25.6 C
Medan
Friday, May 3, 2024

Ivan Hasugian Minta Jadi Justice Collaborator

Foto: SUTAN SIREGAR/SUMUT POS Ayah dan ibu Ivan Armadi Hasugian, pelaku teror bom gereja Katolik di Medan, memberikan keterangan terkait kasus yang menimpa anak mereka di Kantor PERADI, Jalan Sei Rokan Medan, Kamis (1/9). Kedua orang tua pelaku minta maaf kepada umat Katolik.
Foto: SUTAN SIREGAR/SUMUT POS
Ayah dan ibu Ivan Armadi Hasugian, pelaku teror bom gereja Katolik di Medan, memberikan keterangan terkait kasus yang menimpa anak mereka di Kantor PERADI, Jalan Sei Rokan Medan, Kamis (1/9). Kedua orang tua pelaku minta maaf kepada umat Katolik.

JAKARTA, SUMUTPOS.CO – Tersangka penyerangan pastor di Gereja Katolik Stasi Santo Yosep, Medan, Sumatera Utara, Ivan Hasugian alias IAH (18) mengajukan diri menjadi justice collaborator (JC). Pelaku percobaan bom bunuh diri itu telah meminta Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) merekomendasikannya menjadi JC.

Hal itu disampaikan pihak keluarga didampingi tim dari Pusat Bantuan Hukum Peradi, saat mendatangi kantor LPSK di Jakarta, Jumat (23/9). Ketua PBH Peradi Rivai Kusumanegara mengungkapkan, perbuatan Ivan dilakukan karena ada pengaruh dari orang lain di luar dirinya sendiri.

Di sisi lain, dengan pendampingan dari PBH Peradi, orang tua dan Badan Pemasyarakatan (Bapas) Medan, Ivan akhirnya memberikan keterangan secara jujur dan terbuka. Ivan sudah mau secara jujur dan terbuka memberikan keterangan terhadap peristiwa yang dialami, termasuk pihak-pihak yang memengaruhi dirinya.

“Tentunya kondisi itu (masuk) kriteria dari seorang JC. Karenanya kami mohon agar LPSK dan penyidik dapat mempertimbangkan permohonan ini,” kata Rivai, Jumat (23/9).

Menurut Rivai, pada kenyataannya Ivan sudah bekerja sama dengan penyidik untuk mengungkap siapa saja yang terlibat dalam kasus itu. Selai itu, Ivan juga masih di bawah umur. Namun, ia dikenai pasal 7 dan 9 Undang-undang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme dengan ancaman hingga hukuman mati.

Dengan segala keterangan yang sudah disampaikan Ivan secara jujur dan mengakui kesalahannya, Peradi pun berharap ada keringanan hukuman. “Bagaimanapun IAH anak bangsa yang pernah tergelincir, berbuat salah dan mengakui kesalahannya,” ujar dia.

Sedangkan Ketua LPSK Abdul Haris Semendawai mengatakan, kasus yang menimpa Ivan sangat menarik bagi lembaganya. Selain itu, LPSK juga memiliki nota kesepahaman dengan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) terkait perlindungan saksi dan korban kasus terorisme, serta pelaku yang bekerjasama (JC).

Dalam kasus ini, Ivan masih tergolong anak-anak dan kesadarannya melakukan sesuatu biasanya dipengaruhi atau dibangun orang lain. Semendawai menjelaskan, syarat menjadi JC harus ada pelaku lain yang menjadi otak.

“Untuk kasus ini yang baru diproses baru satu orang, akan tetapi pelaku lain jangan sampai dilepaskan. Sebab, anak biasanya tidak sendiri dalam melakukan sesuatu, melainkan ada pihak-pihak lain yang menggerakkan. Pertanyaannya, apakah ada pelaku lain dan apakah mereka sudah sudah atau akan disidangkan,” kata Semendawai.

Hal penting lainnya, kata Semendawai, perlu juga disuarakan bersama khususnya dengan BNPT agar pelaku terorisme anak tidak sampai digabung tempat penahanannya dengan orang dewasa karena dikhawatirkan bisa terjadi transfer ideologi radikal di antara mereka. “Untuk kasus IAH, akan dibahas di internal LPSK, apa yang bisa dilakukan,” tutur dia.(boy/jpnn/ril)

Foto: SUTAN SIREGAR/SUMUT POS Ayah dan ibu Ivan Armadi Hasugian, pelaku teror bom gereja Katolik di Medan, memberikan keterangan terkait kasus yang menimpa anak mereka di Kantor PERADI, Jalan Sei Rokan Medan, Kamis (1/9). Kedua orang tua pelaku minta maaf kepada umat Katolik.
Foto: SUTAN SIREGAR/SUMUT POS
Ayah dan ibu Ivan Armadi Hasugian, pelaku teror bom gereja Katolik di Medan, memberikan keterangan terkait kasus yang menimpa anak mereka di Kantor PERADI, Jalan Sei Rokan Medan, Kamis (1/9). Kedua orang tua pelaku minta maaf kepada umat Katolik.

JAKARTA, SUMUTPOS.CO – Tersangka penyerangan pastor di Gereja Katolik Stasi Santo Yosep, Medan, Sumatera Utara, Ivan Hasugian alias IAH (18) mengajukan diri menjadi justice collaborator (JC). Pelaku percobaan bom bunuh diri itu telah meminta Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) merekomendasikannya menjadi JC.

Hal itu disampaikan pihak keluarga didampingi tim dari Pusat Bantuan Hukum Peradi, saat mendatangi kantor LPSK di Jakarta, Jumat (23/9). Ketua PBH Peradi Rivai Kusumanegara mengungkapkan, perbuatan Ivan dilakukan karena ada pengaruh dari orang lain di luar dirinya sendiri.

Di sisi lain, dengan pendampingan dari PBH Peradi, orang tua dan Badan Pemasyarakatan (Bapas) Medan, Ivan akhirnya memberikan keterangan secara jujur dan terbuka. Ivan sudah mau secara jujur dan terbuka memberikan keterangan terhadap peristiwa yang dialami, termasuk pihak-pihak yang memengaruhi dirinya.

“Tentunya kondisi itu (masuk) kriteria dari seorang JC. Karenanya kami mohon agar LPSK dan penyidik dapat mempertimbangkan permohonan ini,” kata Rivai, Jumat (23/9).

Menurut Rivai, pada kenyataannya Ivan sudah bekerja sama dengan penyidik untuk mengungkap siapa saja yang terlibat dalam kasus itu. Selai itu, Ivan juga masih di bawah umur. Namun, ia dikenai pasal 7 dan 9 Undang-undang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme dengan ancaman hingga hukuman mati.

Dengan segala keterangan yang sudah disampaikan Ivan secara jujur dan mengakui kesalahannya, Peradi pun berharap ada keringanan hukuman. “Bagaimanapun IAH anak bangsa yang pernah tergelincir, berbuat salah dan mengakui kesalahannya,” ujar dia.

Sedangkan Ketua LPSK Abdul Haris Semendawai mengatakan, kasus yang menimpa Ivan sangat menarik bagi lembaganya. Selain itu, LPSK juga memiliki nota kesepahaman dengan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) terkait perlindungan saksi dan korban kasus terorisme, serta pelaku yang bekerjasama (JC).

Dalam kasus ini, Ivan masih tergolong anak-anak dan kesadarannya melakukan sesuatu biasanya dipengaruhi atau dibangun orang lain. Semendawai menjelaskan, syarat menjadi JC harus ada pelaku lain yang menjadi otak.

“Untuk kasus ini yang baru diproses baru satu orang, akan tetapi pelaku lain jangan sampai dilepaskan. Sebab, anak biasanya tidak sendiri dalam melakukan sesuatu, melainkan ada pihak-pihak lain yang menggerakkan. Pertanyaannya, apakah ada pelaku lain dan apakah mereka sudah sudah atau akan disidangkan,” kata Semendawai.

Hal penting lainnya, kata Semendawai, perlu juga disuarakan bersama khususnya dengan BNPT agar pelaku terorisme anak tidak sampai digabung tempat penahanannya dengan orang dewasa karena dikhawatirkan bisa terjadi transfer ideologi radikal di antara mereka. “Untuk kasus IAH, akan dibahas di internal LPSK, apa yang bisa dilakukan,” tutur dia.(boy/jpnn/ril)

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/