26.7 C
Medan
Saturday, May 18, 2024

Maret, Diprediksi Terjadi Konflik Terkait Sengketa Tanah di Sumut

MEDAN- Seorang anggota DPRD Sumut dari Komisi A Akhmad Ikhyar Hasibuan mengatakan kasus tanah di Sumut semakin runcing dan mengarah ke konflik. Bahkan, dia memprediksi Maret mendatang adalah waktu yang sangat krusial.
“Semua konflik tanah, puncaknya di Maret ini. Tidak peduli yang bersinggungan dengan PTPN maupun swasta. Jadi, semua pihak harus mewaspadai itu semua,” tegasnya.

Itu terjadi karena ada hal yang tumpang tindih dalam masalah aturan atau undang-undang, mengenai persoalan sengketa-sengketa tanah di Sumut. “Kalau persoalan dengan PTPN, ngapain sampai ke Meneg BUMN. Gubernur punya wewenang untuk menyelesaikan itu,” tukasnya.

Sedangkan anggota Komisi A DPRD Sumut lainnya, Syamsul Hilal menegaskan, apa yang dilakukan Pelaksana Tugas (Plt) Gubsu Gatot Pujo Nugroho dalam melakukan pemetaan terhadap lahan-lahan yang bersengketa, adalah kebijakan yang tidak relevan dan tidak memecahkan masalah.
“Ini cuma kebijakan administratif dan saya tidak yakin akan menyelesaikan masalah. Coba kita pikir dan hitung-hitung dalam pikiran saya ada 870 kasus tanah yang tidak terselesaikan. Sementara Polda Sumut mengatakan, ada 3 ribu kasus tanah di Sumut. Kalau pemetaan membutuhkan waktu satu tahun, jadi bagaimana menyelesaikan 3 ribu kasus itu? Jadi butuh 3 ribu tahun. Semua kita yang hidup sekarang sudah mati,” tegasnya.

Begitulah, kasus sengketa tanah di Sumatera Utara memang bagai bom waktu. Masih begitu banyak kasus kepemilikan tanah yang belum selesai. Untuk itulah, pihak Kepolisian Daerah Sumatera Utara mencoba mencari penyelesaian.
Memilih tempat di di Aula Kamtibmas Polda Sumut, rapat kordinasi masalah pertanahan pun digelar pada Senin (16/1) mulai 08.30 WIB. Tercatat, selain Kapoldasu sebagai tuan rumah, hadir Pangdam I/BB, Kejatisu, Ketua DPRD Sumut, Plt Gubsu, Kepala BPN Sumut, Para bupati, wali kota, serta pihak PTPN.

Kapoldasu Irjen Pol Wisjnu Amat Sastro mengatakan, setidaknya ada 2.833 kasus tanah di daerah Sumut. Dari 2.833 kasus tanah itu, ada sembilan kasus yang berlangsung sangat lama dan berpotensi menimbulkan konflik pada 2012.

“Karena itu, Polda Sumut telah melakukan tindakan preemtif, preventif, dan represif,” katanya.

Sementara itu, Kepala Biro Operasi Polda Sumut Kombes Pol Iwan Hari Sugiarto mengatakan, berbagai sengketa itu telah menimbulkan pertentangan antara berbagai pihak. Dari pendataan yang dilakukan, terdapat 2.498 kasus tanah yang menimbulkan konflik sesama warga atau masyarakat.

“Polda Sumut mengharapkan adanya kerja sama semua aspek yang terkait dalam permasalahan tanah. Selain itu, mengambil langkah-langkah terkait tanah dengan mempertimbangkan aspek hukum dan sosiologisnya,” tambah Iwan.

Selain pihak Polda, para undangan juga mulai menyuarakan aspirasinya. Satu di antaranya adala Bupati Labuhan Batu Selatan, H Nurban Asman Tanjung. Sang bupati menyoroti soal tapal batas provinsi Sumut dengan provinsi lain yang juga belum tuntas.

Sebagai penutup, Plt Gubsu Gatot Pujo Nugroho mengharapkan tim pemetaan segera mengetahui berapa luas lahan HGU dan eks HGU PTPN II. “Supaya konflik-konflik yang terjadi akan bisa dihindari,” katanya.
Kasus Mesuji Bisa Terjadi di Sumut

Hendry Saragih selaku Presiden Petani Dunia/General Coordinator La Via Campesina yang juga ditemui Sumut Pos di lobi Hotel Tiara Medan, seusai dirinya menjadi narasumber di sebuah radio lokal menilai, tahun ini merupakan puncak ketidakadilan sosial yang meluas dari berbagai konflik tanah yang tidak terselesaikan hingga saat ini.

Hendry menuturkan, salah satu faktor banyaknya kasus tanah yang mencuat adalah faktor pendapatan atau gaji. Di mana gaji buruh PTPN relatif rendah, bila dibandingkan dengan pekerja-pekerja perkebunan di Malaysia.

“Salah satu faktornya, gaji buruh perkebunan yang rendah menjadi pemicu konflik. Kemudian penyelesaian sengketa yang tidak secara tegas oleh pemerintah, terutama pemerintah daerah dari kabupaten/kota dan provinsi juga salah satu faktornya. Untuk antiklimaksnya, tidak bisa diramalkan secara sistematis. Potensi untuk menyulut pertikaian itu sudah ada,” ungkapnya.

Hendry tidak menampik, bila semua persoalan sengketa tanah tidak terselesaikan, maka pertumpahan darah akan terjadi, layaknya kejadian di Mesuji, Lampung. “Kalau ini tidak terselesaikan, maka pertumpahan darah seperti di daerah-daerah lainnya akan terjadi di Sumut,” tambahnya.

Sementara itu, Harun Nuh selaku Ketua Badan Perjuangan Rakyat Penunggu Indonesia (BPRPI) Sumut menyatakan, konflik-konflik yang terjadi antara masyarakat dengan PTPN, terutama PTPN II pada prinsipnya pemerintah tidak sungguh-sungguh.

Dalam arti kata, khusus PTPN II, banyak oknum yang melakukan penjualan lahan secara ilegal, namun tetap dipertahankan oleh pihak Direksi PTPN II. “Pemerintah bila ingin mempertahankan PTPN II, maka pejabat-pejabat PTPN II harus diganti. Banyak tanah yang dijual, tapi pejabat yang menjual secara ilegal itu dipertahankan dan dilindungi. Kalau konflik terjadi, masyarakat BPRPI sudah siap melakukan perlawanan,” tegasnya.

PTPN 2 Tunggu Meneg BUMN

Manajemen PTPN 2 masih saja menunggu respon Kementerian Negara Badan Usaha Milik Negara (Meneg BUMN) tentang permohonan perpanjangan HGU di areal seluas 5873,06 ha. Situasi menggantung ini diprediksi rentan dijarah warga.

Buktinya, keadaan tak jelas ini membuat beberapa kalangan mengambil kesempatan. Bahkan, menurut Kepala Humas PTPN 2, Rachmuddin, di kalangan warga telah beredar 7 Surat Keputusan (SK) Meneg BUMN yang diduga kuat palsu.

“Sampai saat ini, belum ada respon atau realisasi dari Meneg BUMN. Oleh karena itu, PTPN 2  hanya menjaganya dengan kekuatan bantuan dari BKO Brimob Poldasu,” kata Rachmuddin.

Rachmudin mengakui pengamanan yang dilakukan pihaknya terbatas. Karena itu, setiap ada perusakan tanaman kepala sawit serta pendudukan areal PTPN 2, pihaknya langsung membuat laporan.

Misalnya, perusakan sawit di afdeling II PTPN 2 Kebun Bandar Klippa di Desa Sena, Kecamatan Batang Kuis. Bahkan, di area kantor manajer Kebun Bandar Klippa  berdiri bangunan ruko. “Kami laporkan ke polisi dan bangunan tanpa izin itu langsung dibongkar,” katanya.

Dijelaskan Rachmuddin sampai saat ini, belum ada lahan eks HGU PTPN 2 yang dilepaskan kepada pihak ketiga, meski permohonan pelepasan sudah banyak. Begitu pun dengan areal seluas 922 di Kebun Limau Mungkur. Lahan itu tet masih HGU PTPN 2. Namun, di kawasan itu terus bentrok.
Sejatinya, menurut Rachmudin, terjadi bentrok di sana karena ada persaingan antara kontraktor pemanen terjadi aksi bentrok baik antar kontraktor pemanenan tandan buah segar (TBS) kelapa sawit yang mendapat izin dari PTPN 2 dengan warga penggarap. Dijelaskannya, kelompok Yusuf Sinulingga dulunya dipakai sebagai kontraktor panen di areal kebun Limau Mungkur. Tetapi, pada tahun 2010 silam kontraknya selesai.

Kemudian dilanjutkan ke kelompok Pendi Kesi. Kelompok ini bertugas memanen hasil sawit di areal 922 yang semenjak 1997 telah bergejolok. Saat itu, Koperasi Juma Tombak melakukan gugatan ke pengadilan bahkan putus PK menyatakan lahan 922 masuk HGU PTPN 2.

Tetapi Rachmuddin tidak dapat menerangkan, sistem kerja sama kontrak panen yang dimaksud. Bahkan nomor HGU PTPN2 di Kebun Limau Mungkur juga tidak diketahuinya. “Saya tidak tahu sistemnya bagaimana, tetapi itu ada kontrak kerjanya. Kontrak itu dilakukan manajer kebun setempat dan ditembuskan ke kantor direksi, tetapi saya kurang tahu,” katanya.  (mag-5/ari/btr)

Sengketa Tanah yang berpotensi Konflik pada 2012

  1. Kasus Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL) di Kabupaten Langkat
    Keterangan: Pengungsi Aceh menempati kawasan TNGL
  2. Kasus Limau Mungkur Kabupaten Deliserdang
    Keterangan: Perebutan Lahan antara PTPN 2 dengan masyarakat
  3. Kasus Kuala Namu Kabupaten Deliserdang
    Keterangan: Eks karyawan PTPN yang masih menempati rumah dinas di lokasi Bandara Kuala Namu
  4. Kasus Eks HGU PTPN 2 di Batang Kuis Kabupaten Deliserdang
    Keterangan: Perebutan Lahan antara PTPN 2 dengan masyarakat
  5. Kasus register 40 Kabupaten Tapanuli Selatan/Padang Lawas
    Keterangan: Konflik warga dengan PT Torganda
  6. Kasus Selambo Kabupaten Deli Serdang
    Keterangan: Perebutan tanah pengusaha lahan eks PTPN 2 dengan kelompok tani/masyarakat
  7. Kasus PT Nauli Sawit Kabupaten Tapanuli Tengah
    Keterangan: Sengketa lahan PT Nauli Sawit dengan masyarakat
  8. Kasus PT KIM
    Keterangan: Pelaksana eksekusi Putusan PN Lubuk Pakam karena salah objek
  9. Kasus penentuan peruntukan lahan eks HGU PTPN 2
    Keterangan: Seluas 5.873,06 hektar di Deliserdang, Binjai, Sergai, Langkat, dan Medan.

Lahan PTPN 2 yang Digarap dan Diklaim Masyararakat per 2011

Total lahan PTPN 2 112.669,27 ha

Lahan yang Digarap Masyarakat

  • Lahan Hak Guna Usaha (HGU) 6.742,36 ha
  • Lahan HGU dalam proses sertifikat 705,74 ha
  • Lahan HGU yang diperpanjang 112,1 ha
  • Lahan Eks HGU 5.873,06 ha

Total 11.469,18 hektar

Lahan yang Diklaim Masyarakat

  • Lahan HGU 3.622,01 ha
  • HGU dalam proses sertifikat 2.285,29 ha
  • Lahan yang belum mempunyai HGU 1.172 ha
  • Lahan Eks HGU 146,27 ha

Total 6.519,83

MEDAN- Seorang anggota DPRD Sumut dari Komisi A Akhmad Ikhyar Hasibuan mengatakan kasus tanah di Sumut semakin runcing dan mengarah ke konflik. Bahkan, dia memprediksi Maret mendatang adalah waktu yang sangat krusial.
“Semua konflik tanah, puncaknya di Maret ini. Tidak peduli yang bersinggungan dengan PTPN maupun swasta. Jadi, semua pihak harus mewaspadai itu semua,” tegasnya.

Itu terjadi karena ada hal yang tumpang tindih dalam masalah aturan atau undang-undang, mengenai persoalan sengketa-sengketa tanah di Sumut. “Kalau persoalan dengan PTPN, ngapain sampai ke Meneg BUMN. Gubernur punya wewenang untuk menyelesaikan itu,” tukasnya.

Sedangkan anggota Komisi A DPRD Sumut lainnya, Syamsul Hilal menegaskan, apa yang dilakukan Pelaksana Tugas (Plt) Gubsu Gatot Pujo Nugroho dalam melakukan pemetaan terhadap lahan-lahan yang bersengketa, adalah kebijakan yang tidak relevan dan tidak memecahkan masalah.
“Ini cuma kebijakan administratif dan saya tidak yakin akan menyelesaikan masalah. Coba kita pikir dan hitung-hitung dalam pikiran saya ada 870 kasus tanah yang tidak terselesaikan. Sementara Polda Sumut mengatakan, ada 3 ribu kasus tanah di Sumut. Kalau pemetaan membutuhkan waktu satu tahun, jadi bagaimana menyelesaikan 3 ribu kasus itu? Jadi butuh 3 ribu tahun. Semua kita yang hidup sekarang sudah mati,” tegasnya.

Begitulah, kasus sengketa tanah di Sumatera Utara memang bagai bom waktu. Masih begitu banyak kasus kepemilikan tanah yang belum selesai. Untuk itulah, pihak Kepolisian Daerah Sumatera Utara mencoba mencari penyelesaian.
Memilih tempat di di Aula Kamtibmas Polda Sumut, rapat kordinasi masalah pertanahan pun digelar pada Senin (16/1) mulai 08.30 WIB. Tercatat, selain Kapoldasu sebagai tuan rumah, hadir Pangdam I/BB, Kejatisu, Ketua DPRD Sumut, Plt Gubsu, Kepala BPN Sumut, Para bupati, wali kota, serta pihak PTPN.

Kapoldasu Irjen Pol Wisjnu Amat Sastro mengatakan, setidaknya ada 2.833 kasus tanah di daerah Sumut. Dari 2.833 kasus tanah itu, ada sembilan kasus yang berlangsung sangat lama dan berpotensi menimbulkan konflik pada 2012.

“Karena itu, Polda Sumut telah melakukan tindakan preemtif, preventif, dan represif,” katanya.

Sementara itu, Kepala Biro Operasi Polda Sumut Kombes Pol Iwan Hari Sugiarto mengatakan, berbagai sengketa itu telah menimbulkan pertentangan antara berbagai pihak. Dari pendataan yang dilakukan, terdapat 2.498 kasus tanah yang menimbulkan konflik sesama warga atau masyarakat.

“Polda Sumut mengharapkan adanya kerja sama semua aspek yang terkait dalam permasalahan tanah. Selain itu, mengambil langkah-langkah terkait tanah dengan mempertimbangkan aspek hukum dan sosiologisnya,” tambah Iwan.

Selain pihak Polda, para undangan juga mulai menyuarakan aspirasinya. Satu di antaranya adala Bupati Labuhan Batu Selatan, H Nurban Asman Tanjung. Sang bupati menyoroti soal tapal batas provinsi Sumut dengan provinsi lain yang juga belum tuntas.

Sebagai penutup, Plt Gubsu Gatot Pujo Nugroho mengharapkan tim pemetaan segera mengetahui berapa luas lahan HGU dan eks HGU PTPN II. “Supaya konflik-konflik yang terjadi akan bisa dihindari,” katanya.
Kasus Mesuji Bisa Terjadi di Sumut

Hendry Saragih selaku Presiden Petani Dunia/General Coordinator La Via Campesina yang juga ditemui Sumut Pos di lobi Hotel Tiara Medan, seusai dirinya menjadi narasumber di sebuah radio lokal menilai, tahun ini merupakan puncak ketidakadilan sosial yang meluas dari berbagai konflik tanah yang tidak terselesaikan hingga saat ini.

Hendry menuturkan, salah satu faktor banyaknya kasus tanah yang mencuat adalah faktor pendapatan atau gaji. Di mana gaji buruh PTPN relatif rendah, bila dibandingkan dengan pekerja-pekerja perkebunan di Malaysia.

“Salah satu faktornya, gaji buruh perkebunan yang rendah menjadi pemicu konflik. Kemudian penyelesaian sengketa yang tidak secara tegas oleh pemerintah, terutama pemerintah daerah dari kabupaten/kota dan provinsi juga salah satu faktornya. Untuk antiklimaksnya, tidak bisa diramalkan secara sistematis. Potensi untuk menyulut pertikaian itu sudah ada,” ungkapnya.

Hendry tidak menampik, bila semua persoalan sengketa tanah tidak terselesaikan, maka pertumpahan darah akan terjadi, layaknya kejadian di Mesuji, Lampung. “Kalau ini tidak terselesaikan, maka pertumpahan darah seperti di daerah-daerah lainnya akan terjadi di Sumut,” tambahnya.

Sementara itu, Harun Nuh selaku Ketua Badan Perjuangan Rakyat Penunggu Indonesia (BPRPI) Sumut menyatakan, konflik-konflik yang terjadi antara masyarakat dengan PTPN, terutama PTPN II pada prinsipnya pemerintah tidak sungguh-sungguh.

Dalam arti kata, khusus PTPN II, banyak oknum yang melakukan penjualan lahan secara ilegal, namun tetap dipertahankan oleh pihak Direksi PTPN II. “Pemerintah bila ingin mempertahankan PTPN II, maka pejabat-pejabat PTPN II harus diganti. Banyak tanah yang dijual, tapi pejabat yang menjual secara ilegal itu dipertahankan dan dilindungi. Kalau konflik terjadi, masyarakat BPRPI sudah siap melakukan perlawanan,” tegasnya.

PTPN 2 Tunggu Meneg BUMN

Manajemen PTPN 2 masih saja menunggu respon Kementerian Negara Badan Usaha Milik Negara (Meneg BUMN) tentang permohonan perpanjangan HGU di areal seluas 5873,06 ha. Situasi menggantung ini diprediksi rentan dijarah warga.

Buktinya, keadaan tak jelas ini membuat beberapa kalangan mengambil kesempatan. Bahkan, menurut Kepala Humas PTPN 2, Rachmuddin, di kalangan warga telah beredar 7 Surat Keputusan (SK) Meneg BUMN yang diduga kuat palsu.

“Sampai saat ini, belum ada respon atau realisasi dari Meneg BUMN. Oleh karena itu, PTPN 2  hanya menjaganya dengan kekuatan bantuan dari BKO Brimob Poldasu,” kata Rachmuddin.

Rachmudin mengakui pengamanan yang dilakukan pihaknya terbatas. Karena itu, setiap ada perusakan tanaman kepala sawit serta pendudukan areal PTPN 2, pihaknya langsung membuat laporan.

Misalnya, perusakan sawit di afdeling II PTPN 2 Kebun Bandar Klippa di Desa Sena, Kecamatan Batang Kuis. Bahkan, di area kantor manajer Kebun Bandar Klippa  berdiri bangunan ruko. “Kami laporkan ke polisi dan bangunan tanpa izin itu langsung dibongkar,” katanya.

Dijelaskan Rachmuddin sampai saat ini, belum ada lahan eks HGU PTPN 2 yang dilepaskan kepada pihak ketiga, meski permohonan pelepasan sudah banyak. Begitu pun dengan areal seluas 922 di Kebun Limau Mungkur. Lahan itu tet masih HGU PTPN 2. Namun, di kawasan itu terus bentrok.
Sejatinya, menurut Rachmudin, terjadi bentrok di sana karena ada persaingan antara kontraktor pemanen terjadi aksi bentrok baik antar kontraktor pemanenan tandan buah segar (TBS) kelapa sawit yang mendapat izin dari PTPN 2 dengan warga penggarap. Dijelaskannya, kelompok Yusuf Sinulingga dulunya dipakai sebagai kontraktor panen di areal kebun Limau Mungkur. Tetapi, pada tahun 2010 silam kontraknya selesai.

Kemudian dilanjutkan ke kelompok Pendi Kesi. Kelompok ini bertugas memanen hasil sawit di areal 922 yang semenjak 1997 telah bergejolok. Saat itu, Koperasi Juma Tombak melakukan gugatan ke pengadilan bahkan putus PK menyatakan lahan 922 masuk HGU PTPN 2.

Tetapi Rachmuddin tidak dapat menerangkan, sistem kerja sama kontrak panen yang dimaksud. Bahkan nomor HGU PTPN2 di Kebun Limau Mungkur juga tidak diketahuinya. “Saya tidak tahu sistemnya bagaimana, tetapi itu ada kontrak kerjanya. Kontrak itu dilakukan manajer kebun setempat dan ditembuskan ke kantor direksi, tetapi saya kurang tahu,” katanya.  (mag-5/ari/btr)

Sengketa Tanah yang berpotensi Konflik pada 2012

  1. Kasus Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL) di Kabupaten Langkat
    Keterangan: Pengungsi Aceh menempati kawasan TNGL
  2. Kasus Limau Mungkur Kabupaten Deliserdang
    Keterangan: Perebutan Lahan antara PTPN 2 dengan masyarakat
  3. Kasus Kuala Namu Kabupaten Deliserdang
    Keterangan: Eks karyawan PTPN yang masih menempati rumah dinas di lokasi Bandara Kuala Namu
  4. Kasus Eks HGU PTPN 2 di Batang Kuis Kabupaten Deliserdang
    Keterangan: Perebutan Lahan antara PTPN 2 dengan masyarakat
  5. Kasus register 40 Kabupaten Tapanuli Selatan/Padang Lawas
    Keterangan: Konflik warga dengan PT Torganda
  6. Kasus Selambo Kabupaten Deli Serdang
    Keterangan: Perebutan tanah pengusaha lahan eks PTPN 2 dengan kelompok tani/masyarakat
  7. Kasus PT Nauli Sawit Kabupaten Tapanuli Tengah
    Keterangan: Sengketa lahan PT Nauli Sawit dengan masyarakat
  8. Kasus PT KIM
    Keterangan: Pelaksana eksekusi Putusan PN Lubuk Pakam karena salah objek
  9. Kasus penentuan peruntukan lahan eks HGU PTPN 2
    Keterangan: Seluas 5.873,06 hektar di Deliserdang, Binjai, Sergai, Langkat, dan Medan.

Lahan PTPN 2 yang Digarap dan Diklaim Masyararakat per 2011

Total lahan PTPN 2 112.669,27 ha

Lahan yang Digarap Masyarakat

  • Lahan Hak Guna Usaha (HGU) 6.742,36 ha
  • Lahan HGU dalam proses sertifikat 705,74 ha
  • Lahan HGU yang diperpanjang 112,1 ha
  • Lahan Eks HGU 5.873,06 ha

Total 11.469,18 hektar

Lahan yang Diklaim Masyarakat

  • Lahan HGU 3.622,01 ha
  • HGU dalam proses sertifikat 2.285,29 ha
  • Lahan yang belum mempunyai HGU 1.172 ha
  • Lahan Eks HGU 146,27 ha

Total 6.519,83

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/