26.7 C
Medan
Saturday, May 18, 2024

Ndredeg saat Duduk di Atas Watu Gilang

Bisikan ayahandanya itu membuat Mangkubumi deg-degan. Dia jadi menduga-duga acara apa yang akan dilaksanakan di Sitihinggil tersebut. Apalagi, dia tahu bahwa Watu Gilang tidak pernah diduduki siapa pun sejak HB X diangkat sebagai putra mahkota pada 7 Maret 1989.

Rombongan lalu masuk ke Bangsal Mangunturtangkil di kompleks Bangsal Sitihinggil. Ada tempat khusus untuk duduk Sultan HB X atau yang dikenal dengan nama Dampar Kencana. Kemudian, para putri dan kerabat duduk berhadapan dengan HB X. Persis di depan deretan para putri itu, terdapat sebuah kursi kayu yang diletakkan di atas batu yang ditutup karpet merah dan ditaburi bunga melati. Itulah tempat yang disebut HB X sebagai Watu Gilang, tempat penobatan putri mahkota.

“Raos,” ucap salah seorang abdi dalem dengan lantang. Ucapan tersebut merupakan pertanda bahwa Sultan HB X akan datang. Tak ada irama gamelan seperti biasa ketika HB X datang. Yang ada, hadir suasana khidmat para kerabat keraton dan undangan menyaksikan raja Keraton Jogjakarta itu berjalan menuju Bangsal Mangunturtangkil.

Setelah HB X duduk di Dampar Kencana, suasana hening sejenak. Semua yang datang tahu bahwa mereka harus berdoa. Tak lama, HB X memberikan tanda berupa anggukan kepada GKR Mangkubumi untuk segera menghadapnya.

Mangkubumi berjalan menuju hadapan ayahandanya. Sembah dihaturkan sambil berdiri. Ketika Mangkubumi sudah sampai di depan sultan, dawuh raja dibacakan. Bahasa yang digunakan merupakan bahasa Jawa. Isinya, mengganti nama GKR Pembayun menjadi GKR Mangkubumi, nama yang sama ketika Sultan HB X menjadi putra mahkota.

Seusai pembacaan dawuh raja, Mangkubumi diperintah untuk duduk di kursi di atas Watu Gilang. Upacara yang tak lebih dari sepuluh menit itu ditutup dengan doa. “Saya semakin ndredeg ketika duduk di atas Watu Gilang. Sampai-sampai tidak melihat Ngarso Dalem berdiri untuk keluar,” ungkap Mangkubumi.

Nama baru itu membuat Pembayun merasa punya tanggung jawab yang lebih berat. Nama Mangkubumi pernah dikenakan HB I, HB VI, dan HB X.

Sementara itu, sebelum upacara berlangsung, kesibukan mendadak terjadi di keraton. Pasalnya, Sultan HB X tiba-tiba memerintah KRT Yudadiningrat, Pengageng Tepas Tanda Yekti, untuk mengumpulkan para abdi dalem guna mengikuti upacara dawuh raja tersebut. Baik abdi dalem yang bertugas di keraton maupun yang menjadi pegawai di luar keraton.

Bisikan ayahandanya itu membuat Mangkubumi deg-degan. Dia jadi menduga-duga acara apa yang akan dilaksanakan di Sitihinggil tersebut. Apalagi, dia tahu bahwa Watu Gilang tidak pernah diduduki siapa pun sejak HB X diangkat sebagai putra mahkota pada 7 Maret 1989.

Rombongan lalu masuk ke Bangsal Mangunturtangkil di kompleks Bangsal Sitihinggil. Ada tempat khusus untuk duduk Sultan HB X atau yang dikenal dengan nama Dampar Kencana. Kemudian, para putri dan kerabat duduk berhadapan dengan HB X. Persis di depan deretan para putri itu, terdapat sebuah kursi kayu yang diletakkan di atas batu yang ditutup karpet merah dan ditaburi bunga melati. Itulah tempat yang disebut HB X sebagai Watu Gilang, tempat penobatan putri mahkota.

“Raos,” ucap salah seorang abdi dalem dengan lantang. Ucapan tersebut merupakan pertanda bahwa Sultan HB X akan datang. Tak ada irama gamelan seperti biasa ketika HB X datang. Yang ada, hadir suasana khidmat para kerabat keraton dan undangan menyaksikan raja Keraton Jogjakarta itu berjalan menuju Bangsal Mangunturtangkil.

Setelah HB X duduk di Dampar Kencana, suasana hening sejenak. Semua yang datang tahu bahwa mereka harus berdoa. Tak lama, HB X memberikan tanda berupa anggukan kepada GKR Mangkubumi untuk segera menghadapnya.

Mangkubumi berjalan menuju hadapan ayahandanya. Sembah dihaturkan sambil berdiri. Ketika Mangkubumi sudah sampai di depan sultan, dawuh raja dibacakan. Bahasa yang digunakan merupakan bahasa Jawa. Isinya, mengganti nama GKR Pembayun menjadi GKR Mangkubumi, nama yang sama ketika Sultan HB X menjadi putra mahkota.

Seusai pembacaan dawuh raja, Mangkubumi diperintah untuk duduk di kursi di atas Watu Gilang. Upacara yang tak lebih dari sepuluh menit itu ditutup dengan doa. “Saya semakin ndredeg ketika duduk di atas Watu Gilang. Sampai-sampai tidak melihat Ngarso Dalem berdiri untuk keluar,” ungkap Mangkubumi.

Nama baru itu membuat Pembayun merasa punya tanggung jawab yang lebih berat. Nama Mangkubumi pernah dikenakan HB I, HB VI, dan HB X.

Sementara itu, sebelum upacara berlangsung, kesibukan mendadak terjadi di keraton. Pasalnya, Sultan HB X tiba-tiba memerintah KRT Yudadiningrat, Pengageng Tepas Tanda Yekti, untuk mengumpulkan para abdi dalem guna mengikuti upacara dawuh raja tersebut. Baik abdi dalem yang bertugas di keraton maupun yang menjadi pegawai di luar keraton.

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/