26.7 C
Medan
Saturday, May 18, 2024

Hanya 17 Persen Penderita HIV/AIDS Gunakan Obat ARV, 500 Ribu Penderita Tak Diobati

HARI HIV/AIDS SEDUNIA: Sejumlah relawan dari Yayasan Caritas PSE melakukan kampanye dalam memperingati Hari HIV/Aids internasional di Lapangan Pertiwi, Medan, beberapa waktu lalu. Pengobatan untuk para penderita HIV/AIDS saat ini hanya 17 persen. Sisanya, 500 ribu penderita tanpa diobati.
SUTAN SIREGAR/SUMUT POS

MEDAN, SUMUTPOS.CO – Pengobatan antiretroviral (ARV) bagi penderita HIV/AIDS di Indonesia dinilai masih sangat rendah. Tercatat, pengobatan tersebut hanya 17 persen. Angka ini adalah yang terburuk di regional Asia Pacific bahkan Dunia.

“Hanya ada sekitar 140 ribu orang dengan HIV yang berada dalam pengobatan ARV. Artinya, ada 500.000 ribu lainnya masih belum ada dalam pengobatan,” ungkap Direktur Eksekutif Indonesia AIDS Coalition (IAC, organisasi kelompok aktifis kesehatan), Aditya Wardhana kepada wartawan, Minggu (15/9).

Menurut Aditya, capaian yang buruk ini dipengaruhi oleh banyak faktor. Di an-taranya, kurangnya political will dari pemerintah dan layanan untuk memberlakukan Test and Treat. Kemudian, keterlambatan dalam mengadopsi pembelajaran terbaik dari negara lain yang nyata-nyata mendukung program AIDS.

Selanjutnya, masih tingginya stigma dan diskriminasi kepada kelompok terdampak AIDS seperti orang dengan HIV, pekerja seks, LGBT, pengguna narkotika, perempuan dan anak sampai dengan mahalnya harga obat ARV yang dibeli oleh pemerintah Indonesia dari industri farmasi BUMN.

“Dengan hanya 17 persen cakupan obat ARV, tidak heran jika angka kematian akibat AIDS berdasarkan permodelan akan terus meningkat sampai dengan 2020 nanti. Untuk itu, IAC menyerukan agar Menteri Kesehatan segera melakukan audit menyeluruh terhadap program penanggulangan AIDS termasuk pelaksananya,” tegas Aditya.

Diutarakan dia, UNAIDS, sebagai badan PBB yang bertanggung jawab untuk program AIDS telah membuat sebuah permodelan, di mana diestimasikan kematian akibat AIDS akan meningkat dari 45 ribu di tahun 2018 menjadi 48 ribu di tahun 2020. Angka ini akan terus meningkat seiring dengan rendahnya cakupan ARV pada Orang dengan HIV AIDS (ODHA)

“ODHA di Indonesia sendiri tergolong sebagai ODHA yang kurang beruntung di dunia. Sebab pengobatan ARV yang diberikan pada mereka masih menggunakan jenis-jenis regimen obat ARV yang kuno,” paparnya.

Apalagi, lanjutnya, masih banyak ODHA yang diberikan obat-obatan ARV dari jenis regimen AZT. Padahal, AZT sendiri telah dipergunakan sejak tahun 1960-an sebagai obat kanker dan telah digunakan sebagai terapi HIV di tahun-tahun awal epidemi AIDS ditemukan di dunia tahun 1980-an. “Sedangkan saat ini telah ada obat-obatan baru yang berdaya kerja tinggi seperti Dolutegravir namun belum diperkenalkan di Indonesia,” beber Aditya.

Aditya melanjutkan, obat ARV jenis Dolutegravir ini selain lebih ampuh, ternyata bisa lebih cepat memulihkan kondisi kesehatan ODHA. Bahkan, harganya jauh lebih murah dibanding obat-obatan ARV yang saat ini digunakan dan dibeli oleh Kementerian Kesehatan.

“Dalam pertemuan Fast Track Cities minggu lalu yang diselenggarakan di London, banyak kota di dunia yang telah melaporkan keberhasilan mereka dalam cakupan obat ARV ini sampai berhasil memberikan pengobatan ARV kepada sebesar 90 persen dari total orang dengan HIV. Kota tersebut seperti London, Amsterdam, Manchester dan Brighton,” bilang Aditya lagi.

Berdasarkan data yang dilaporkan kepada UNAIDS, kata Aditya, ada 16 kota yang telah sukses mencapai target 90 persen ODHA dalam pengobatan. Sementara kota di Indonesia masih tertinggal jauh terbelakang dengan angka yang terburuk di Asia.

Bahkan, negara seperti India melaporkan telah berhasil memberikan obat ARV kepada 1,2 juta ODHA di negaranya. Begitu juga Cambodia telah berhasil mencapai target 90 persen angka pengobatan ARV dengan memberikan ARV kepada 62 ribu ODHA dari total 67 ribu ODHA yang ada di negara tersebut.

“Pemerintahan Jokowi sendiri dalam rancangan teknokratik RPJMN 2019-2024 dengan percaya diri memberikan target bisa menurunkan angka insiden penularan HIV baru dari 0,24 persen menjadi 0,18 persen. Kami yakin bahwa Indonesia akan gagal mencapai target RPJMN mendatang, yaitu penurunan angka penularan HIV baru ini jika berkaca pada buruknya cakupan pengobatan ARV sekarang,” cetusnya.

Oleh karena itu, lanjut dia, pemerintah harus segara melakukan audit program jika masih ingin on-track dalam mencapai target RPJMN mendatang. “Terhadap pemerintah baru yang nanti akan dibentuk oleh pemerintah Jokowi-Ma’ruf Amin, IAC mengimbau agar Menkes sesegera mungkin melakukan audit menyeluruh terhadap program penanggulangan AIDS. Hal ini sangat diperlukan agar pemerintahan yang baru nanti bisa mengambil langkah-langkah cepat penyelamatan sehingga angka kematian ODHA akibat AIDS bisa terkoreksi menjadi lebih rendah,” katanya.

Selain itu, sebut Aditya, IAC juga mengimbau kepada pemerintah untuk bekerja lebih serius dalam menurunkan harga obat ARV. Sebab, ODHA yang membutuhkan obat ARV ini masih banyak. “Dengan tingginya harga obat ARV seperti sekarang ini, tahun 2019 pemerintah harus menganggarkan dana sebanyak Rp1,2 triliun hanya untuk memberikan pengobatan ARV pada 150 ODHA. Sementara, berdasarkan hitungan kami, harga yang rasional itu hanya 40 persen dari tingkat harga yang sekarang,” ketusnya.

IAC meminta kepada pemerintah agar membuka ruang pelibatan dari ODHA sebagai penentu kebijakan program AIDS mendatang. Sebab, di banyak negara keterlibatan ODHA dalam level tertinggi di program penanggulangan AIDS telah terbukti mampu memberikan masukan-masukan yang membumi dan dibutuhkan dalam memberikan daya ungkit keberhasilan program itu. “Di banyak negara, ODHA sudah bukan lagi sekadar dijadikan obyek, namun sudah menjadi decision maker dalam program penanggulangan AIDS di pemerintahan,” pungkasnya.

Kordinator Advokasi dan Hak Asasi Manusia IAC, Sabam Manalu menuturkan, masih rendahnya angka pengobatan ARV adalah sebuah tanda bahaya bagi Indonesia. Sebab, dengan angka cakupan ARV yang rendah ini maka potensi penularan juga akan menjadi tinggi. Sebab, obat ARV selama ini diyakini secara ilmiah mampu mencegah penularan HIV baru.

“Masih banyak prosedur yang dijalankan oleh layanan kesehatan sebelum memberikan obat ARV kepada ODHA diyakini juga turut menjadi pemicu rendahnya cakupan pengobatan ARV ini. Begitu tahu status seseorang terkena HIV, seharusnya berdasarkan evidence global maka ODHA itu bisa langsung diberikan obat ARV. Namun, dalam faktanya ODHA masih diminta untuk melakukan tes-tes penyerta lain sebelum bisa diberikan obat ARV. Sementara semestinya tes-tes ini bisa dilakukan belakangan,” ujarnya.

Diketahui, pengobatan ARV dapat memperlambat perkembangan virus HIV. ARV bekerja dengan menghilangkan unsur yang dibutuhkan virus HIV untuk menggandakan diri, dan mencegah virus tersebut menghancurkan sel CD4. Beberapa jenis obat ARV, antara lain Efavirenz, Etravirine, Nevirapine, Lamivudin, dan Zidovudin. (ris/ila)

HARI HIV/AIDS SEDUNIA: Sejumlah relawan dari Yayasan Caritas PSE melakukan kampanye dalam memperingati Hari HIV/Aids internasional di Lapangan Pertiwi, Medan, beberapa waktu lalu. Pengobatan untuk para penderita HIV/AIDS saat ini hanya 17 persen. Sisanya, 500 ribu penderita tanpa diobati.
SUTAN SIREGAR/SUMUT POS

MEDAN, SUMUTPOS.CO – Pengobatan antiretroviral (ARV) bagi penderita HIV/AIDS di Indonesia dinilai masih sangat rendah. Tercatat, pengobatan tersebut hanya 17 persen. Angka ini adalah yang terburuk di regional Asia Pacific bahkan Dunia.

“Hanya ada sekitar 140 ribu orang dengan HIV yang berada dalam pengobatan ARV. Artinya, ada 500.000 ribu lainnya masih belum ada dalam pengobatan,” ungkap Direktur Eksekutif Indonesia AIDS Coalition (IAC, organisasi kelompok aktifis kesehatan), Aditya Wardhana kepada wartawan, Minggu (15/9).

Menurut Aditya, capaian yang buruk ini dipengaruhi oleh banyak faktor. Di an-taranya, kurangnya political will dari pemerintah dan layanan untuk memberlakukan Test and Treat. Kemudian, keterlambatan dalam mengadopsi pembelajaran terbaik dari negara lain yang nyata-nyata mendukung program AIDS.

Selanjutnya, masih tingginya stigma dan diskriminasi kepada kelompok terdampak AIDS seperti orang dengan HIV, pekerja seks, LGBT, pengguna narkotika, perempuan dan anak sampai dengan mahalnya harga obat ARV yang dibeli oleh pemerintah Indonesia dari industri farmasi BUMN.

“Dengan hanya 17 persen cakupan obat ARV, tidak heran jika angka kematian akibat AIDS berdasarkan permodelan akan terus meningkat sampai dengan 2020 nanti. Untuk itu, IAC menyerukan agar Menteri Kesehatan segera melakukan audit menyeluruh terhadap program penanggulangan AIDS termasuk pelaksananya,” tegas Aditya.

Diutarakan dia, UNAIDS, sebagai badan PBB yang bertanggung jawab untuk program AIDS telah membuat sebuah permodelan, di mana diestimasikan kematian akibat AIDS akan meningkat dari 45 ribu di tahun 2018 menjadi 48 ribu di tahun 2020. Angka ini akan terus meningkat seiring dengan rendahnya cakupan ARV pada Orang dengan HIV AIDS (ODHA)

“ODHA di Indonesia sendiri tergolong sebagai ODHA yang kurang beruntung di dunia. Sebab pengobatan ARV yang diberikan pada mereka masih menggunakan jenis-jenis regimen obat ARV yang kuno,” paparnya.

Apalagi, lanjutnya, masih banyak ODHA yang diberikan obat-obatan ARV dari jenis regimen AZT. Padahal, AZT sendiri telah dipergunakan sejak tahun 1960-an sebagai obat kanker dan telah digunakan sebagai terapi HIV di tahun-tahun awal epidemi AIDS ditemukan di dunia tahun 1980-an. “Sedangkan saat ini telah ada obat-obatan baru yang berdaya kerja tinggi seperti Dolutegravir namun belum diperkenalkan di Indonesia,” beber Aditya.

Aditya melanjutkan, obat ARV jenis Dolutegravir ini selain lebih ampuh, ternyata bisa lebih cepat memulihkan kondisi kesehatan ODHA. Bahkan, harganya jauh lebih murah dibanding obat-obatan ARV yang saat ini digunakan dan dibeli oleh Kementerian Kesehatan.

“Dalam pertemuan Fast Track Cities minggu lalu yang diselenggarakan di London, banyak kota di dunia yang telah melaporkan keberhasilan mereka dalam cakupan obat ARV ini sampai berhasil memberikan pengobatan ARV kepada sebesar 90 persen dari total orang dengan HIV. Kota tersebut seperti London, Amsterdam, Manchester dan Brighton,” bilang Aditya lagi.

Berdasarkan data yang dilaporkan kepada UNAIDS, kata Aditya, ada 16 kota yang telah sukses mencapai target 90 persen ODHA dalam pengobatan. Sementara kota di Indonesia masih tertinggal jauh terbelakang dengan angka yang terburuk di Asia.

Bahkan, negara seperti India melaporkan telah berhasil memberikan obat ARV kepada 1,2 juta ODHA di negaranya. Begitu juga Cambodia telah berhasil mencapai target 90 persen angka pengobatan ARV dengan memberikan ARV kepada 62 ribu ODHA dari total 67 ribu ODHA yang ada di negara tersebut.

“Pemerintahan Jokowi sendiri dalam rancangan teknokratik RPJMN 2019-2024 dengan percaya diri memberikan target bisa menurunkan angka insiden penularan HIV baru dari 0,24 persen menjadi 0,18 persen. Kami yakin bahwa Indonesia akan gagal mencapai target RPJMN mendatang, yaitu penurunan angka penularan HIV baru ini jika berkaca pada buruknya cakupan pengobatan ARV sekarang,” cetusnya.

Oleh karena itu, lanjut dia, pemerintah harus segara melakukan audit program jika masih ingin on-track dalam mencapai target RPJMN mendatang. “Terhadap pemerintah baru yang nanti akan dibentuk oleh pemerintah Jokowi-Ma’ruf Amin, IAC mengimbau agar Menkes sesegera mungkin melakukan audit menyeluruh terhadap program penanggulangan AIDS. Hal ini sangat diperlukan agar pemerintahan yang baru nanti bisa mengambil langkah-langkah cepat penyelamatan sehingga angka kematian ODHA akibat AIDS bisa terkoreksi menjadi lebih rendah,” katanya.

Selain itu, sebut Aditya, IAC juga mengimbau kepada pemerintah untuk bekerja lebih serius dalam menurunkan harga obat ARV. Sebab, ODHA yang membutuhkan obat ARV ini masih banyak. “Dengan tingginya harga obat ARV seperti sekarang ini, tahun 2019 pemerintah harus menganggarkan dana sebanyak Rp1,2 triliun hanya untuk memberikan pengobatan ARV pada 150 ODHA. Sementara, berdasarkan hitungan kami, harga yang rasional itu hanya 40 persen dari tingkat harga yang sekarang,” ketusnya.

IAC meminta kepada pemerintah agar membuka ruang pelibatan dari ODHA sebagai penentu kebijakan program AIDS mendatang. Sebab, di banyak negara keterlibatan ODHA dalam level tertinggi di program penanggulangan AIDS telah terbukti mampu memberikan masukan-masukan yang membumi dan dibutuhkan dalam memberikan daya ungkit keberhasilan program itu. “Di banyak negara, ODHA sudah bukan lagi sekadar dijadikan obyek, namun sudah menjadi decision maker dalam program penanggulangan AIDS di pemerintahan,” pungkasnya.

Kordinator Advokasi dan Hak Asasi Manusia IAC, Sabam Manalu menuturkan, masih rendahnya angka pengobatan ARV adalah sebuah tanda bahaya bagi Indonesia. Sebab, dengan angka cakupan ARV yang rendah ini maka potensi penularan juga akan menjadi tinggi. Sebab, obat ARV selama ini diyakini secara ilmiah mampu mencegah penularan HIV baru.

“Masih banyak prosedur yang dijalankan oleh layanan kesehatan sebelum memberikan obat ARV kepada ODHA diyakini juga turut menjadi pemicu rendahnya cakupan pengobatan ARV ini. Begitu tahu status seseorang terkena HIV, seharusnya berdasarkan evidence global maka ODHA itu bisa langsung diberikan obat ARV. Namun, dalam faktanya ODHA masih diminta untuk melakukan tes-tes penyerta lain sebelum bisa diberikan obat ARV. Sementara semestinya tes-tes ini bisa dilakukan belakangan,” ujarnya.

Diketahui, pengobatan ARV dapat memperlambat perkembangan virus HIV. ARV bekerja dengan menghilangkan unsur yang dibutuhkan virus HIV untuk menggandakan diri, dan mencegah virus tersebut menghancurkan sel CD4. Beberapa jenis obat ARV, antara lain Efavirenz, Etravirine, Nevirapine, Lamivudin, dan Zidovudin. (ris/ila)

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/