26.7 C
Medan
Wednesday, May 22, 2024

Bukan Sekadar Jambur, Ini Memindahkan Budaya

Foto: Ramadhan Batubara/Sumut Pos Siosar, kampung baru bagi korban erupsi Gunung Sinabung, di Kecamatan Tigapanah, Kabupaten Karo, Sumut. Terlihat jalanan yang baru dibangun  dikelilingi hutan lindung.
Foto: Ramadhan Batubara/Sumut Pos
Siosar, kampung baru bagi korban erupsi Gunung Sinabung, di Kecamatan Tigapanah, Kabupaten Karo, Sumut. Terlihat jalanan yang baru dibangun dikelilingi hutan lindung.

Bantuan. Sepertinya kata ini sangat identik dengan Siosar. Tapi mau bagamana lagi, penghuni Siosar adalah korban yang mau tak mau harus berada di posisi yang lemah.

 

Ramadhan Batubara, Karo

 

“Cuma bantuan yang membuat mereka bertahan. Mau apalagi? Mereka belum bisa melakukan apa-apa,” cetus Franz A Hulu, sang pendamping para korban erupsi Sinabung di perkampungan baru itu.

“Rumah sudah ada, tapi aktivitas berkehidupan yang belum ada. Yang ada, uang keluar terus,” tambah lelaki yang sudah bertugas selama dua pekan itu.

Akhirudin Sembiring terkekeh. “Jangankan uang keluar, uang masuk saja tak ada,” cetusnya.

Kalimat Akhirudin bukan keluhan. Dia bicara soal kenyataan. Sejak Sinabung erupsi pada November 2013 lalu, sejak itulah Akhirudin dan keluarga harus meninggalkan Bekerah, desa asal mereka. Tapi setidaknya mereka menerima, seperti tidak ada amarah. Pasrah pada keputusan Tuhan telah menjadikan mereka manusia yang tabah.

Ketabahan ini sangat ditunjukkan Solihin, abang Akhirudin. Anak kedua dari tiga bersaudara yang masih melajang itu tak mengeluarkan nada bicara yang tinggi. Tak ada protes. Tak ada mengeluh. “Alhamdulillah. Meski keadaan di sini jauh berbeda dengan saat di Bekerah,” katanya soal bantuan dari pemerintah seperti rumah yang telah dia tempati dengan kedua orangtuanya dan lahan pertanian yang dijanjikan.

Di Bekerah, kampung yang hancur akibat erupsi, Solihin sekeluarga punya lahan pertanian sekira tiga hektare. Mereka menanami dengan sayur mayur. Sementara di Bekerah, perkampungan baru yang diberikan pemerintah, mereka akan mendapat lahan seluas setengah hektare. Rencananya akan ditanami sayur mayur juga. “Jadi sementara ini menyewa lahan di bawah sana,” kata Solihin tanpa merinci daerah mana yang dimaksud.

Solihin memang tak banyak bicara. Dia lebih sering tersenyum. Di rumah nomor 77 ‘blok’ Bekerah itu dia memilih beraktivitas dengan membuka warung kecil. Ruang tengah rumah itu disulapnya menjadi tempat menjajakan dagangan. Jajanan berupa kerupuk dan makanan kecil sejenis lainnya tergantung di jendela. Per 3-5 hari dia belanja ke Kabanjahe dengan sepeda motor. “Lumayanlah, ada uang yang berputar. Yang paling laris, ya, rokok. Selain itu seperti bensin, kerupuk, dan kopilah,” akunya.

Rumah sekaligus warung milik Solihin berada agak ujung. Selang dua rumah di kiri sudah ada simpang tiga. Dari simpang tiga itu, jika melihat ke kanan akan terlihat tumpukan rumah yang lain. Letaknya terpisah dari ‘blok’ Bekerah. Ternyata di sana ‘blok’ Sukameriah. Khusus untuk para korban Sinabung yang berasal dari Desa Sukameriah. Dan, belum ada yang menempati. Sementara jika melihat ke kiri, ada ‘blok’ Simacem. Persis dengan Sukameriah, di blok tersebut juga belum ada penghunij rumah yang telah disediakan.

Ada yang mencolok dari simpang tiga itu. Di sisinya, ke arah ‘blok’ Simacem ada sebuah bangunan besar yang nyaris jadi. Sudah 80 persen selesai. Bangunan itu adalah gereja. Bentuknya mencolok karena memang itulah bangunan terbesar di Perkampungan Siosar. “Nanti katanya akan dibangun masjid juga. Jambur juga,” bilang Solihin yang diamini Franz dari BNPB itu.

Foto: Ramadhan Batubara/Sumut Pos Siosar, kampung baru bagi korban erupsi Gunung Sinabung, di Kecamatan Tigapanah, Kabupaten Karo, Sumut. Terlihat jalanan yang baru dibangun  dikelilingi hutan lindung.
Foto: Ramadhan Batubara/Sumut Pos
Siosar, kampung baru bagi korban erupsi Gunung Sinabung, di Kecamatan Tigapanah, Kabupaten Karo, Sumut. Terlihat jalanan yang baru dibangun dikelilingi hutan lindung.

Bantuan. Sepertinya kata ini sangat identik dengan Siosar. Tapi mau bagamana lagi, penghuni Siosar adalah korban yang mau tak mau harus berada di posisi yang lemah.

 

Ramadhan Batubara, Karo

 

“Cuma bantuan yang membuat mereka bertahan. Mau apalagi? Mereka belum bisa melakukan apa-apa,” cetus Franz A Hulu, sang pendamping para korban erupsi Sinabung di perkampungan baru itu.

“Rumah sudah ada, tapi aktivitas berkehidupan yang belum ada. Yang ada, uang keluar terus,” tambah lelaki yang sudah bertugas selama dua pekan itu.

Akhirudin Sembiring terkekeh. “Jangankan uang keluar, uang masuk saja tak ada,” cetusnya.

Kalimat Akhirudin bukan keluhan. Dia bicara soal kenyataan. Sejak Sinabung erupsi pada November 2013 lalu, sejak itulah Akhirudin dan keluarga harus meninggalkan Bekerah, desa asal mereka. Tapi setidaknya mereka menerima, seperti tidak ada amarah. Pasrah pada keputusan Tuhan telah menjadikan mereka manusia yang tabah.

Ketabahan ini sangat ditunjukkan Solihin, abang Akhirudin. Anak kedua dari tiga bersaudara yang masih melajang itu tak mengeluarkan nada bicara yang tinggi. Tak ada protes. Tak ada mengeluh. “Alhamdulillah. Meski keadaan di sini jauh berbeda dengan saat di Bekerah,” katanya soal bantuan dari pemerintah seperti rumah yang telah dia tempati dengan kedua orangtuanya dan lahan pertanian yang dijanjikan.

Di Bekerah, kampung yang hancur akibat erupsi, Solihin sekeluarga punya lahan pertanian sekira tiga hektare. Mereka menanami dengan sayur mayur. Sementara di Bekerah, perkampungan baru yang diberikan pemerintah, mereka akan mendapat lahan seluas setengah hektare. Rencananya akan ditanami sayur mayur juga. “Jadi sementara ini menyewa lahan di bawah sana,” kata Solihin tanpa merinci daerah mana yang dimaksud.

Solihin memang tak banyak bicara. Dia lebih sering tersenyum. Di rumah nomor 77 ‘blok’ Bekerah itu dia memilih beraktivitas dengan membuka warung kecil. Ruang tengah rumah itu disulapnya menjadi tempat menjajakan dagangan. Jajanan berupa kerupuk dan makanan kecil sejenis lainnya tergantung di jendela. Per 3-5 hari dia belanja ke Kabanjahe dengan sepeda motor. “Lumayanlah, ada uang yang berputar. Yang paling laris, ya, rokok. Selain itu seperti bensin, kerupuk, dan kopilah,” akunya.

Rumah sekaligus warung milik Solihin berada agak ujung. Selang dua rumah di kiri sudah ada simpang tiga. Dari simpang tiga itu, jika melihat ke kanan akan terlihat tumpukan rumah yang lain. Letaknya terpisah dari ‘blok’ Bekerah. Ternyata di sana ‘blok’ Sukameriah. Khusus untuk para korban Sinabung yang berasal dari Desa Sukameriah. Dan, belum ada yang menempati. Sementara jika melihat ke kiri, ada ‘blok’ Simacem. Persis dengan Sukameriah, di blok tersebut juga belum ada penghunij rumah yang telah disediakan.

Ada yang mencolok dari simpang tiga itu. Di sisinya, ke arah ‘blok’ Simacem ada sebuah bangunan besar yang nyaris jadi. Sudah 80 persen selesai. Bangunan itu adalah gereja. Bentuknya mencolok karena memang itulah bangunan terbesar di Perkampungan Siosar. “Nanti katanya akan dibangun masjid juga. Jambur juga,” bilang Solihin yang diamini Franz dari BNPB itu.

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/