27.8 C
Medan
Monday, May 13, 2024

Efek Psikologi Pembatasan Subsidi

Program pembatasan konsumsi BBM bersubsidi rencananya akan dilakukan pemerintah mulai 2013. Kebijakan itu dikhawatirkan berpotensi menyebabkan kelangkaan. Apa tanggapan warga? Berikut wawancara wartawan Harian Sumut Pos, Ari Sisworo dengann
Direktur Lembaga Advokasi Perlindungan Konsumen, Farid Wajdi.

Apa dampak yang akan terjadi?
Kebijakan pemerintah yang baru akan dimulai 2012 ini, dikhawatirkan berpotensi menyebabkan kelangkaan. Di berbagai daerah baik di Sumut dan Medan. walaupun pemberlakuannya masih di beberapa daerah di luar Sumut dan Medan. Kelangkaan itu terjadi, disebabkan aksi borong BBM bersubsidi itu.

Apa yang harus dilakukan pemerintah?
Pemerintah harus membuat langkah antisipasi dengan perencanaan yang matang. Termasuk kampanye dan edukasi jangan sampai pembatasan subsidi justru membuat masyarakat memborong premium seperti yang terjadi penaikan harga BBM.

Apa latar belakang terjadinya kelangkaan?
Potensi kelangkaan BBM dimulai dari aksi masyarakat ramai-ramai membeli BBM sebanyak-banyaknya sehingga stok BBM di SPBU menjadi langka. Tetapi penjual eceran di sebelah SPBU malah punya stok BBM yang dijual dengan harga lebih mahal. Dengan kata lain, pembatasan subsidi potensial dan rawan penyalahgunaan.

Masalahnya pembatasan subsidi BBM sangat tidak familiar di masyarakat. Pengalaman selama ini pembatasan subsidi bakal dibarengi dengan aksi borong. Dengan kata lain tanpa edukasi, dalam jangka panjang, terutama jika harga minyak justru cenderung naik. Subsidi minyak memang akan melangit dan menggerogoti keuangan pemerintah. Tidak cukup pemerintah membuat jawaban kesannya begitu logis: mengurangi atau bahkan menghapus subsidi BBM.

Kesan yang muncul, jawaban ini adalah jawaban mau enaknya sendiri, membebankan tanggungjawab pemerintah kepada masyarakat. Apalagi, di mana-mana, tugas pemerintah adalah memberi subsidi (kata lain dari fasilitas dan kemudahan) kepada rakyatnya.

Apa solusinya?
Cuma memang subsidi itu harus tepat sasaran. Tidak jatuh ke tangan yang bukan berhak seperti yang ada selama ini. Dipastikan buntut pembatasan larangan itu, bakal berdampak pada mobilitas sosial dan ekonomi masyarakat bermuara pada potensi inflasi dan turunnya daya beli masyarakat.
Terlalu banyak pil pahit yang harus ditelan terkait dengan upaya  mengubah paradigma efisiensi energi di masyarakat. Apalagi hampir dalam setiap kebijakan itu selalu dilakukan secara instan dan premature, sehingga tidak ada proses edukasi energi yang tidak terbaharukan itu. Memang ada unsur ketidakadilan dalam subsidi BBM.

Orang kaya menggunakan BBM lebih banyak dari orang miskin. Ketidakadilan itu harus dikoreksi. Tapi, haruskah dengan menghapus seluruh subsidi? Bukankah ada cara lain: kenakan pajak yang lebih besar kepada orang kaya, pada mobil yang dipakai dan setiap perangkat elektronik mereka. Mengingat jumlah orang miskin jauh lebih banyak dari orang kaya, mana lebih masuk akal: menarik pajak orang kaya atau mendistribusikan subsidi langsung kepada orang miskin.

Mengapa pemerintah tidak belajar dari kegagapan kebijakan konversi minyak tanah ke elpiji. Selama ini proses edukasi dan sosialisasi serta pelaksanaan konversi sangat singkat akibatnya banyak dari masyarakat yang belum paham sesuai dengan prosedur keselamatan yang telah disosialisasikan.

Bagaimana efek psikologis yang akan terjadi?
Terlalu, banyak kebijakan energi yang dibarengi dengan katup pengaman yang tidak pas, sehingga muncul kontroversi dan ekses yang tidak dikehendaki. Karena pemerintah harus mewaspadai pembatasan BBM bersudsidi.  Masalah lain yang akan timbul adalah akan timbulnya gejolak atau gesekan sosial yang juga dipicu dari harga BBM.

Psikologi ekonomi social sangat mudah diaduk-aduk lewat isu pencabutan subsidi. Begitu subsidi dicabut, harga komoditas publik bergerak naik. Selama ini ekses isu penaikan BBM, selalu disambut dengan penaikan komoditas publik non-BBM. Goncangan psikologi ekonomi yang tidak memilikitali temali dengan BBM justru lebih terasa eksesnya.

Terakhir, pemerintah semestinya tetap konsisten menjalankan program penghematan energi. Aturan hemat energi harus benar-benar diterapkan. Dalam urusan ini pun, pemerintah tampak kurang konsisten. Program penghematan energi yang digembar-gemborkan kini seolah-olah tidak terdengar lagi. Sejumlah negara sudah menerapkan pola penghematan BBM. Sayangnya lagi, di Indonesia, kendati telah lama didengungkan penghematan BBM, realisasinya tidak pernah tuntas. Ketika harga minyak turun, upaya menghemat BBM pun berlalu.(*)

Program pembatasan konsumsi BBM bersubsidi rencananya akan dilakukan pemerintah mulai 2013. Kebijakan itu dikhawatirkan berpotensi menyebabkan kelangkaan. Apa tanggapan warga? Berikut wawancara wartawan Harian Sumut Pos, Ari Sisworo dengann
Direktur Lembaga Advokasi Perlindungan Konsumen, Farid Wajdi.

Apa dampak yang akan terjadi?
Kebijakan pemerintah yang baru akan dimulai 2012 ini, dikhawatirkan berpotensi menyebabkan kelangkaan. Di berbagai daerah baik di Sumut dan Medan. walaupun pemberlakuannya masih di beberapa daerah di luar Sumut dan Medan. Kelangkaan itu terjadi, disebabkan aksi borong BBM bersubsidi itu.

Apa yang harus dilakukan pemerintah?
Pemerintah harus membuat langkah antisipasi dengan perencanaan yang matang. Termasuk kampanye dan edukasi jangan sampai pembatasan subsidi justru membuat masyarakat memborong premium seperti yang terjadi penaikan harga BBM.

Apa latar belakang terjadinya kelangkaan?
Potensi kelangkaan BBM dimulai dari aksi masyarakat ramai-ramai membeli BBM sebanyak-banyaknya sehingga stok BBM di SPBU menjadi langka. Tetapi penjual eceran di sebelah SPBU malah punya stok BBM yang dijual dengan harga lebih mahal. Dengan kata lain, pembatasan subsidi potensial dan rawan penyalahgunaan.

Masalahnya pembatasan subsidi BBM sangat tidak familiar di masyarakat. Pengalaman selama ini pembatasan subsidi bakal dibarengi dengan aksi borong. Dengan kata lain tanpa edukasi, dalam jangka panjang, terutama jika harga minyak justru cenderung naik. Subsidi minyak memang akan melangit dan menggerogoti keuangan pemerintah. Tidak cukup pemerintah membuat jawaban kesannya begitu logis: mengurangi atau bahkan menghapus subsidi BBM.

Kesan yang muncul, jawaban ini adalah jawaban mau enaknya sendiri, membebankan tanggungjawab pemerintah kepada masyarakat. Apalagi, di mana-mana, tugas pemerintah adalah memberi subsidi (kata lain dari fasilitas dan kemudahan) kepada rakyatnya.

Apa solusinya?
Cuma memang subsidi itu harus tepat sasaran. Tidak jatuh ke tangan yang bukan berhak seperti yang ada selama ini. Dipastikan buntut pembatasan larangan itu, bakal berdampak pada mobilitas sosial dan ekonomi masyarakat bermuara pada potensi inflasi dan turunnya daya beli masyarakat.
Terlalu banyak pil pahit yang harus ditelan terkait dengan upaya  mengubah paradigma efisiensi energi di masyarakat. Apalagi hampir dalam setiap kebijakan itu selalu dilakukan secara instan dan premature, sehingga tidak ada proses edukasi energi yang tidak terbaharukan itu. Memang ada unsur ketidakadilan dalam subsidi BBM.

Orang kaya menggunakan BBM lebih banyak dari orang miskin. Ketidakadilan itu harus dikoreksi. Tapi, haruskah dengan menghapus seluruh subsidi? Bukankah ada cara lain: kenakan pajak yang lebih besar kepada orang kaya, pada mobil yang dipakai dan setiap perangkat elektronik mereka. Mengingat jumlah orang miskin jauh lebih banyak dari orang kaya, mana lebih masuk akal: menarik pajak orang kaya atau mendistribusikan subsidi langsung kepada orang miskin.

Mengapa pemerintah tidak belajar dari kegagapan kebijakan konversi minyak tanah ke elpiji. Selama ini proses edukasi dan sosialisasi serta pelaksanaan konversi sangat singkat akibatnya banyak dari masyarakat yang belum paham sesuai dengan prosedur keselamatan yang telah disosialisasikan.

Bagaimana efek psikologis yang akan terjadi?
Terlalu, banyak kebijakan energi yang dibarengi dengan katup pengaman yang tidak pas, sehingga muncul kontroversi dan ekses yang tidak dikehendaki. Karena pemerintah harus mewaspadai pembatasan BBM bersudsidi.  Masalah lain yang akan timbul adalah akan timbulnya gejolak atau gesekan sosial yang juga dipicu dari harga BBM.

Psikologi ekonomi social sangat mudah diaduk-aduk lewat isu pencabutan subsidi. Begitu subsidi dicabut, harga komoditas publik bergerak naik. Selama ini ekses isu penaikan BBM, selalu disambut dengan penaikan komoditas publik non-BBM. Goncangan psikologi ekonomi yang tidak memilikitali temali dengan BBM justru lebih terasa eksesnya.

Terakhir, pemerintah semestinya tetap konsisten menjalankan program penghematan energi. Aturan hemat energi harus benar-benar diterapkan. Dalam urusan ini pun, pemerintah tampak kurang konsisten. Program penghematan energi yang digembar-gemborkan kini seolah-olah tidak terdengar lagi. Sejumlah negara sudah menerapkan pola penghematan BBM. Sayangnya lagi, di Indonesia, kendati telah lama didengungkan penghematan BBM, realisasinya tidak pernah tuntas. Ketika harga minyak turun, upaya menghemat BBM pun berlalu.(*)

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/