26 C
Medan
Monday, September 30, 2024

Korban Prostitusi untuk Gay Jadi 148 Anak

Dia menekankan, kebebasan tetap ada batasan. Yakni norma. Dan norma ini, harus ditegakkan bukan hanya bagi anak-anak saja. Namun, berlaku universal yang harus dipahami bersama-sama. ”Jangan karena sudah dewasa, jadi perilaku (homoseksual) dibiarkan. Atau bahkan diberikan ruang toleransi. Lalu, diserap oleh anak jadi kalau sudah dewasa boleh. Bukan demikian,” tegasnya. Tentu, lanjutnya, upaya ini tetap harus diimbangi dengan pola pengasuhan yang baik pada anak. Tak lupa, pengawasan
Sementara itu, Deputi Bidang Perlindungan Anak di Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA) Pribudiarta Nur Sitepu menjelaskan bahwa semua factor anak terjun dalam prostitusi anak tersebut berpusat dari lemahnya pengawasan dan pengasuhan dari orang tua. Karena tidak semua anak yang lahir di keluarga miskin terlibat di dalam bisnis prostitusi.

Begitu juga tidak semua anak yang salah pergaulan nasibnya pasti berujung pada bisnis prostitusi. Karena itu, dia menyimpulkan bahwa peran keluarga terdekat atau orang tua menjadi hal yang sangat vital dalam memberikan perlindungan dan hak-hak kepada anak-anak mereka.

“Jadi masalah prostitusi atau kekerasan terhadap anak bukan hanya tugasnya pemerintah saja, tapi semua sektor, pemerintah, masyarakat, polisi, maupun sekolah. Namun kami melihat hulunya ada pada peran orang tua,” kata Pribudiarta dalam sebuah kesempatan kepada Jawa Pos, kemarin.

Pribudiarta menuturkan, bisa jadi orang tua yang anak-anaknya sampai menjadi korban bisnis prostitusi merupakan orang tua yang kehilangan kemampuan dalam mengasuh anak. Hal tersebut sangat mungkin terjadi karena beberapa hal, salah satunya yakni ketidaksiapan mereka dalam mengemban tugas sebagai orang tua. “Ini namanya orang tua yang tidak siap menjadi orang tua,” tuturnya.

Karena itu, dia mengusulkan sebuah gagasan yang baru dalam perlindungan anak. Yakni merehabilitasi orang tua yang memiliki anak yang menjadi korban bisnis prostitusi karena terbukti gagal dalam memberikan pengawasan kepada anaknya.

“Kalau mencontoh di beberapa negara maju, pemerintah bisa mencabut hak asuh orang tua kalau mereka dianggap lalai mengasuh anak, dan ada unit khusus merehabilitasi orang tua,” ujarnya.

Dia mengatakan bahwa gagasan tersebut dapat digunakan di Indonesia mengingat masih banyaknya jumlah anak-anak yang terlantar atau “salah tempat” karena orang tua mereka yang gagal menjadi orang tua. Meski saat ini hal tersebut memang belum ada, namun sudah ada contohnya di Jawa Barat (Jabar) yang memiliki lima ribu fasilitator keluarga dan di Jawa Tengah (Jateng) yang menerapkan pengawasan anak berbasis masyarakat.

“Kami terus mendorong teman-teman di pemerintah daerah (Pemda) agar orang tuanya yang anaknya jadi korban juga ikut direhabilitasi,” imbuhnya. (idr/mia/dod/bay/jpg)

Dia menekankan, kebebasan tetap ada batasan. Yakni norma. Dan norma ini, harus ditegakkan bukan hanya bagi anak-anak saja. Namun, berlaku universal yang harus dipahami bersama-sama. ”Jangan karena sudah dewasa, jadi perilaku (homoseksual) dibiarkan. Atau bahkan diberikan ruang toleransi. Lalu, diserap oleh anak jadi kalau sudah dewasa boleh. Bukan demikian,” tegasnya. Tentu, lanjutnya, upaya ini tetap harus diimbangi dengan pola pengasuhan yang baik pada anak. Tak lupa, pengawasan
Sementara itu, Deputi Bidang Perlindungan Anak di Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA) Pribudiarta Nur Sitepu menjelaskan bahwa semua factor anak terjun dalam prostitusi anak tersebut berpusat dari lemahnya pengawasan dan pengasuhan dari orang tua. Karena tidak semua anak yang lahir di keluarga miskin terlibat di dalam bisnis prostitusi.

Begitu juga tidak semua anak yang salah pergaulan nasibnya pasti berujung pada bisnis prostitusi. Karena itu, dia menyimpulkan bahwa peran keluarga terdekat atau orang tua menjadi hal yang sangat vital dalam memberikan perlindungan dan hak-hak kepada anak-anak mereka.

“Jadi masalah prostitusi atau kekerasan terhadap anak bukan hanya tugasnya pemerintah saja, tapi semua sektor, pemerintah, masyarakat, polisi, maupun sekolah. Namun kami melihat hulunya ada pada peran orang tua,” kata Pribudiarta dalam sebuah kesempatan kepada Jawa Pos, kemarin.

Pribudiarta menuturkan, bisa jadi orang tua yang anak-anaknya sampai menjadi korban bisnis prostitusi merupakan orang tua yang kehilangan kemampuan dalam mengasuh anak. Hal tersebut sangat mungkin terjadi karena beberapa hal, salah satunya yakni ketidaksiapan mereka dalam mengemban tugas sebagai orang tua. “Ini namanya orang tua yang tidak siap menjadi orang tua,” tuturnya.

Karena itu, dia mengusulkan sebuah gagasan yang baru dalam perlindungan anak. Yakni merehabilitasi orang tua yang memiliki anak yang menjadi korban bisnis prostitusi karena terbukti gagal dalam memberikan pengawasan kepada anaknya.

“Kalau mencontoh di beberapa negara maju, pemerintah bisa mencabut hak asuh orang tua kalau mereka dianggap lalai mengasuh anak, dan ada unit khusus merehabilitasi orang tua,” ujarnya.

Dia mengatakan bahwa gagasan tersebut dapat digunakan di Indonesia mengingat masih banyaknya jumlah anak-anak yang terlantar atau “salah tempat” karena orang tua mereka yang gagal menjadi orang tua. Meski saat ini hal tersebut memang belum ada, namun sudah ada contohnya di Jawa Barat (Jabar) yang memiliki lima ribu fasilitator keluarga dan di Jawa Tengah (Jateng) yang menerapkan pengawasan anak berbasis masyarakat.

“Kami terus mendorong teman-teman di pemerintah daerah (Pemda) agar orang tuanya yang anaknya jadi korban juga ikut direhabilitasi,” imbuhnya. (idr/mia/dod/bay/jpg)

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/