26.7 C
Medan
Saturday, May 18, 2024

Ndredeg saat Duduk di Atas Watu Gilang

Untungnya, hari itu bertepatan dengan Selasa Wage, weton (hari lahir menurut penanggalan Jawa) HB X. Sehingga dipastikan seluruh abdi dalem berkumpul untuk sowan kepada Sultan. Biasanya mereka berkumpul di pelataran Bangsal Kencana yang terletak di Keraton Dalem. Para abdi dalem itu mengenakan baju peranakan berupa beskap lurik, belangkon, jarit, dan keris.

“Jadi, saya tidak perlu telepon satu per satu para abdi dalem untuk kumpul,” ungkap KRT Yudadiningrat. “Tapi, banyak yang tanya ada apa kok harus ke Sitihinggil,” tambahnya.

Yudadiningrat menjawab bahwa itu perintah sultan. Mendapat jawaban seperti itu, para abdi dalem langsung diam. Sebab, mereka wajib untuk sendika dhawuh kepada perintah sultan. Mereka segera melaksanakannya sesuai perintah sang raja.

Sebelumnya Yudadiningrat mendapat telepon dari GKR Condrokirono. Isi percakapan di telepon tersebut memberi tahu bahwa pada pukul 11.00 ada acara di keraton. Namun Condrokirono tidak mengatakan acara apa yang akan dihelat. “Yang saya jadi bertanya-tanya adalah saya harus memakai atela putih,” kata Yuda, sapaannya.

Atela atau surjan putih itu biasanya dikenakan khusus untuk acara besar Keraton Jogjakarta. Misalnya pada saat pernikahaan para putri Sultan HB X. Yang berhak memakai atela putih adalah abdi dalem yang punya kedudukan sebagai pengageng.

Dalam telepon itu pula, Yuda mendapatkan tugas untuk memberitahukan isi pesannya kepada sebelas pengageng tepas di keraton. “Karena acaranya mendadak, sempat ada salah seorang pengageng yang ketinggalan kerisnya,” kenang dia. Namun, pengangeng itu akhirnya bisa mendapatkan pinjaman keris dari abdi dalem yang sedang berjaga. “Terus terang, saya baru tahu acara (di Sitihinggil) itu ketika Sultan (HB X) membacakan dawuh raja,” lanjutnya.

Menurut Yuda, dalam dawuh raja itu tidak ada kata-kata untuk menobatkan GKR Mangkubumi sebagai putri mahkota. “Itu hanya perubahan nama,” katanya.

Hal yang sama diungkapkan KRT Pujaningrat. Pengageng II Kawedanan Ageng Sriwandowo itu mengatakan, dawuh raja yang dilaksanakan Selasa pekan lalu itu tidak seperti pelantikan putra mahkota. Pujaningrat tahu betul suasana tersebut karena dirinyalah yang dulu menjadi pembaca teks pengangkatan HB X waktu menjadi putra mahkota. Dia pun berani memastikan bahwa dawuh raja bukanlah pengangkatan putri mahkota. “Kemarin itu tidak ada kata-kata kalau jadi putri mahkota. Jadi, itu bukan pengangkatan putri mahkota,” katanya.

Semestinya, jika itu merupakan pengangkatan putri mahkota, dalam dawuh raja harus ada kalimat yang menyatakan GKR Mangkubumi sebagai putri mahkota. Seperti yang dia bacakan dulu ketika pengangkatan HB X menjadi putra mahkota.

Menurut dia, pengangkatan putra mahkota tidak semata-mata dilakukan dengan pergantian nama Mangkubumi. Menurut cerita Puja, sapaannya, HB II juga memiliki putra bernama Mangkubumi. Namun, dia tidak menjadi raja. “HB III itu namanya Surojo,” ucap pria yang memiliki sanggar tari itu. (*/c9/ari)

Untungnya, hari itu bertepatan dengan Selasa Wage, weton (hari lahir menurut penanggalan Jawa) HB X. Sehingga dipastikan seluruh abdi dalem berkumpul untuk sowan kepada Sultan. Biasanya mereka berkumpul di pelataran Bangsal Kencana yang terletak di Keraton Dalem. Para abdi dalem itu mengenakan baju peranakan berupa beskap lurik, belangkon, jarit, dan keris.

“Jadi, saya tidak perlu telepon satu per satu para abdi dalem untuk kumpul,” ungkap KRT Yudadiningrat. “Tapi, banyak yang tanya ada apa kok harus ke Sitihinggil,” tambahnya.

Yudadiningrat menjawab bahwa itu perintah sultan. Mendapat jawaban seperti itu, para abdi dalem langsung diam. Sebab, mereka wajib untuk sendika dhawuh kepada perintah sultan. Mereka segera melaksanakannya sesuai perintah sang raja.

Sebelumnya Yudadiningrat mendapat telepon dari GKR Condrokirono. Isi percakapan di telepon tersebut memberi tahu bahwa pada pukul 11.00 ada acara di keraton. Namun Condrokirono tidak mengatakan acara apa yang akan dihelat. “Yang saya jadi bertanya-tanya adalah saya harus memakai atela putih,” kata Yuda, sapaannya.

Atela atau surjan putih itu biasanya dikenakan khusus untuk acara besar Keraton Jogjakarta. Misalnya pada saat pernikahaan para putri Sultan HB X. Yang berhak memakai atela putih adalah abdi dalem yang punya kedudukan sebagai pengageng.

Dalam telepon itu pula, Yuda mendapatkan tugas untuk memberitahukan isi pesannya kepada sebelas pengageng tepas di keraton. “Karena acaranya mendadak, sempat ada salah seorang pengageng yang ketinggalan kerisnya,” kenang dia. Namun, pengangeng itu akhirnya bisa mendapatkan pinjaman keris dari abdi dalem yang sedang berjaga. “Terus terang, saya baru tahu acara (di Sitihinggil) itu ketika Sultan (HB X) membacakan dawuh raja,” lanjutnya.

Menurut Yuda, dalam dawuh raja itu tidak ada kata-kata untuk menobatkan GKR Mangkubumi sebagai putri mahkota. “Itu hanya perubahan nama,” katanya.

Hal yang sama diungkapkan KRT Pujaningrat. Pengageng II Kawedanan Ageng Sriwandowo itu mengatakan, dawuh raja yang dilaksanakan Selasa pekan lalu itu tidak seperti pelantikan putra mahkota. Pujaningrat tahu betul suasana tersebut karena dirinyalah yang dulu menjadi pembaca teks pengangkatan HB X waktu menjadi putra mahkota. Dia pun berani memastikan bahwa dawuh raja bukanlah pengangkatan putri mahkota. “Kemarin itu tidak ada kata-kata kalau jadi putri mahkota. Jadi, itu bukan pengangkatan putri mahkota,” katanya.

Semestinya, jika itu merupakan pengangkatan putri mahkota, dalam dawuh raja harus ada kalimat yang menyatakan GKR Mangkubumi sebagai putri mahkota. Seperti yang dia bacakan dulu ketika pengangkatan HB X menjadi putra mahkota.

Menurut dia, pengangkatan putra mahkota tidak semata-mata dilakukan dengan pergantian nama Mangkubumi. Menurut cerita Puja, sapaannya, HB II juga memiliki putra bernama Mangkubumi. Namun, dia tidak menjadi raja. “HB III itu namanya Surojo,” ucap pria yang memiliki sanggar tari itu. (*/c9/ari)

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/