25.6 C
Medan
Tuesday, May 21, 2024

KPAI: Pelaku & Korban Harus Diterapi

Foto: Gatha Ginting/PM Suasana di SD Negeri Percobaan, Jalan Sei Petani Medan. Di sekolah ini, dua murid perempuan menyiksa teman sekelasnya secara seksual.
Foto: Gatha Ginting/PM
Suasana di SD Negeri Percobaan, Jalan Sei Petani Medan. Di sekolah ini, dua murid perempuan menyiksa teman sekelasnya secara seksual.

MEDAN, SUMUTPOS.CO – Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), Maria Ulfa menilai sudah saatnya Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) mengambil langkah terobosan, pasca mengemukanya kasus kekerasan seksual yang dilakukan dua siswi SD Negeri Percobaan di Medan, terhadap temannya sesama perempuan berinisial Nab.

Pasalnya, kasus kekerasan seksual yang melibatkan anak sebagai pelaku dan korban, jumlahnya sangat luarbiasa. Bahkan untuk semester pertama di tahun 2014 saja, jumlahnya telah mencapai 621 kasus. Di mana sebagian di antaranya terjadi di lingkungan sekolah, seperti yang dialami Nab.

“Semester pertama di tahun 2014 saja, itu jumlahnya sudah 621 kasus, khususnya kekerasan seksual. Jadi kasusnya cukup tinggi dibanding tahun-tahun sebelumnya. Karena itu perlu langkah-langkah terobosan,” ujarnya kepada koran ini di Jakarta, Rabu (15/10).

Salah satu langkah terobosan, Kemendikbud kata Maria, sudah saatnya menempatkan guru Bimbingan dan Penyuluhan (BP) di sekolah-sekolah dasar. Bahkan bila perlu hingga ke tingkat taman kanak-kanak. Karena selama ini baru di tingkat SMP dan SMA yang memiliki guru BP.

“Nah selain itu, paradigmanya juga harus diubah. Jadi guru BP tidak lagi seperti selama ini yang berfungsi ketika anak bermasalah. Jadi ke depan perannya itu sudah pada pencegahan. Misalnya, guru BP harus memantau dan mengikuti perkembangan anak didik. Dibuat laporannya. Jadi perkembangan masing-masing anak bisa dilihat. Di tingkat SD selama ini kan belum ada guru BP, makanya Kemendikbud harus fasilitiasi,” katanya.

Menurut Maria, kasus yang dialami Nab harus dilihat secara utuh. Misalnya terhadap kedua pelaku, keduanya melakukan kekerasan setelah melihat adegan dalam video porno yang dapat dengan mudah diakses. Artinya, dalam hal ini anak berada dalam lingkungan yang sudah terpapar video porno.

“Jadi mereka (pelaku) sebenarnya juga korban dari lingkungan yang sudah terpapar dan pengasuhan yang lalai. Sehingga bisa mengakses video porno. Kemudian kalau disebutkan peristiwanya terjadi di sekolah, itu artinya sekolah juga sudah tidak aman. Karena anak ada kesempatan melakukan kekerasan. Jadi ada kelalaian pengawasan guru. Jadi semua berkontribusi terhadap kejadian ini,” katanya.

Karena itu sebagai langkah awal, baik korban maupun pelaku, kata Maria, perlu menjalani terapi pemulihan. Terutama terhadap korban, harus sesegera mungkin diberi konseling yang dilanjutkan pemulihan psikologis dan psikis. “Pelaku juga perlu menjalani konseling, agar memorinya bisa dicuci tidak tercemar dengan video prono. Apa yang dilihat anak-anak itukan melekat dalam memori mereka. Jadi perlu di brain wash, agar hal-hal porno dapat dikikis. Kalau tidak, dia (pelaku,red) akan menjadi pelaku dengan korban yang lain,” katanya. Saat ditanya seperti apa pola terapi yang tepat terhadap korban maupun pelaku, menurut Maria dengan cara konseling atau terapi psikologi. Karena psikolog mempunyai keahlian dalam hal tersebut.

“Dalam kasus ini kekerasan seksual terhadap anak, saya kira juga harus ada upaya dari masyarakat, memberi perlindungan kepada anak-anak dengan lingkungan yang aman, terbebas dari pornografi. Anak harus diberi pemahaman, masyarakat juga harus sadar bahwa setiap tindakan mereka, akan ditiru anak-anak. Karena anak itu kan tidak tahu, mereka hanya melakukan apa yang mereka lihat. Jadi kembali kepada orangtua, penting menerapkan pengasuhan yang baik di rumah. Karena kasus ini kan sudah seperti fenomena gunung es,” katanya.

Sebelumnya, puluhan orangtua murid melakukan aksi unjukrasa di depan SD Negeri Percobaan Jl. Sei Petani, Kel. Merdeka A, Kec. Medan Baru, Selasa (14/10) kemarin. Aksi dilakukan setelah terungkap adanya dugaan dua siswi kelas 4 SD tega menganiaya teman sekelasnya secara seksual, setelah terinspirasi adegan film porno. Peristiwa diduga terjadi saat jam istirahat sekolah, awal Oktober lalu.

Saat teman-temannya asik bermain, Ta dan In malah sibuk menarik paksa Nab yang kala itu sedang bermain, ke dalam kamar mandi sekolah. Setiba di kamar mandi, Ta dan In pun meminta tiga rekan lainnya masing-masing D, D dan C menjaga di depan pintu kamar mandi. Di hadapan ketiga temannya, Ta dan In melakukan kekerasan seksual dengan menggunakan gagang pembersih kamar mandi. (gir/deo)

Foto: Gatha Ginting/PM Suasana di SD Negeri Percobaan, Jalan Sei Petani Medan. Di sekolah ini, dua murid perempuan menyiksa teman sekelasnya secara seksual.
Foto: Gatha Ginting/PM
Suasana di SD Negeri Percobaan, Jalan Sei Petani Medan. Di sekolah ini, dua murid perempuan menyiksa teman sekelasnya secara seksual.

MEDAN, SUMUTPOS.CO – Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), Maria Ulfa menilai sudah saatnya Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) mengambil langkah terobosan, pasca mengemukanya kasus kekerasan seksual yang dilakukan dua siswi SD Negeri Percobaan di Medan, terhadap temannya sesama perempuan berinisial Nab.

Pasalnya, kasus kekerasan seksual yang melibatkan anak sebagai pelaku dan korban, jumlahnya sangat luarbiasa. Bahkan untuk semester pertama di tahun 2014 saja, jumlahnya telah mencapai 621 kasus. Di mana sebagian di antaranya terjadi di lingkungan sekolah, seperti yang dialami Nab.

“Semester pertama di tahun 2014 saja, itu jumlahnya sudah 621 kasus, khususnya kekerasan seksual. Jadi kasusnya cukup tinggi dibanding tahun-tahun sebelumnya. Karena itu perlu langkah-langkah terobosan,” ujarnya kepada koran ini di Jakarta, Rabu (15/10).

Salah satu langkah terobosan, Kemendikbud kata Maria, sudah saatnya menempatkan guru Bimbingan dan Penyuluhan (BP) di sekolah-sekolah dasar. Bahkan bila perlu hingga ke tingkat taman kanak-kanak. Karena selama ini baru di tingkat SMP dan SMA yang memiliki guru BP.

“Nah selain itu, paradigmanya juga harus diubah. Jadi guru BP tidak lagi seperti selama ini yang berfungsi ketika anak bermasalah. Jadi ke depan perannya itu sudah pada pencegahan. Misalnya, guru BP harus memantau dan mengikuti perkembangan anak didik. Dibuat laporannya. Jadi perkembangan masing-masing anak bisa dilihat. Di tingkat SD selama ini kan belum ada guru BP, makanya Kemendikbud harus fasilitiasi,” katanya.

Menurut Maria, kasus yang dialami Nab harus dilihat secara utuh. Misalnya terhadap kedua pelaku, keduanya melakukan kekerasan setelah melihat adegan dalam video porno yang dapat dengan mudah diakses. Artinya, dalam hal ini anak berada dalam lingkungan yang sudah terpapar video porno.

“Jadi mereka (pelaku) sebenarnya juga korban dari lingkungan yang sudah terpapar dan pengasuhan yang lalai. Sehingga bisa mengakses video porno. Kemudian kalau disebutkan peristiwanya terjadi di sekolah, itu artinya sekolah juga sudah tidak aman. Karena anak ada kesempatan melakukan kekerasan. Jadi ada kelalaian pengawasan guru. Jadi semua berkontribusi terhadap kejadian ini,” katanya.

Karena itu sebagai langkah awal, baik korban maupun pelaku, kata Maria, perlu menjalani terapi pemulihan. Terutama terhadap korban, harus sesegera mungkin diberi konseling yang dilanjutkan pemulihan psikologis dan psikis. “Pelaku juga perlu menjalani konseling, agar memorinya bisa dicuci tidak tercemar dengan video prono. Apa yang dilihat anak-anak itukan melekat dalam memori mereka. Jadi perlu di brain wash, agar hal-hal porno dapat dikikis. Kalau tidak, dia (pelaku,red) akan menjadi pelaku dengan korban yang lain,” katanya. Saat ditanya seperti apa pola terapi yang tepat terhadap korban maupun pelaku, menurut Maria dengan cara konseling atau terapi psikologi. Karena psikolog mempunyai keahlian dalam hal tersebut.

“Dalam kasus ini kekerasan seksual terhadap anak, saya kira juga harus ada upaya dari masyarakat, memberi perlindungan kepada anak-anak dengan lingkungan yang aman, terbebas dari pornografi. Anak harus diberi pemahaman, masyarakat juga harus sadar bahwa setiap tindakan mereka, akan ditiru anak-anak. Karena anak itu kan tidak tahu, mereka hanya melakukan apa yang mereka lihat. Jadi kembali kepada orangtua, penting menerapkan pengasuhan yang baik di rumah. Karena kasus ini kan sudah seperti fenomena gunung es,” katanya.

Sebelumnya, puluhan orangtua murid melakukan aksi unjukrasa di depan SD Negeri Percobaan Jl. Sei Petani, Kel. Merdeka A, Kec. Medan Baru, Selasa (14/10) kemarin. Aksi dilakukan setelah terungkap adanya dugaan dua siswi kelas 4 SD tega menganiaya teman sekelasnya secara seksual, setelah terinspirasi adegan film porno. Peristiwa diduga terjadi saat jam istirahat sekolah, awal Oktober lalu.

Saat teman-temannya asik bermain, Ta dan In malah sibuk menarik paksa Nab yang kala itu sedang bermain, ke dalam kamar mandi sekolah. Setiba di kamar mandi, Ta dan In pun meminta tiga rekan lainnya masing-masing D, D dan C menjaga di depan pintu kamar mandi. Di hadapan ketiga temannya, Ta dan In melakukan kekerasan seksual dengan menggunakan gagang pembersih kamar mandi. (gir/deo)

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/