30 C
Medan
Monday, December 22, 2025

Dahlan Minta Direksi BUMN-BUMD Lebih Hati-hati

Foto: Dite Surendra/Jawa Pos
Dahlan Iskan menyapa pendukungnya di Pengadilan Tipikor Surabaya, Jalan Raya Juanda, Sidoarjo usai sidang, Jumat (21/4/2017). Hakim Ketua M Tahsin memvonis 2 tahun penjara dengan denda Rp 100 juta dalam kasus korupsi pelepasan aset PT PWU.

Dalam sidang sebenarnya terungkap penjelasan bahwa Dahlan sudah melakukan monitoring terhadap proses penjualan. Ketika akan menandatangani akta penjualan, Dahlan menanyakan ke Wisnu apakah proses dan tahapan penjualan sudah dilakukan sesuai prosedur. Setelah mendapat kepastian itu, Dahlan selaku direktur utama baru mau menandatangani akta penjualan. Tapi, keterangan tersebut tidak dijadikan pertimbangan oleh hakim.

Hakim mengatakan, berdasar surat pemberitahuan pajak terutang (SPPT) PBB, aset di Kediri seharusnya dihargai Rp24,4 miliar. Tapi, tim penjualan bersepakat dengan pembeli dengan harga Rp17 miliar. Ada selisih Rp7,4 miliar.

Menurut hakim, penjualan aset di Kediri itu telah menguntungkan Sam Santoso dan Oepojo Sardjono dari PT Sempulur Adi Mandiri (SAM) secara pribadi selaku pembeli aset. Korporasi PT SAM tidak dianggap ikut diuntungkan karena saat itu belum pengesahan sebagai perusahaan.

Sementara itu, aset di Tulungagung yang berupa tanah, bangunan, dan mesin produksi keramik seharusnya terjual dengan harga Rp10,08 miliar. Tapi, tim penjualan bersepakat dengan pembeli menjual aset tersebut seharga Rp8,75 miliar.

Hakim menambahkan, dalam pelepasan aset di Tulungagung, tim penjualan tidak mempertimbangkan nilai mesin dan peralatan produksi keramik. Karena itulah, penjualan tersebut dianggap telah menguntungkan korporasi PT SAM selaku pembeli Rp1,3 miliar. Sebab, saat jual beli dilakukan, SAM sudah terdaftar sebagai perusahaan.

Selain itu, dalam pertimbangannya, hakim masih menganggap penjualan aset PWU harus mendapat persetujuan DPRD Jatim. Menurut hakim, Dahlan sebenarnya telah berupaya meminta persetujuan penjualan sebelum melepas aset tersebut. Hanya, persetujuan itu tidak diberikan, tapi penjualan tetap dilakukan.

Dalil hakim tersebut masih mengacu keterangan saksi Sekretaris DPRD Jatim Ahmad Jailani yang sebenarnya tidak tahu-menahu tentang proses permintaan persetujuan. Sebaliknya, keterangan saksi fakta mantan Ketua Komisi C Dadoes Soemarwanto dan mantan anggota Komisi C DPRD Jatim Farid Al Fauzi tidak dipertimbangkan sama sekali.

Padahal, dalam sidang, mereka menyatakan bahwa komisi C dan unsur pimpinan DPRD Jatim telah membahas permohonan persetujuan aset PWU bersama para pakar. Selain itu, DPRD telah berkonsultasi kepada menteri dalam negeri. Kesimpulan yang didapatkan, DPRD tidak berwenang memberikan persetujuan karena PWU berbentuk PT. Dengan status tersebut, DPRD menganggap proses penjualan aset mengikuti prosedur sebagaimana diatur dalam UU PT dan tidak perlu meminta izin ke DPRD.

Sementara itu, hakim mengakui kehati-hatian Dahlan sebelum menjual aset dengan membentuk tim penjualan dan menyusun SOP. Hanya, meski Dahlan sudah melakukan hal tersebut, hakim menganggapnya tidak bisa terlepas dari tanggung jawabnya sebagai Dirut PWU. ”Selaku pucuk pimpinan, dalam melaksanakan kepengurusan perseroan, setidak-tidaknya melakukan monitoring, mengikuti perkembangan, menanyakan, sebagai wujud tanggung jawab,” tutur hakim.

Dalam pertimbangannya, majelis hakim juga memastikan bahwa Dahlan tidak menggunakan dana sepeser pun dari hasil penjualan aset untuk kepentingan pribadi. Berdasar fakta sidang, hakim juga memastikan bahwa Dahlan tidak menerima aliran dana dari pihak yang diuntungkan. Yaitu PT SAM, Oepojo Sardjono, maupun Sam Santoso selaku pembeli. Karena itulah, hakim tidak mewajibkan Dahlan membayar uang pengganti.

Foto: Dite Surendra/Jawa Pos
Dahlan Iskan menyapa pendukungnya di Pengadilan Tipikor Surabaya, Jalan Raya Juanda, Sidoarjo usai sidang, Jumat (21/4/2017). Hakim Ketua M Tahsin memvonis 2 tahun penjara dengan denda Rp 100 juta dalam kasus korupsi pelepasan aset PT PWU.

Dalam sidang sebenarnya terungkap penjelasan bahwa Dahlan sudah melakukan monitoring terhadap proses penjualan. Ketika akan menandatangani akta penjualan, Dahlan menanyakan ke Wisnu apakah proses dan tahapan penjualan sudah dilakukan sesuai prosedur. Setelah mendapat kepastian itu, Dahlan selaku direktur utama baru mau menandatangani akta penjualan. Tapi, keterangan tersebut tidak dijadikan pertimbangan oleh hakim.

Hakim mengatakan, berdasar surat pemberitahuan pajak terutang (SPPT) PBB, aset di Kediri seharusnya dihargai Rp24,4 miliar. Tapi, tim penjualan bersepakat dengan pembeli dengan harga Rp17 miliar. Ada selisih Rp7,4 miliar.

Menurut hakim, penjualan aset di Kediri itu telah menguntungkan Sam Santoso dan Oepojo Sardjono dari PT Sempulur Adi Mandiri (SAM) secara pribadi selaku pembeli aset. Korporasi PT SAM tidak dianggap ikut diuntungkan karena saat itu belum pengesahan sebagai perusahaan.

Sementara itu, aset di Tulungagung yang berupa tanah, bangunan, dan mesin produksi keramik seharusnya terjual dengan harga Rp10,08 miliar. Tapi, tim penjualan bersepakat dengan pembeli menjual aset tersebut seharga Rp8,75 miliar.

Hakim menambahkan, dalam pelepasan aset di Tulungagung, tim penjualan tidak mempertimbangkan nilai mesin dan peralatan produksi keramik. Karena itulah, penjualan tersebut dianggap telah menguntungkan korporasi PT SAM selaku pembeli Rp1,3 miliar. Sebab, saat jual beli dilakukan, SAM sudah terdaftar sebagai perusahaan.

Selain itu, dalam pertimbangannya, hakim masih menganggap penjualan aset PWU harus mendapat persetujuan DPRD Jatim. Menurut hakim, Dahlan sebenarnya telah berupaya meminta persetujuan penjualan sebelum melepas aset tersebut. Hanya, persetujuan itu tidak diberikan, tapi penjualan tetap dilakukan.

Dalil hakim tersebut masih mengacu keterangan saksi Sekretaris DPRD Jatim Ahmad Jailani yang sebenarnya tidak tahu-menahu tentang proses permintaan persetujuan. Sebaliknya, keterangan saksi fakta mantan Ketua Komisi C Dadoes Soemarwanto dan mantan anggota Komisi C DPRD Jatim Farid Al Fauzi tidak dipertimbangkan sama sekali.

Padahal, dalam sidang, mereka menyatakan bahwa komisi C dan unsur pimpinan DPRD Jatim telah membahas permohonan persetujuan aset PWU bersama para pakar. Selain itu, DPRD telah berkonsultasi kepada menteri dalam negeri. Kesimpulan yang didapatkan, DPRD tidak berwenang memberikan persetujuan karena PWU berbentuk PT. Dengan status tersebut, DPRD menganggap proses penjualan aset mengikuti prosedur sebagaimana diatur dalam UU PT dan tidak perlu meminta izin ke DPRD.

Sementara itu, hakim mengakui kehati-hatian Dahlan sebelum menjual aset dengan membentuk tim penjualan dan menyusun SOP. Hanya, meski Dahlan sudah melakukan hal tersebut, hakim menganggapnya tidak bisa terlepas dari tanggung jawabnya sebagai Dirut PWU. ”Selaku pucuk pimpinan, dalam melaksanakan kepengurusan perseroan, setidak-tidaknya melakukan monitoring, mengikuti perkembangan, menanyakan, sebagai wujud tanggung jawab,” tutur hakim.

Dalam pertimbangannya, majelis hakim juga memastikan bahwa Dahlan tidak menggunakan dana sepeser pun dari hasil penjualan aset untuk kepentingan pribadi. Berdasar fakta sidang, hakim juga memastikan bahwa Dahlan tidak menerima aliran dana dari pihak yang diuntungkan. Yaitu PT SAM, Oepojo Sardjono, maupun Sam Santoso selaku pembeli. Karena itulah, hakim tidak mewajibkan Dahlan membayar uang pengganti.

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru