaknya karena pelepasan lahan eks HGU ini untuk kepentingan rakyat,” ungkapnya.

“Lahan ini masih milik PTPN 2 dan masih berstatus HGU. Kami minta warga penggarap untuk tidak menjadikan lahan ini sebagai wakaf kuburan, apalagi izin dari perusahan perkebunan tidak ada dan ini jelas ilegal,” timpal B Simamora, pria yang mengaku pernah bertugas di Kodam I/BB ini.

Aparat kepolisian dari Polsekta Medan Labuhan yang turun ke lokasi setelah menerima informasi berusaha mengamankan situasi. Guna mengantisipasi terjadinya bentrokan fisik, Kanit Binmas Polsekta Medan Labuhan AKP S Simanjuntak didampingi Kanit Intel, AKP P Parangi-angin langsung menengahi keributan.

“Kenapa warga yang akan memanfaatkan lahan ini sebagai wakaf pemakaman masyarakat dan pertanian dilarang, sementara PTPN 2 tidak berani melarang dan mengokupasi bangunan kafe-kafe yang banyak berdiri di lahan ini,” teriak warga penggarap lainnya.

Menurut mereka, sebelumnya penggarap pernah mengajukan permohonan ke pemerintah desa agar lahan dimaksud dimanfaatkan warga penggarap sebagai TPU. Namun, tak kunjung mendapat jawaban. “Bukannya warga penggarap di daerah ini tidak mau berkoordinasi dengan PTPN 2. Tapi sudah tiga kali kami mengajukan permohonan memalui surat ke kepala desa (Kades) untuk diteruskan ke PTPN, tapi tetap tak dijawab dan soal ini sudah dari tiga tahun lalu kami perjuangkan,” ungkap para penggarap.

Para petani penggarap menilai lemahnya pemerintah, dalam hal ini pihak Badan Pertanahan Nasional yang tak mampu menentukan batas-batas perkebunan dengan lahan pertanian masyarakat banyak dimanfaatkan pihak-pihak tertentu.

Pantauan di sekitar lokasi karena tak memperoleh kata sepakat, akhirnya petugas PTPN 2 Kebun Helvetia meninggalkan lokasi. Sementara, puluhan warga penggarap tetap melakukan prosesi pemakaman di lahan dimaksud dengan pengamanan dari aparat kepolisian.

Setwapres Gandeng LIPI
Dari Jakarta, Kantor Sekretariat Wakil Presiden  (Setwapres) terus berupaya mencari solusi permanen terkait konflik lahan eks HGU PTPN 2. Guna menyerap masukan dari pihak-pihak terkait, kemarin Setwapres menggandeng Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), menggelar workshop di gedung LIPI, Jakarta Selatan.

Selain kasus Sumut, dibahas juga kasus konflik lahan di Sumatera Selatan, Lampung, Jawa Timur. Masyarakat korban juga hadir di acara tersebut.

Dari Sumut, perwakilan masyarakat yang hadir dan diundang adalah Harun Nuh,  Ketua Umum Barisan Perjuangan Rakyat Penunggu Indonesia (BPRPI). Dia mewakili  masyarakat yang bersengketa dengan PTPN II di Langkat, Binjai, Deli Serdang.

Di acara tersebut, Harun Nuh, mengatakan, konflik agraria yang terjadi antara BPRPI dengan PTPN II harus segera diselesaikan. “Sebab telah banyak menimbulkan korban. Jika tak segera diselesaikan, konflik yang memakan korban bisa terjadi lagi,” ujar Harun.
Dikatakan juga, penyelesaian yang berlarut-larut juga telah menarik kalangan calo, mafia tanah, preman dan oknum aparat.  “Mereka semua terlibat dengan beragam kepentingannya sehingga proses penyelesaian menjadi semakin sulit,” cetusnya.

Dia mengatakan, sebenarnya persoalannya tidak rumit. Pasalnya, menurut Harun Nuh, sudah ada keputusan Gubernur EWP Tambunan pada 24 Mei 1980.  Bahkan sudah ada putusan MA yang sudah berkekuatan hukum tetap tentang pengakuan dan perlindungan kampung-kampung BPRPI.
“Namun tidak pernah dijalankan dan dihormati. Bahkan, dari 61 kampung sekarang hanya tersisa 21 kampung karena diusir oleh PTPN dan aparat,” sambungnya.

Harun juga menyoroti sikap Pemprov Sumut dan BPN dalam menangani kasus lahan ini, menurutnya lamban. “Ini membuktikan bahwa banyak aktor kepentingan yang terlibat dalam mempersulit, sehingga persoalan menjadi terkatung-katung,” cetus Harun.

Forum workshop juga menyoroti kinerja aparat keamanan.  Keterlibatan kepolisian dalam konflik agraria saat ini justru dinilai banyak membuat keadaan semakin buruk.  Menurut Harun, penangkapan, penahanan banyak dilakukan kepolisian jika petani dan masyarakat adat memperjuangkan hak atas tanahnya.

“Bahkan, dalam penanganan kerapkali kepolisian melakukan penembakan kepada petani,” ujarnya, seraya menyebut kasus di Labuhan Batu yang dikabarkan ada tiga petani yang ditembak.
Iwan Nurdin, Deputi Sekjen Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) yang menjadi salah satu fasilitator dalam workshop tersebut menjelaskan, tujuan workshop tersebut  untuk mendapatkan gambaran utuh tentang konflik agraria dan pilihan-pilihan penyelesaian yang mungkin dilakukan agar konflik agraria tidak berlarut-larut dan dapat segera diselesaikan di daerah.

“Rekomendasi workshop harapannya tidak hanya dapat dipakai oleh pemerintah untuk membuka kanal penyelesaian namun juga kerangka kebijakan dalam penyelesaiankonflik agraria,” pungkas Iwan.(mag-17/sam)

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/