27.8 C
Medan
Saturday, May 18, 2024

Ditantang Adu Bukti, Formas Pegang Putusan MA Tahun 1995

Atas hal itu, Pakpahan meminta kepada Presiden Joko Widodo menyelesaikan persoalan ini. “Karena Presiden sebagai panglima tertinggi. Jangan berlarut-larut penyelesaiannya. TNI AU seperti tidak memahami persoalan. Mabes TNI harus turun ke kapangan. Dan tim yang betul independen harus melihat lokasi sebenarnya. SKPT itu bukan bukti hukum,” tandasnya.

Pengamat Hukum Agraria, Edy Ikhsan menilai, masyarakat Sarirejo tak mungkin melakukan gugatan kembali. Pasalnya, Putusan MA RI itu sudah inkrah. Kepada TNI AU, dia menyarankan, untuk melakukan Peninjauan Kembali (PK). Begitupun, jika TNI AU mau menggugat rakyat, sejatinya itu bersifat emosial.

“Putusan MA itu sudah belasan tahun dan itu inkrah. Tapi masyarakat dimenangkan sebagai penggarap. Beda penggarap dengan pemilik. Jadi artinya, itu ada pemilik resmi,” kata Ikhsan.

Pengamat Hukum Tanah yang melakukan penelitian terhadap tanah Sarirejo ini bercerita, tanah di Kelurahan Sari rejo itu milik Kesultanan Deli yang kemudian diturunkan kepada Kedatukan Sukapiring. “Ada 4 kedatukan sebelum Kedatukan Sukapiring. Yang terakhir Kedatukan Sukapiring,” kata dia.

Dia membeberkan, tanah di Kelurahan Sarirejo itu dahulunya dikonsesikan kepada pengusaha asing bernama Michel. Asalnya dari Polandia. Di situ, Michel mendirikan sebuah perusahaan. Menurut dia, nama Bandara Polonia itu diberikan oleh Michel. Alasannya, Michel rindu terhadap kampung halamannya. Namun belakangan, kondisi keuangan menyusut alias bangkrut.

Alhasil, tanah itu dijual kepada Langkat Associatie. Namun, kondisi perusahaan Langkat Associatie yang juga goyang, akhirnya jatuh kepada perusahaan Deli Maskapai.

“Namun akhirnya, situasi politik berubah tahun 1950. Sehingga tanah itu diambil TNI AU,” jelas Ikhsan.

Namun, lanjut Ikhsan, pada prakteknya TNI AU melakukan manipulasi. Salah satunya menjual kepada pengembangan. Dia mencontohkan, tanah yang kini berdiri perumahan mewah Malibu, sebenarnya itu diperuntukkan untuk pemukiman atau kepentingan TNI AU. Tapi, kini berdiri perumahan mewah tersebut.

“Sebenarnya tanah itu tidak ada diberikan selamanya. Statusnya itu tanah garapan. Dalam hal ini, pihak Kedatukan Sukapiring lah yang paling kuat memiliki tanah itu,” beber Ikhsan.

Menurut dia, sebenarnya tanah itu kira-kira seluas 770 hektar. Namun belakangan, Kesultanan Deli memberikan hibah kepada Kota Medan untuk kebutuhan pengembangan kota.

“Ada dua kali hibah itu diberikan kepada Pemko Medan,” tambah dia.

Dia juga mengherankan, BPN seolah memperlama menyerahkan sertifikat lahan itu. Kalau memang benar, Mabes TNI mengajak adu kekuatan dengan membeberkan bukti-bukti soal tanah itu, menurut Ikhsan, pernyataan tersebut bersifat emosional dan tidak memahami secara jelas persoalannya.

“Kalau tanah garapan, siapa pemiliknya, negara atau kesultanan? Ya kesultanan. BPN mau keluarkan sertifikat untuk masyarakat, harus hapus dulu di Kementerian Keuangan,” ujarnya.

Jika memang sudah terhapus daftarnya di Kemenkeu, tentunya itu kembali kepada Kedatukan Sukapiring. Apakah menghibahkan kepada masyarakat atau tidak. Menurut dia, Kedatukan Sukapiring dapat menghibahkan tanah itu kepada masyarakat.

“TNI AU tidak tunduk hukum. Enggak bisa hanya 87 penggugat itu saja, mereka kan homogen,” tandasnya. (prn/ted/adz)

Atas hal itu, Pakpahan meminta kepada Presiden Joko Widodo menyelesaikan persoalan ini. “Karena Presiden sebagai panglima tertinggi. Jangan berlarut-larut penyelesaiannya. TNI AU seperti tidak memahami persoalan. Mabes TNI harus turun ke kapangan. Dan tim yang betul independen harus melihat lokasi sebenarnya. SKPT itu bukan bukti hukum,” tandasnya.

Pengamat Hukum Agraria, Edy Ikhsan menilai, masyarakat Sarirejo tak mungkin melakukan gugatan kembali. Pasalnya, Putusan MA RI itu sudah inkrah. Kepada TNI AU, dia menyarankan, untuk melakukan Peninjauan Kembali (PK). Begitupun, jika TNI AU mau menggugat rakyat, sejatinya itu bersifat emosial.

“Putusan MA itu sudah belasan tahun dan itu inkrah. Tapi masyarakat dimenangkan sebagai penggarap. Beda penggarap dengan pemilik. Jadi artinya, itu ada pemilik resmi,” kata Ikhsan.

Pengamat Hukum Tanah yang melakukan penelitian terhadap tanah Sarirejo ini bercerita, tanah di Kelurahan Sari rejo itu milik Kesultanan Deli yang kemudian diturunkan kepada Kedatukan Sukapiring. “Ada 4 kedatukan sebelum Kedatukan Sukapiring. Yang terakhir Kedatukan Sukapiring,” kata dia.

Dia membeberkan, tanah di Kelurahan Sarirejo itu dahulunya dikonsesikan kepada pengusaha asing bernama Michel. Asalnya dari Polandia. Di situ, Michel mendirikan sebuah perusahaan. Menurut dia, nama Bandara Polonia itu diberikan oleh Michel. Alasannya, Michel rindu terhadap kampung halamannya. Namun belakangan, kondisi keuangan menyusut alias bangkrut.

Alhasil, tanah itu dijual kepada Langkat Associatie. Namun, kondisi perusahaan Langkat Associatie yang juga goyang, akhirnya jatuh kepada perusahaan Deli Maskapai.

“Namun akhirnya, situasi politik berubah tahun 1950. Sehingga tanah itu diambil TNI AU,” jelas Ikhsan.

Namun, lanjut Ikhsan, pada prakteknya TNI AU melakukan manipulasi. Salah satunya menjual kepada pengembangan. Dia mencontohkan, tanah yang kini berdiri perumahan mewah Malibu, sebenarnya itu diperuntukkan untuk pemukiman atau kepentingan TNI AU. Tapi, kini berdiri perumahan mewah tersebut.

“Sebenarnya tanah itu tidak ada diberikan selamanya. Statusnya itu tanah garapan. Dalam hal ini, pihak Kedatukan Sukapiring lah yang paling kuat memiliki tanah itu,” beber Ikhsan.

Menurut dia, sebenarnya tanah itu kira-kira seluas 770 hektar. Namun belakangan, Kesultanan Deli memberikan hibah kepada Kota Medan untuk kebutuhan pengembangan kota.

“Ada dua kali hibah itu diberikan kepada Pemko Medan,” tambah dia.

Dia juga mengherankan, BPN seolah memperlama menyerahkan sertifikat lahan itu. Kalau memang benar, Mabes TNI mengajak adu kekuatan dengan membeberkan bukti-bukti soal tanah itu, menurut Ikhsan, pernyataan tersebut bersifat emosional dan tidak memahami secara jelas persoalannya.

“Kalau tanah garapan, siapa pemiliknya, negara atau kesultanan? Ya kesultanan. BPN mau keluarkan sertifikat untuk masyarakat, harus hapus dulu di Kementerian Keuangan,” ujarnya.

Jika memang sudah terhapus daftarnya di Kemenkeu, tentunya itu kembali kepada Kedatukan Sukapiring. Apakah menghibahkan kepada masyarakat atau tidak. Menurut dia, Kedatukan Sukapiring dapat menghibahkan tanah itu kepada masyarakat.

“TNI AU tidak tunduk hukum. Enggak bisa hanya 87 penggugat itu saja, mereka kan homogen,” tandasnya. (prn/ted/adz)

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/