28.9 C
Medan
Wednesday, May 8, 2024

Lapangan Olahraga Makin Minim

Fasilitas olahraga di Kota Medan semakin minim. Terutama lapangan sepakbola yang kerap dijadikan lahan untuk bangunan-bangunan bertingkat. Berikut wawancara wartawan Sumut Pos, Doni Hermawan dengan pengamat tata kota dan olahraga Sumut, Rafriandi Nasution.

Apa pendapat Anda semakin minimnya fasilitas olahraga, karena lahan sering dimanfaatkan untuk kepentingan bisnis?
Sebenarnya sudah diatur tentang sarana dan prasana olahraga ini dalam UU No 3 tahun 2005, tentang keolahragaan. Baik peran serta masyarakat pemerintah dan lainnya. Aturan mainnya sudah dijelaskan di situ. Hanya saja mungkin untuk sosialisasinya dan penerapannya tidak maksimal. Sehingga, banyak lahan olahraga dialihfungsikan.

Apa yang harus dilakukan karena sering terjadi sengketa antar masyarakat yang merasa memiliki lahan?
Selama ini memang tidak ada eksekusi hukum yang dilakukan, semacam syok terapi. Selain itu penerapan UU itu harus konsisten. Itu yang tidak terjadi.

Lalu bagaimana peran pemerintah?
Terkadang pemerintah tidak bisa disalahkan. Karena kebanyakan lapangan-lapangan itu lemah dalam hukum. Sering tidak ada sertifikatnya. Tapi pemerintah mungkin bisa menginventarisis berapa banyak lapangan mulai dari tingkat kota, kabupaten, kecamatan, kelurahan dan lainnya.

Lalu bagaimana peran masyarakat?
Registrasi ke Menegpora ataupun Koni setempat harus dilakukan. Apalagi datanya bisa terdaftar dan diakses di internet. Selama ini lapangan sering diwariskan tanpa ada keabsahan surat atau sertifikat yang jelas. Hanya karena sering digunakan itu masyarakat merasa memilikinya. Mau bilang apa kalau tiba-tiba ada pihak yang mengaku punya surat lengkap ditandatangani akta notaris dan sebagainya.

Bagaimana dampak dari minimnya fasilitas olahraga di Kota Medan?
Dampaknya sangat luas sekali. Anak-anak maupun remaja tidak tahu bahkan bingung untuk mengaplikasikan kegiatan olahraga, misalnya bermain bola di lapangan sekitar rumah. Ujung-ujungnya pelampiasan mereka ke warnet bahkan menjadi anggota genk motor. Coba kalau di tiap lingkungan disediakan fasilitas olahraga, tentu kegiatan negatif bisa terhindari. (*)

Fasilitas olahraga di Kota Medan semakin minim. Terutama lapangan sepakbola yang kerap dijadikan lahan untuk bangunan-bangunan bertingkat. Berikut wawancara wartawan Sumut Pos, Doni Hermawan dengan pengamat tata kota dan olahraga Sumut, Rafriandi Nasution.

Apa pendapat Anda semakin minimnya fasilitas olahraga, karena lahan sering dimanfaatkan untuk kepentingan bisnis?
Sebenarnya sudah diatur tentang sarana dan prasana olahraga ini dalam UU No 3 tahun 2005, tentang keolahragaan. Baik peran serta masyarakat pemerintah dan lainnya. Aturan mainnya sudah dijelaskan di situ. Hanya saja mungkin untuk sosialisasinya dan penerapannya tidak maksimal. Sehingga, banyak lahan olahraga dialihfungsikan.

Apa yang harus dilakukan karena sering terjadi sengketa antar masyarakat yang merasa memiliki lahan?
Selama ini memang tidak ada eksekusi hukum yang dilakukan, semacam syok terapi. Selain itu penerapan UU itu harus konsisten. Itu yang tidak terjadi.

Lalu bagaimana peran pemerintah?
Terkadang pemerintah tidak bisa disalahkan. Karena kebanyakan lapangan-lapangan itu lemah dalam hukum. Sering tidak ada sertifikatnya. Tapi pemerintah mungkin bisa menginventarisis berapa banyak lapangan mulai dari tingkat kota, kabupaten, kecamatan, kelurahan dan lainnya.

Lalu bagaimana peran masyarakat?
Registrasi ke Menegpora ataupun Koni setempat harus dilakukan. Apalagi datanya bisa terdaftar dan diakses di internet. Selama ini lapangan sering diwariskan tanpa ada keabsahan surat atau sertifikat yang jelas. Hanya karena sering digunakan itu masyarakat merasa memilikinya. Mau bilang apa kalau tiba-tiba ada pihak yang mengaku punya surat lengkap ditandatangani akta notaris dan sebagainya.

Bagaimana dampak dari minimnya fasilitas olahraga di Kota Medan?
Dampaknya sangat luas sekali. Anak-anak maupun remaja tidak tahu bahkan bingung untuk mengaplikasikan kegiatan olahraga, misalnya bermain bola di lapangan sekitar rumah. Ujung-ujungnya pelampiasan mereka ke warnet bahkan menjadi anggota genk motor. Coba kalau di tiap lingkungan disediakan fasilitas olahraga, tentu kegiatan negatif bisa terhindari. (*)

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/