“Kenapa dirimu? Suntuk kulihat,” sapa Kompol Serimin Pinem –kerap dipanggil Sri Pinem–, pada seorang penyidik berwajah galau.
“Mirdong, bu. ‘Pelaku dan korban’ lakalantas udah berdamai. Tapi kasus ‘kan tak boleh dihentikan. Mereka pada komplain merasa makin susah dibikin polisi,” jawab si penyidik yang disapa dengan wajah tertekuk.
Dialog serupa kerap terekam mantan Kasatlantas Polrestabes Medan ini, selama kiprahnya di lapangan.
Sebagai aparat penegak hukum, polisi memang diharapkan untuk menegakkan hukum normatif. Jika ada pengemudi kendaraan bermotor yang menyebabkan kecelakaan lalu lintas yang mengakibatkan korban luka, baik luka ringan maupun luka berat, atau meninggal dunia, diancam dengan sanksi pidana sebagaimana diatur Pasal 310 ayat UU No. 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (UU LLAJ).
Di ayat 1 disebutkan, setiap orang yang mengemudikan Kendaraan Bermotor yang karena kelalaiannya mengakibatkan Kecelakaan Lalu Lintas dengan kerusakan kendaraan dan/atau barang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 229 ayat (2), dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 bulan dan/atau denda paling banyak Rp1 juta.
Ayat 2, setiap orang yang mengemudikan Kendaraan Bermotor yang karena kelalaiannya mengakibatkan Kecelakaan Lalu Lintas dengan korban luka ringan dan kerusakan Kendaraan dan/atau barang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 229 ayat (3), dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 tahun dan/atau denda paling banyak Rp2 juta.
Ayat 3, setiap orang yang mengemudikan Kendaraan Bermotor yang karena kelalaiannya mengakibatkan Kecelakaan Lalu Lintas dengan korban luka berat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 229 ayat (4), dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 tahun dan/atau denda paling banyak Rp10 juta.
Ayat 4, dalam hal kecelakaan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) yang mengakibatkan orang lain meninggal dunia dipidana penjara paling lama 6 tahun dan/atau denda paling banyak Rp12 juta.
“Nah, pengalaman kami di lapangan, kasus lakalantas itu umumnya bukan unsur kesengajaan. Mungkin kelalaian ya… tetapi jarang karena disengaja. Dalam hal itu, semua pihak sebenarnya ‘korban’. Baik pelaku maupun korban sama-sama syok dan trauma,” kata Kompol Serimin Pinem, yang baru saja meraih gelar doktornya di Pascasarjana Hukum USU, kepada Sumut Pos, Rabu (26/2).
Selain sama-sama trauma, pelaku dan korban pun sama-sama menderita kerugian, baik secara psikis maupun material. “Dan mereka makin menderita lagi karena diproses secara hukum,” katanya wanita kelahiran 18 Juli 1965 ini dengan nada bersemangat.
Pengalaman para penyidik di wilayah hukum Polda Sumatera Utara, lanjut perwira yang saat ini menjabat sebagai Kasubbag Sumda di Polres Batubara, untuk kecelakaan lalulintas kategori ringan, kedua belah pihak umumnya lebih suka berdamai. Berdamai dalam hal ini, biasanya pihak yang dianggap lalai membayar ganti rugi kepada pihak yang dianggap korban, misalnya biaya perobatan atau ganti rugi perbaikan kendaraan.
“Khusus untuk lakalantas ringan yang tidak memakan korban jiwa, kabanyakan lebih suka damai. Bahkan dalam kasus lakalantas berat pun, ada yang lebih suka berdamai,” kata ibu 4 anak ini.
Berangkat dari temuan-temuan di lapangan, perwira yang juga mengajar di jurusan hukum Universitas Medan Area ini, melakukan penelitian kualitatif lewat teknik pengumpulan data dan teknik wawancara, di 29 Polres di bawah naungan Polda Sumatera Utara.
Kesimpulannya, dari ratusan kasus lakalantas kategori ringan yang ditangani, paling hanya 2-3 kasus yang sampai ke pengadilan. Mengapa?
“Karena kedua belah pihak yang lebih suka jalan damai dan tak suka ribet. Jika kasusnya tetap diproses, mereka sering komplain. Katanya, kami ini sudah susah karena terlibat kecelakaan, kok makin disusahkan? Di sinilah posisi penyidik jadi dilema. Di satu sisi kasihan pada kedua belah pihak. Tapi di sisi lain, wajib menegakkan hukum normatif,” jelasnya.
Temuan Sri di lapangan, secara umum penyidik di lapangan sebenarnya mau saja mengentikan kasus lakalantas yang korbannya lebih suka berdamai.
Masalahnya, jika kasusnya tidak diproses, penyidik terancam kena sanksi administrasi dari Irwasda. Dianggap memetieskan kasus, sementara kasus lakalantas paling gampang dilengkapi karena selalu ada barang bukti dan saksi.
Meski ada oknum-oknum penyidik yang memanfaatkan kesempatan dalam kesempitan, dengan ‘menekan’ pengendara yang dianggap ‘pihak yang bersalah’ untuk keuntungan pribadi, temuan Sri di lapangan, secara umum para penyidik lebih suka menyelesaikan kasus lakalantas ringan dengan cara berdamai.
“Tujuan hukum itu kan ‘keadilan. Adil bagi siapa saja. Nah, berdamai pun kadang dinilai juga sebagai keadilan oleh kedua belah pihak. Berdamai di sini artinya menyelesaikan masalah dengan cara mediasi dan adanya restorative (ganti rugi),” jelasnya.
Karena seluruh penyidik serta pelaku dan korban lakalantas yang diwawancarainya, setuju jalan mediasi, istri AKBP Darwin Sitepu ini pun mengajukan disertasinya berjudul: Alternatif Penyelesaian Sengketa Di Luar Pengadilan, dengan studi lakalantas di wilayah hukum Poldasu.
Dalam disertasinya, ia mengusulkan agar dirumuskan peraturan setara UU yang membolehkan pihak-pihak yang terlihat dalam kecelakaan lalulintas, untuk berdamai. Khususnya untuk lakalantas ringan yang hanya merugikan secara material.
“Saya berhasil mempertahankan disertasi yang dalam jurnal bahasa Inggris dipublish dengan judul: Alternative Dispute Resolution in Traffic Accidents in North Sumatera Highway’. Nilainya A,” kata wanita yang meraih gelar doktoralnya dalam tempo 3,5 tahun ini semringah.
Berhasil mempertahankan disertasinya, wanita dengan 1 bintang di pundak ini lulus cumlaude dengan Indeks Prestasi Kumulatif (IPK) 3,92. Ia diwisuda dengan gelar doktor di Auditorium USU, Senin (24/2) baru lalu.
“Saya berharap, disertasi ini bisa menjadi terobosan hukum untuk kasus lakalantas di Indonesia. Harapannya, ada UU yang memperbolehkan kedua boleh pihak yang terlibat lakalantas untuk menyelesaikan lakalantas secara kekeluargaan, sehingga tidak wajib diproses hukum lagi,” katanya.
Dalam perdamaian itu, aparat penegak hukum hanya campur tangan sebagai mediator saja. Tentu, aparatnya sudah diassesment sebagai mediator yang kompeten melakukan mediasi.
“Ide ini muncul karena sekarang kepolisian sedang mengedepankan aspek problem solving untuk kasus-kasus pidana yang sifatnya ringan,” lanjutnya.
Berhasil meraih gelar doktornya dengan nilai cemerlang, wanita yang kelahiran Dairi ini langsung menerima SK pengangkatan sebagai dosen Non PNS dari Rektor USU, untuk mengajar di Magister Kenotariatan USU.
Wah, makin sibuk dong? Gimana caranya membagi waktu?
“Pertama tentu mendahulukan urusan kantor di kepolisian. Kalau mengajar di UMA, biasanya ‘kan sore hari sepulang dari tukas kantor. Kalau kuliah S3, selama ini hanya Jumat-Sabtu. Jadi relatif tidak mengganggu,” cetusnya manis.
Untuk keluarga, sebisa mungkin ia mengatur waktunya agar tetap memiliki family time yang berkualitas. Untungnya, keempat anak-anaknya sudah besar-besar, bahkan sebagian sudah memiliki karir sendiri.
“Niatnya, jika memungkinkan, saya berharap ke depan bisa menjadi profesor. Karena selain dunia kepolisian, saya juga mencintai dunia mengajar. Jika pensiun nanti, saya ingin full time mengajar di kampus-kampus,” cetusnya lagi.
Belajar, diakuinya, bisa dilakukan dengan berbagai cara. Tetapi ia lebih suka belajar secara terstruktur dan terprogram, karena rasanya lebih jelas.
“Kalau di kepolisian, rasanya karir sudah cukuplah. Tetapi soal akademik, saya memang agak gigih karena saya suka ingin tahu tentang hal-hal yang belum saya tahu,” cetusnya mantap.
Pencapaian di dunia akademik, baginya menjadi kebanggaan bagi keluarga, sekaligus memotivasi anak cucu agar terus bergerak maju, serta agar berguna bagi bangsa –minimal bagi mahasiswa yang dididiknya. (mea)