31 C
Medan
Sunday, June 30, 2024

Komnas PA: Bayi Dibuang 62 Persen Karena Rasa Malu

Foto: Hulman/PM Bayi yang dibuang ibunya di depan pintu rumah warga, dirawat di ruang Flamboyan RSUD Deliserdang, Sumut.
Foto: Hulman/PM
Bayi yang dibuang ibunya di depan pintu rumah warga, dirawat di ruang Flamboyan RSUD Deliserdang, Sumut.

MEDAN, SUMUTPOS.CO – Ketua Komnas Perlindungan Anak, Arist Merdeka Sirait, mengatakan motif pembuangan bayi rata-rata didominasi hubungan gelap.

”Sebanyak 62 persen disebabkan rasa malu. Sebab, bayi yang dibuang itu merupakan hasil hubungan di luar pernikahan. Sebagian di antara mereka adalah pelajar atau mahasiswa. Selain latar belakang malu, motif lain adalah masalah ekonomi (16 persen), emosi (4 persen), masalah keluarga (4 persen), dan lain-lain (14 persen),” katanya.

Dari ratusan kasus bayi yang dibuang, 42 persen ditemukan dalam kondisi meninggal, hidup 38 persen, dan trauma 20 persen. Bayi-bayi yang bisa diselamatkan selanjutnya dititipkan ke panti sosial anak. Baik milik pemerintah maupun swasta.

“Umumnya, bayi tersebut ditemukan dalam kondisi mengenaskan oleh masyarakat di lingkungan sekitar,” katanya.

Lokasi pembuangan bayi, kata Arist, bergantung pada motif pelaku. Sebagian besar bayi sengaja dibuang di lokasi yang sulit terendus. Di antaranya, aliran sungai, got, selokan, bahkan bak sampah. Biasanya, untuk menghilangkan jejak, bayi-bayi tersebut dibungkus sehingga menyerupai sampah. Namun, ada juga beberapa pelaku yang berharap si bayi dipelihara orang lain. Karena itu, mereka umumnya membuang bayi di tempat yang mudah terpantau dan terjangkau orang.

Misalnya, halaman atau teras rumah warga, tempat ibadah, fasilitas umum, terminal bus, dan stasiun. Bahkan, dalam beberapa kasus, pelaku juga meninggalkan surat. “Kalau berdasar jenis kelamin, jumlah bayi yang dibuang 51 persen laki-laki dan 42 persen perempuan,” ujar Arist.

Polisi Terkendala Minimnya Saksi
Banyaknya kasus pembuangan bayi yang tak terungkap juga diakui Kabid Humas Poldasu, Kombes Helfi Assegaf. Menurut Helfi, selama ini dalam melakukan penyelidikan pihaknya terkendala minimnya saksi dan lokasi penemuan. Contohnya, mayat bayi ditemukan mengapung di sungai, sementara sungai tersebut hulunya jauh dan melewati beberapa jembatan.

Ironisnya lagi, Kepala Lingkungan (Kepling) lokasi penemuan bayi juga tak punya data siapa-siapa saja warganya yang hamil. Kalaupun ada yang hamil, belum tentu bisa ditudukan kepadanya. “Jadi kasus bayi ditemukan tewas (dibuang) terkadang sulit diungkap. Karena dalam kasus seperti itu, kita hanya bisa berkordinasi dengan Kepling dan warga setempat,” tuturnya, Jumat (21/9) siang.

Karena itu, Helfi berharap mau bekerjasama memberikan info pada polisi. “Info sekecil apapun yang diberikan masyarakat, pasti akan kita telusuri. Kita juga kasihan dengan pembuangan bayi ini. Makanya kalau masyarakat ada saksi atau melihat, segera lapor kepada kita,” pintanya. (gib/deo)

Foto: Hulman/PM Bayi yang dibuang ibunya di depan pintu rumah warga, dirawat di ruang Flamboyan RSUD Deliserdang, Sumut.
Foto: Hulman/PM
Bayi yang dibuang ibunya di depan pintu rumah warga, dirawat di ruang Flamboyan RSUD Deliserdang, Sumut.

MEDAN, SUMUTPOS.CO – Ketua Komnas Perlindungan Anak, Arist Merdeka Sirait, mengatakan motif pembuangan bayi rata-rata didominasi hubungan gelap.

”Sebanyak 62 persen disebabkan rasa malu. Sebab, bayi yang dibuang itu merupakan hasil hubungan di luar pernikahan. Sebagian di antara mereka adalah pelajar atau mahasiswa. Selain latar belakang malu, motif lain adalah masalah ekonomi (16 persen), emosi (4 persen), masalah keluarga (4 persen), dan lain-lain (14 persen),” katanya.

Dari ratusan kasus bayi yang dibuang, 42 persen ditemukan dalam kondisi meninggal, hidup 38 persen, dan trauma 20 persen. Bayi-bayi yang bisa diselamatkan selanjutnya dititipkan ke panti sosial anak. Baik milik pemerintah maupun swasta.

“Umumnya, bayi tersebut ditemukan dalam kondisi mengenaskan oleh masyarakat di lingkungan sekitar,” katanya.

Lokasi pembuangan bayi, kata Arist, bergantung pada motif pelaku. Sebagian besar bayi sengaja dibuang di lokasi yang sulit terendus. Di antaranya, aliran sungai, got, selokan, bahkan bak sampah. Biasanya, untuk menghilangkan jejak, bayi-bayi tersebut dibungkus sehingga menyerupai sampah. Namun, ada juga beberapa pelaku yang berharap si bayi dipelihara orang lain. Karena itu, mereka umumnya membuang bayi di tempat yang mudah terpantau dan terjangkau orang.

Misalnya, halaman atau teras rumah warga, tempat ibadah, fasilitas umum, terminal bus, dan stasiun. Bahkan, dalam beberapa kasus, pelaku juga meninggalkan surat. “Kalau berdasar jenis kelamin, jumlah bayi yang dibuang 51 persen laki-laki dan 42 persen perempuan,” ujar Arist.

Polisi Terkendala Minimnya Saksi
Banyaknya kasus pembuangan bayi yang tak terungkap juga diakui Kabid Humas Poldasu, Kombes Helfi Assegaf. Menurut Helfi, selama ini dalam melakukan penyelidikan pihaknya terkendala minimnya saksi dan lokasi penemuan. Contohnya, mayat bayi ditemukan mengapung di sungai, sementara sungai tersebut hulunya jauh dan melewati beberapa jembatan.

Ironisnya lagi, Kepala Lingkungan (Kepling) lokasi penemuan bayi juga tak punya data siapa-siapa saja warganya yang hamil. Kalaupun ada yang hamil, belum tentu bisa ditudukan kepadanya. “Jadi kasus bayi ditemukan tewas (dibuang) terkadang sulit diungkap. Karena dalam kasus seperti itu, kita hanya bisa berkordinasi dengan Kepling dan warga setempat,” tuturnya, Jumat (21/9) siang.

Karena itu, Helfi berharap mau bekerjasama memberikan info pada polisi. “Info sekecil apapun yang diberikan masyarakat, pasti akan kita telusuri. Kita juga kasihan dengan pembuangan bayi ini. Makanya kalau masyarakat ada saksi atau melihat, segera lapor kepada kita,” pintanya. (gib/deo)

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/