28.9 C
Medan
Sunday, May 12, 2024

Pinjam Rp15 Juta, Sisa Dua Jutaan

Foto: Amri/PM Tetangga pun ikut menangis menyaksikan eksekusi rumah keluarga Angkat, yang dipenuhi petugas.
Foto: Amri/PM
Tetangga pun ikut menangis menyaksikan eksekusi rumah keluarga Angkat, yang dipenuhi petugas.

MEDAN, SUMUTPOS.CO – Informasi dihimpun dari sekitar lokasi penggusuran, eksekusi rumah yang berlangsung brutal itu bermula dari pinjaman kredit uang Rp 15 juta di Bank Bumi Asih. Bank itu berada di bawah naungan Bank Perkreditan Rakyat di Jalan Raya Tembung No.15K Komplek Ruko Pasar Gambir, Kecamatan Percut Sei Tuan.

Senang Ate Angkat dan istrinya Munia Sitanggang, melakukan pinjaman uang pada tanggal 19 Maret 2004 untuk keperluan usaha kayu yang ditekuninya. Sebagai jaminannya, kedua pasutri 5 orang anak itu memberikan agunan surat tanah rumahnya yang berukuran seluas 348,6 M2 di Jalan Gambir Pasar 8, No.6 Desa Tembung.

Setelah perjanjian deal bulan Januari 2005, posisi utang bapak Angkat bersisa kredit pokok, bunga dan denda tinggal Rp 4.733.200. Artinya, 11 bulan lagi kereditnya berakhir, tepatnya 19 November 2005. Akan tetapi, pihak bank memberi surat teguran agar bapak Angkat segera melunasi sisa kereditnya, dengan ancaman apabila tidak melunasinya, rumah itu akan dijual pihak bank.

Lantaran teguran itu masih dalam tenggat waktu, Angkat yang mengalami pasang surut dalam usahanya, tetap melakukan pembayaran pada tanggal 18 Mei 2005, sehingga utangnya tersisa Rp 3.375.000.

“Dulu, 19 Mei 2004 orang tua kita pinjam ke bang BPR Rp 15 juta dan angsuran selama setahun. Dibayar berdasarkan surat pembayaran kami sisa hutang Rp 2.175.000 lagi. Ternyata, tanggal 18 Februari 2005 rumah kita ini sudah dijual oleh orang bank. Tapi seolah-olah, orang tua kami yang jual, karena waktu penjualan pertama, orang tua kami disuruh menandatangani akta jual beli dan tidak diketahui gunanya untuk apa oleh orang tua kami,” ungkap anak laki-laki korban.

Bulan berikutnya, tepatnya di tanggal 2 Juli 2005 bank kembali menyurati Angkat, sehingga dengan upayanya, istrinya terpaksa jual sayur kangkung di pajak hingga berhasil mencicil pembayaran sebesar Rp 1.200.000. Sehingga kreditnya tinggal Rp 2.175.000.

Rupanya, di akhir tahun 2007, bapak angkat dan keluarga, dikejutkan dengan pemberitahuan Pengadilan Negeri Lubuk Pakam, atas putusan Pengadilan Nomor 59/Pdt.G/2007/PN-LP 26 November 2007, yang menyatakan jika pihak pengadilan serta merta meletakan sita jaminan tanah/bangunan yang menjadi agunan atas keredit bapak Angkat.

Dari surat edaran yang diterima Angkat, ternyata pihak Bank Bumi Asih NBP 25 sudah menjual rumah tersebut secara sepihak dan tanpa sepengetahuan pemilik rumah pada seseorang yang bernama Saut Manuntun Lomo, pada 18 Februari 2005.

“Kami disurati tahun 2005. Di situ kami terkejut, tiba-tiba kami disurati agar rumah kami dikosongkan karena sudah dijual kepada orang yang nggak kami kenal. Yah, kami nggak percaya, soalnya di bulan Juli, mereka masih menganjurkan agar membayar, makanya kami bayar terus. Habis itu, nggak ada pemberitahuan lagi,” terangya lagi.

Padahal, tanggal 2 Juli 2005, dirinya telah membayar cicilannya dengan bukti cicilan dan teguran dari pihak Bank Bumi Asih No.A/151/BPR.T/VII/2005, yang ditandatangani Johny Lumban Tobing, SH, selaku direktur PT BPR Mumiasih NBP 25.

Untuk itu, pihak keluarga Angkat mengaku hendak menandatangani dan memajukan surat perlawanan atas putusan pengadilan negri lubuk pakam No: 14/Eks/2013/59/Pdt.G/2007/PN tgl 26/11/2007 untuk melawan, pihak Bank Bumi Asih NBP 25, PT. Bank Perkereditan Rakyat, Saut Manuntun Lomo, warga Jalan Sederhana, Gang Cempaka. “Sebelumnya, kami sudah buat laporannya ke Polresta Medan, terkait hal ini,” ujarnya keluarga angkat.

Atas penetapan dan putusan Pihak Pengadilan Negeri Lubuk Pakam tersebut, pedagang sayur dan penjual kedai kopi ini tak tau harus tinggal dimana. Pasalnya, pihak pengadilan sudah menurunkan tim eksekusi yang dikawal 150 personil kepolisian dari Shabara Polresta Medan dan personil Polsek Percut Sei Tuan. Selain itu, pihak pengadilan juga melibatkan beberapa orang dari anggota TNI Koramil Medan.

Tepat jam 10.00 wib, pihak pengadilan yang membacakan putusan agar dilakukan eksekusi dikomandangkan. Disitu, keluarga histeris, dan mempertahankan rumahnya. Salah satu keluarga menarik lembar surat putusan dan mengoyaknya. Sehingga memaksa pihak pengadilan mengambil kembali surat dari Deli serdang dan menunggu pembacaan lagi.

Setelah tiba suratnya, pihak pengadilan langsung membacakan dan meminta kepada personil kepolisian agar mengamankan situasi untuk pembacaan eksekusi. (mri/bd)

Foto: Amri/PM Tetangga pun ikut menangis menyaksikan eksekusi rumah keluarga Angkat, yang dipenuhi petugas.
Foto: Amri/PM
Tetangga pun ikut menangis menyaksikan eksekusi rumah keluarga Angkat, yang dipenuhi petugas.

MEDAN, SUMUTPOS.CO – Informasi dihimpun dari sekitar lokasi penggusuran, eksekusi rumah yang berlangsung brutal itu bermula dari pinjaman kredit uang Rp 15 juta di Bank Bumi Asih. Bank itu berada di bawah naungan Bank Perkreditan Rakyat di Jalan Raya Tembung No.15K Komplek Ruko Pasar Gambir, Kecamatan Percut Sei Tuan.

Senang Ate Angkat dan istrinya Munia Sitanggang, melakukan pinjaman uang pada tanggal 19 Maret 2004 untuk keperluan usaha kayu yang ditekuninya. Sebagai jaminannya, kedua pasutri 5 orang anak itu memberikan agunan surat tanah rumahnya yang berukuran seluas 348,6 M2 di Jalan Gambir Pasar 8, No.6 Desa Tembung.

Setelah perjanjian deal bulan Januari 2005, posisi utang bapak Angkat bersisa kredit pokok, bunga dan denda tinggal Rp 4.733.200. Artinya, 11 bulan lagi kereditnya berakhir, tepatnya 19 November 2005. Akan tetapi, pihak bank memberi surat teguran agar bapak Angkat segera melunasi sisa kereditnya, dengan ancaman apabila tidak melunasinya, rumah itu akan dijual pihak bank.

Lantaran teguran itu masih dalam tenggat waktu, Angkat yang mengalami pasang surut dalam usahanya, tetap melakukan pembayaran pada tanggal 18 Mei 2005, sehingga utangnya tersisa Rp 3.375.000.

“Dulu, 19 Mei 2004 orang tua kita pinjam ke bang BPR Rp 15 juta dan angsuran selama setahun. Dibayar berdasarkan surat pembayaran kami sisa hutang Rp 2.175.000 lagi. Ternyata, tanggal 18 Februari 2005 rumah kita ini sudah dijual oleh orang bank. Tapi seolah-olah, orang tua kami yang jual, karena waktu penjualan pertama, orang tua kami disuruh menandatangani akta jual beli dan tidak diketahui gunanya untuk apa oleh orang tua kami,” ungkap anak laki-laki korban.

Bulan berikutnya, tepatnya di tanggal 2 Juli 2005 bank kembali menyurati Angkat, sehingga dengan upayanya, istrinya terpaksa jual sayur kangkung di pajak hingga berhasil mencicil pembayaran sebesar Rp 1.200.000. Sehingga kreditnya tinggal Rp 2.175.000.

Rupanya, di akhir tahun 2007, bapak angkat dan keluarga, dikejutkan dengan pemberitahuan Pengadilan Negeri Lubuk Pakam, atas putusan Pengadilan Nomor 59/Pdt.G/2007/PN-LP 26 November 2007, yang menyatakan jika pihak pengadilan serta merta meletakan sita jaminan tanah/bangunan yang menjadi agunan atas keredit bapak Angkat.

Dari surat edaran yang diterima Angkat, ternyata pihak Bank Bumi Asih NBP 25 sudah menjual rumah tersebut secara sepihak dan tanpa sepengetahuan pemilik rumah pada seseorang yang bernama Saut Manuntun Lomo, pada 18 Februari 2005.

“Kami disurati tahun 2005. Di situ kami terkejut, tiba-tiba kami disurati agar rumah kami dikosongkan karena sudah dijual kepada orang yang nggak kami kenal. Yah, kami nggak percaya, soalnya di bulan Juli, mereka masih menganjurkan agar membayar, makanya kami bayar terus. Habis itu, nggak ada pemberitahuan lagi,” terangya lagi.

Padahal, tanggal 2 Juli 2005, dirinya telah membayar cicilannya dengan bukti cicilan dan teguran dari pihak Bank Bumi Asih No.A/151/BPR.T/VII/2005, yang ditandatangani Johny Lumban Tobing, SH, selaku direktur PT BPR Mumiasih NBP 25.

Untuk itu, pihak keluarga Angkat mengaku hendak menandatangani dan memajukan surat perlawanan atas putusan pengadilan negri lubuk pakam No: 14/Eks/2013/59/Pdt.G/2007/PN tgl 26/11/2007 untuk melawan, pihak Bank Bumi Asih NBP 25, PT. Bank Perkereditan Rakyat, Saut Manuntun Lomo, warga Jalan Sederhana, Gang Cempaka. “Sebelumnya, kami sudah buat laporannya ke Polresta Medan, terkait hal ini,” ujarnya keluarga angkat.

Atas penetapan dan putusan Pihak Pengadilan Negeri Lubuk Pakam tersebut, pedagang sayur dan penjual kedai kopi ini tak tau harus tinggal dimana. Pasalnya, pihak pengadilan sudah menurunkan tim eksekusi yang dikawal 150 personil kepolisian dari Shabara Polresta Medan dan personil Polsek Percut Sei Tuan. Selain itu, pihak pengadilan juga melibatkan beberapa orang dari anggota TNI Koramil Medan.

Tepat jam 10.00 wib, pihak pengadilan yang membacakan putusan agar dilakukan eksekusi dikomandangkan. Disitu, keluarga histeris, dan mempertahankan rumahnya. Salah satu keluarga menarik lembar surat putusan dan mengoyaknya. Sehingga memaksa pihak pengadilan mengambil kembali surat dari Deli serdang dan menunggu pembacaan lagi.

Setelah tiba suratnya, pihak pengadilan langsung membacakan dan meminta kepada personil kepolisian agar mengamankan situasi untuk pembacaan eksekusi. (mri/bd)

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/