25 C
Medan
Monday, May 6, 2024

Kutipan Vendor Rp2 Juta ke Driver Online Disoal

FOTO: Triadi Wibowo/Sumut Pos
Petugas Dinas Perhubungan Sumut dibantu aparat kepolisian, memeriksa kendaraan plat hitam yang diduga mengangkut penumpang, saat razia Taxi Online di depan pintu masuk Sun Plaza KH. Zainul Arifin Medan, Rabu (2/8).

MEDAN, SUMUTPOS.CO – Anggota Komisi D DPRD Kota Medan Jumadi mempertanyakan kutipan uang administrasi dan iuran yang dibebankan vendor kepada sopir taksi online. Menurutnya, penetapan besaran uang yang diminta itu harus sesuai regulasi dan ketentuan berlaku.

“Bentuk kutipannya itu seperti apa? Kalau sebagai retribusi dan ada pajak ke pemerintah, tidak masalah. Jangan nanti cuma masuk ke kantung oknum tertentu saja. Harus ada regulasi yang jelas,” kata Jumadi kepada Sumut Pos, Minggu (6/8).

Ia mengkhawatirkan, jika kutipan itu diberlakukan, maka pemerintah tak dapat apapun dari penyelenggara angkutan berbasis aplikasi tersebut. “Kalau nanti bentuknya koperasi dan sebagainya, dampaknya pemerintah tak dapat apa-apa dari situ. Mana yang sebenarnya diatur oleh regulasi. Kita tidak ingin itu nanti memicu konflik. Dikembalikan lagi di UU Perhubungan, bagaimana mereka mengatur itu,” katanya.

Sebelumnya, Ketua Organda Medan Mont Gomery Munthe mengatakan, uang administrasi Rp2 juta dan iuran Rp175 ribu per minggu itu untuk biaya operasional para vendor yang sudah ditunjuk memenuhi persyaratan dan ketentuan. Mont menambahkan, meski nilai kutipan itu tidak ada disebut di dalam aturan, namun substansi kerjasama harus saling menguntungkan.

Menyikapi pernyataan Ketua Organda Medan ini, Jumadi menegaskan, saling menguntungkan itu bersifat relatif, tidak bisa menjadi dasar. “Kalau bicara uang, ya pasti bicara angka. Sopir taksi online juga pasti bicara efektif, berfikir dampak kutipan tersebut. Akhirnya pasti muncul permasalahan. Dan vendor juga harus taat pajak sama negara, sebagai mensejajarkan regulasi seperti angkutan yang lain. Mereka kan plat hitam, mencari sewa dan ada profit yang didapat dari situ. Artinya harus jelaslah dalam hitung-hitungan,” kata Ketua Fraksi PKS DPRD Medan itu.

Sebenarnya imbuh dia, kehadiran taksi online bagian dari pelayanan publik. Namun di satu sisi, kehadiran angkutan berbasis aplikasi bentuk kebutuhan dari masyarakat. “Tentu ada persaingan di situ. Di samping itu mereka merupakan pelayanan jasa seperti taksi, kalau dikenakan regulasi perlu diatur dengan baik. Kan sama-sama mencari makan, maka jangan ada pilih kasih. Persoalan persaingan di lapangan, kita serahkan kepada masyarakat. Biar masyarakat yang menilai angkutan mana yang nyaman menurut mereka. Tetapi perlakuan secara hukum harus sama,” terangnya.

Senada, pengamat sosial asal Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara (UMSU), Arifin Saleh Siregar menilai, jika tidak ada kesepahaman antara objek kebijakan terkait akan memicu konflik berkelanjutan. “Kuncinya itu di komunikasi. Dikumpulkan untuk duduk bersama antara stakeholder terkait, lalu diputuskan mana yang terbaik,” katanya.

Ia menyatakan, angkutan berbasis aplikasi di kota besar seperti Medan sudah menjadi kebutuhan masyarakat. Oleh karenanya pemerintah harus membuat payung hukum yang adil dan bijaksana. “Kalau cuma menguntungkan satu pihak, saya kira tidak akan ada penyelesaian. Makanya perlu dikomunikasikan secara intensif,” pungkasnya. (dvs/prn/adz)

FOTO: Triadi Wibowo/Sumut Pos
Petugas Dinas Perhubungan Sumut dibantu aparat kepolisian, memeriksa kendaraan plat hitam yang diduga mengangkut penumpang, saat razia Taxi Online di depan pintu masuk Sun Plaza KH. Zainul Arifin Medan, Rabu (2/8).

MEDAN, SUMUTPOS.CO – Anggota Komisi D DPRD Kota Medan Jumadi mempertanyakan kutipan uang administrasi dan iuran yang dibebankan vendor kepada sopir taksi online. Menurutnya, penetapan besaran uang yang diminta itu harus sesuai regulasi dan ketentuan berlaku.

“Bentuk kutipannya itu seperti apa? Kalau sebagai retribusi dan ada pajak ke pemerintah, tidak masalah. Jangan nanti cuma masuk ke kantung oknum tertentu saja. Harus ada regulasi yang jelas,” kata Jumadi kepada Sumut Pos, Minggu (6/8).

Ia mengkhawatirkan, jika kutipan itu diberlakukan, maka pemerintah tak dapat apapun dari penyelenggara angkutan berbasis aplikasi tersebut. “Kalau nanti bentuknya koperasi dan sebagainya, dampaknya pemerintah tak dapat apa-apa dari situ. Mana yang sebenarnya diatur oleh regulasi. Kita tidak ingin itu nanti memicu konflik. Dikembalikan lagi di UU Perhubungan, bagaimana mereka mengatur itu,” katanya.

Sebelumnya, Ketua Organda Medan Mont Gomery Munthe mengatakan, uang administrasi Rp2 juta dan iuran Rp175 ribu per minggu itu untuk biaya operasional para vendor yang sudah ditunjuk memenuhi persyaratan dan ketentuan. Mont menambahkan, meski nilai kutipan itu tidak ada disebut di dalam aturan, namun substansi kerjasama harus saling menguntungkan.

Menyikapi pernyataan Ketua Organda Medan ini, Jumadi menegaskan, saling menguntungkan itu bersifat relatif, tidak bisa menjadi dasar. “Kalau bicara uang, ya pasti bicara angka. Sopir taksi online juga pasti bicara efektif, berfikir dampak kutipan tersebut. Akhirnya pasti muncul permasalahan. Dan vendor juga harus taat pajak sama negara, sebagai mensejajarkan regulasi seperti angkutan yang lain. Mereka kan plat hitam, mencari sewa dan ada profit yang didapat dari situ. Artinya harus jelaslah dalam hitung-hitungan,” kata Ketua Fraksi PKS DPRD Medan itu.

Sebenarnya imbuh dia, kehadiran taksi online bagian dari pelayanan publik. Namun di satu sisi, kehadiran angkutan berbasis aplikasi bentuk kebutuhan dari masyarakat. “Tentu ada persaingan di situ. Di samping itu mereka merupakan pelayanan jasa seperti taksi, kalau dikenakan regulasi perlu diatur dengan baik. Kan sama-sama mencari makan, maka jangan ada pilih kasih. Persoalan persaingan di lapangan, kita serahkan kepada masyarakat. Biar masyarakat yang menilai angkutan mana yang nyaman menurut mereka. Tetapi perlakuan secara hukum harus sama,” terangnya.

Senada, pengamat sosial asal Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara (UMSU), Arifin Saleh Siregar menilai, jika tidak ada kesepahaman antara objek kebijakan terkait akan memicu konflik berkelanjutan. “Kuncinya itu di komunikasi. Dikumpulkan untuk duduk bersama antara stakeholder terkait, lalu diputuskan mana yang terbaik,” katanya.

Ia menyatakan, angkutan berbasis aplikasi di kota besar seperti Medan sudah menjadi kebutuhan masyarakat. Oleh karenanya pemerintah harus membuat payung hukum yang adil dan bijaksana. “Kalau cuma menguntungkan satu pihak, saya kira tidak akan ada penyelesaian. Makanya perlu dikomunikasikan secara intensif,” pungkasnya. (dvs/prn/adz)

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/