MEDAN, SUMUTPOS.CO – Proses pemilihan Wakil Gubernur Sumatera Utara (Wagubsu) semakin njelimet. Bahkan, prosesnya sudah sampai ke ranah hukum dan dinilai telah melenceng dari UU Nomor 10 Tahun 2016. Karenanya, anggota DPRD Sumut dari Fraksi PDI Perjuangan, Sutrisno Pangaribuan mengajak koleganya di legislatif untuk tetap mempedomani UU Nomor 10 Tahun 2016 tersebut.
Sutrisno mengaku heran, saat Tengku Erry Nuradi dilantik menjadi Gubenur Sumut melanjutkan sisa masa jabatan 2013-2018 pada akhir Mei lalu, DPRD Sumut sepakat mengacu kepada UU No 8/2015 tentang Pilkada. Namun saat akan mengisi kekosongan kursi Wagubsu yang ditinggalkan Tengku Erry, DPRD Sumut malah meragukan UU Nomor 10 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Atas UU Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota.
“Dulu tidak ada perdebatan untuk pelantikan Tengku Erry, semua sepakat mengacu UU No 8/2015, dan tidak ada pansus untuk itu. Bahkan, tidak ada konsultasi sampai ke Kemendagri. Tapi, kenapa untuk mengisi jabatan wakil gubernur terjadi perdebatan panjang? Padahal sudah jelas ada diatur dalam UU No 10/2016,” kata Sutrisno kepada wartawan, Rabu (5/10).
Politisi PDI-P itu mengatakan, surat Kementrian Dalam Negeri (Kemendagri) yang ditandatangani Dirjen Otda sudah bertentangan dengan UU No 10/2016. Sehingga, tidak bisa dijadikan pedoman untuk pengisian kursi wakil gubernur.
“Saya akan mengajak anggota DPRD Sumut waras dengan memedomani UU Nomor 10 tahun 2016 untuk melakukan setiap tahapan pemilihan wagubsu,” katanya.
Dia lebih memilih untuk taat dengan UU Nomor 10/2016 dari pada surat Kemendagri yang tidak sesuai dengan aturan yang berlaku. “Bunyi pasal 176 UU Nomor 10/2016 sudah sangat jelas menegaskan bagaimana tahapan pemilihan wakil gubernur dan parpol mana yang berhak. Oleh karena itu tidak ada lembaga yang punya otoritas menafsir undang-undang tersebut,” paparnya.
Perlawanan serta sikap yang dilakukannya ini merupakan wujud dari kewarasan dirinya. “Saya punya kewajiban menyampaikan kebenaran, meskipun harus kalah pada akhirnya. Nanti akan kelihatan siapa yang waras dan tidak,” sebutnya.
Terpisah, Ketua PKNU Sumut, Ikhyar Velayati Harahap mengaku sudah mendengarkan kalau Gubsu telah mengirimkan dua nama cawagubsu ke DPRD Sumut. Namun menurutnya, ada pertanyaan yang cukup mengganjal, dimana surat yang dikirimkan gubernur hanya berupa terusan dari surat yang dikirimkan PKS dan Hanura perihal usulan nama cawagubsu.
“Harus diperjelas dulu bentuk surat tersebut. Jika surat tersebut berisi usulan gubernur meneruskan surat PKS dan Hanura terkait nama cawagub ke DPRD untuk di paripurnakan, maka surat dari gubernur tersebut bertentangan dengan UU Nomor 10/2016 pasal 176 ayat 1 dan 2,” katanya.
Dalam ayat 1 disebutkan, mekanisme pemilihan berdasarkan usulan dari Parpol Politik Pengusung. Partai politik pengusung dalam Pilkada 2013-2018 adalah PKS, Hanura, PKNU, Patriot, dan PPN. Sementara usulan nama yang masuk ke gubernur hanya PKS dan Hanura.
Ikhyar menyebut, di dalam ayat 2 UU Nomor 10/2016, parpol pengusung mengusulkan dua nama. Yang dimaksud dengan dua nama adalah Parpol pengusung berembuk dan menyepakati dua nama yang ditetapkan. Dua nama tersebut kemudian dikirim dalam satu format surat yang ditandatangi semua parpol pengusung beserta lampiran surat keputusan dari DPP masing- masing parpol.
“Jika Gubernur mengirimkan nama usulan tersebut, maka gubernur ikut terlibat dalam pelanggaran undang undang yang berlaku saat ini, dan PKNU beserta parpol pengusung lainnya akan menggugat surat gubernur tersebut ke PTUN Medan. Tetapi saya tidak yakin gubernur melakukan hal tersebut, karena setahu saya gubernur sangat berhati-hati dan arif dalam melihat persoalan yang sedang terjadi saat ini,” paparnya.