Pihaknya menyikapi positif langkah yang diambil Dishub Sumut, Dishub Kota Medan, pihak kepolisian dan Bakortib Lalin. Karena para driver online disarankan bergabung ke koperasi atau badan yang sudah miliki izin resmi. “Menyampaikan aspirasi sah-sah saja. Tapi kan lihat koridor dan menekankan pada UU berlaku. Dan kami menekankan selaku aparatur sebagai Bakortib Lalin, bahwa pintu masuk apa mereka boleh beroperasi. Terkecuali Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 26 itu dibatali. Maka diberikan kebebasan bagi pelaku angkutan aplikasi untuk memilih nauangannya,” paparnya.
Pihaknya juga menyarankan, langkah pemerintah sebenarnya tinggal memberi pemahaman kepada penyelenggara angkutan berbasis aplikasi, sehingga tidak ada lagi riak melakukan unjuk rasa. “Harus ada kesepahaman persepsi. Apalagi tidak ada keterikatan sopir dengan pemilik aplikasi. Kalaulah memang tidak berizin, ya tentu tak boleh beroperasi,” pungkasnya.
Sementara itu, sejak beberapa hari lalu, Dinas Perhubungan Kota Medan dan Satlantas Polrestabes Medan telah memasang spanduk berisi larangan beroperasinya angkutan berbasis online yang tak memiliki izin sesuai Permenhub Nomor 26 Tahun 2017. Spanduk itu dipasang di beberapa pusat keramaian, seperti Kantor Satlantas Polrestabes Medan, Stasiun Kereta Api Medan, Sun Plaza, Plaza Medan Fair, dan Thamrin Plaza.
Menyikapi larangan ini, sejumlah driver angkutan online pun mulai resah. Mereka berharap, Dinas Perhubungan mau membatalkan larangan beroperasinya taksi online di Kota Medan. MA Simangunsong, driver Go-Car mengaku, keberadaan taksi online ini sangat membantu perekonomian keluarganya. Pasalnya, sejak ia beralih pekerjaan menjadi driver Go-Car, dalam sehari dia bisa berpenghasilan rata-rata Rp200 ribu hingga Rp300 ribu. Belum lagi bonus yang tawarkan perusahaan aplikasi tersebut jika memenuhi target. “Jadi sangat membantu sekali,” katanya.
Namun sejak keluar larangan operasional taksi online, kini dia mulai resah. Pasalnya, dia khawatir tak dapat memenuhi kebutuhan keluarganya, termasuk kredit mobil yang baru dibelinya sekira dua bulan lalu. “Padahal harapan saya, kredit mobil bisa tertutupi dari hasil narik Go-Car ini. Kalau dilarang dan dipersulit, bisa-bisa mobil ditarik showroom,” katanya.
Tak hanya Simangunsong, Supriadi pengemudi GrabCar juga menyatakan, ekonominya kian membaik selama menekuni pekerjaan tersebut. Ia mampu memperoleh hingga Rp4,6 juta per bulan dengan profesi sebagai pengemudi angkutan berbasis online ini. Namun, jumlah tersebut bukanlah angka fantastis, lantaran dia harus membayar cicilan mobil.
“Kalau dihentikan sementara, saya terancam kehilangan mobil. Uang yang saya dapat pas-pasan membayar cicilan mobil,” ujar pria yang sebelumnya bekerja sebagai pedagang ini.
Ia juga menyayangkan langkah Dinas Perhubungan melakukan sosialisasi menggunakan spanduk. Pasalnya dia khawatir, keberadaan spanduk larangan itu akan menjadi alasan bagi abang becak dan angkutan konvensional untuk men-sweeping mereka. “Spanduk itu bisa membahayakan kami. Tak ada spanduk saja mereka (becak motor) berani memberhentikan sopir dan menyuruh keluar penumpang,” sambungnya. (prn/adz)