26.7 C
Medan
Friday, May 3, 2024

Terkait Pasar Timah, Usut MoU PT KAI dan Pengembang

SUTAN SIREGAR/SUMUT POS
PASAR TIMAH_Suasana tempat yang akan dijadikan relokasi pedagang pasar timah di Jalan Timah Medan, Minggu (20/8) Para pedagang menolak untuk direlokasi dan menolak revitalisasi pasar timah.

MEDAN, SUMUTPOS.CO -Relokasi permanen Pasar Timah yang berdiri di jalur hijau milik PT Kereta Api Indonesia (KAI) terus disoal. Kali ini perihal nota kesepakatan bersama atau Memorandum of Understanding (MoU) antara PT KAI dan pengembang, dinilai perlu untuk diusut.  Hal ini ditegaskan Wakil Ketua Fraksi Gerindra DPRD Medan Godfried Effendi Lubis kepada Sumut Pos, Minggu (27/8).

Menurutnya, waktu pengembang Pasar Timah mengajukan gambar penerbitan Izin Mendirikan Bangunan (IMB), itu wajib dibuat sesuai Rencana Detail Tata Ruang (RDTR) Kota Medan.

“Artinya pelaksanaan di lapangan harus diawasi Dinas PKP2R. Maunya di tengah jalan mereka adakan evaluasi, ini kenapa dibiarkan? Takut saya pengembang Pasar Timah melakukan permohonan keringanan GSB, tanpa sepengetahuan Pemko (Dinas PKP2R, Red),” katanya.

Sesuai aturan GSB sebut Godfired, jaraknya itu enam meter. Oleh karenanya perlu dikroscek objektivitas permohonan keringan GSB itu. “Tapi saya tidak tahu kalau kondisi di sana berubah jadi double track kereta api layang. Apakah GSB enam meter itu masih berlaku sekarang? Bagusnya ini dikonfirmasi ke PT KAI, berapa meter sebenarnya titik aman jarak GSB antara kedua bangunan tersebut,” katanya.

Di sisi lain, Anggota Komisi D DPRD Medan ini mempertanyakan lahan yang dibangun tidak menyalahi kepemilikan lahan dalam hal ini PT KAI. “Kalau memang disewa tentu ada persetujuan PT KAI. Nah, yang kita khawatirkan persetujuan mereka (pengembang Pasar Timah) tanpa sepengetahuan Dinas PKP2R. Sama dengan pihak Polrestabes membangun pos polisi di atas lahan milik Pemko Medan, tapi pemilik lahan mengaku tidak tahu. Inikan lucu jadinya. Makanya IMB-nya tidak ada dan uangnya tidak masuk kas daerah,” katanya.

Masalah ini diakuinya pernah ia tanyakan langsung ke pihak advertising dan Dinas TRTB (sebelum dilebur dengan Dinas Perkim). “Takut kita, sama kejadian Pasar Timah ini dengan billboard di atas pos polisi yang tidak diketahui Pemko. Minimal ada koordinasi. Kalau memang ada permohonan GSB tentu wajib ada rekomendasi dari Dinas PKP2R. Bisa saja itu dilakukan namun tetap ada pertimbangan dan analisisnya. Perlu keterbukaan Dinas PKP2R dalam hal ini,” paparnya.

Disinggung bahwa PT KAI cenderung ‘buang badan’ terhadap persoalan ini, menurut Godfried sudah merupakan hal yang lazim. Katanya, senantiasa jika ada tudingan ke PT KAI waktu pembahasan bersama pihaknya, perusahaan plat merah tersebut selalu melempar bola ke pusat.

“Apapun ceritanya, masalah ini ada di Medan. Jadi gak bisa mereka sesuka hati berbuat di sini. Ikuti juga aturan main perda Kota Medan. Minimal ada koordinasilah. Termasuk dampak pembangunan relokasi Pasar Timah tetap harus dipikirkan,” katanya.

SUTAN SIREGAR/SUMUT POS
PASAR TIMAH_Suasana tempat yang akan dijadikan relokasi pedagang pasar timah di Jalan Timah Medan, Minggu (20/8) Para pedagang menolak untuk direlokasi dan menolak revitalisasi pasar timah.

MEDAN, SUMUTPOS.CO -Relokasi permanen Pasar Timah yang berdiri di jalur hijau milik PT Kereta Api Indonesia (KAI) terus disoal. Kali ini perihal nota kesepakatan bersama atau Memorandum of Understanding (MoU) antara PT KAI dan pengembang, dinilai perlu untuk diusut.  Hal ini ditegaskan Wakil Ketua Fraksi Gerindra DPRD Medan Godfried Effendi Lubis kepada Sumut Pos, Minggu (27/8).

Menurutnya, waktu pengembang Pasar Timah mengajukan gambar penerbitan Izin Mendirikan Bangunan (IMB), itu wajib dibuat sesuai Rencana Detail Tata Ruang (RDTR) Kota Medan.

“Artinya pelaksanaan di lapangan harus diawasi Dinas PKP2R. Maunya di tengah jalan mereka adakan evaluasi, ini kenapa dibiarkan? Takut saya pengembang Pasar Timah melakukan permohonan keringanan GSB, tanpa sepengetahuan Pemko (Dinas PKP2R, Red),” katanya.

Sesuai aturan GSB sebut Godfired, jaraknya itu enam meter. Oleh karenanya perlu dikroscek objektivitas permohonan keringan GSB itu. “Tapi saya tidak tahu kalau kondisi di sana berubah jadi double track kereta api layang. Apakah GSB enam meter itu masih berlaku sekarang? Bagusnya ini dikonfirmasi ke PT KAI, berapa meter sebenarnya titik aman jarak GSB antara kedua bangunan tersebut,” katanya.

Di sisi lain, Anggota Komisi D DPRD Medan ini mempertanyakan lahan yang dibangun tidak menyalahi kepemilikan lahan dalam hal ini PT KAI. “Kalau memang disewa tentu ada persetujuan PT KAI. Nah, yang kita khawatirkan persetujuan mereka (pengembang Pasar Timah) tanpa sepengetahuan Dinas PKP2R. Sama dengan pihak Polrestabes membangun pos polisi di atas lahan milik Pemko Medan, tapi pemilik lahan mengaku tidak tahu. Inikan lucu jadinya. Makanya IMB-nya tidak ada dan uangnya tidak masuk kas daerah,” katanya.

Masalah ini diakuinya pernah ia tanyakan langsung ke pihak advertising dan Dinas TRTB (sebelum dilebur dengan Dinas Perkim). “Takut kita, sama kejadian Pasar Timah ini dengan billboard di atas pos polisi yang tidak diketahui Pemko. Minimal ada koordinasi. Kalau memang ada permohonan GSB tentu wajib ada rekomendasi dari Dinas PKP2R. Bisa saja itu dilakukan namun tetap ada pertimbangan dan analisisnya. Perlu keterbukaan Dinas PKP2R dalam hal ini,” paparnya.

Disinggung bahwa PT KAI cenderung ‘buang badan’ terhadap persoalan ini, menurut Godfried sudah merupakan hal yang lazim. Katanya, senantiasa jika ada tudingan ke PT KAI waktu pembahasan bersama pihaknya, perusahaan plat merah tersebut selalu melempar bola ke pusat.

“Apapun ceritanya, masalah ini ada di Medan. Jadi gak bisa mereka sesuka hati berbuat di sini. Ikuti juga aturan main perda Kota Medan. Minimal ada koordinasilah. Termasuk dampak pembangunan relokasi Pasar Timah tetap harus dipikirkan,” katanya.

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/