28.9 C
Medan
Sunday, June 23, 2024

Dari Buku ‘TB SILALAHI (bercerita tentang pengalamannya)’ (2/Habis)

Stres Berat, Minta Petunjuk Patung Gatot Subroto

Ceritanya, sewaktu TB harus menghadap Pak Harto menyampaikan masalah yang sangat penting, Wiranto mencegahnya. Pak Harto lagi bad-mood. Tapi, TB ngotot karena masalahnya memang penting. Di ruang kerja Pak Harto itu, TB mencari akal bagaimana membuat Pak Harto tidak lagi murung.

Oleh: DAHLAN ISKAN, Pecinta Buku

Berceritalah TB mengenai kisah kehebatan Pak Harto yang pernah dia dengar dari para jenderal yang pernah mendengarnya. Yakni, mengenai pertempuran Ambarawa. Waktu itu, Pak Harto diperintah Jenderal Gatot Subroto untuk mempertahankan sebuah bukit yang penting. Pak Harto dan pasukannya tidak boleh meninggalkan bukit itu sama sekali. Ketika malam, Belanda membombardir bukit itu habis-habisan, Jenderal Gatot Subroto menangis.

Dia mengira Pak Harto pasti sudah tewas. Demikian juga pasukannya. Pagi itu, Gatot Subroto mengerahkan pasukan menyisir bukit tersebut untuk mencari mayat Pak Harto. Ternyata, Pak Harto masih hidup. Ternyata, Pak Harto, dengan perhitungannya sendiri, tidak menaati perintah atasannya itu. Pak Harto, sebelum malam tiba, sudah meninggalkan bukit tersebut.

Senjata TB itu sangat ampuh. Baru sebentar TB berkisah, Pak Harto sudah menimpali. Bahkan, Pak Harto-lah yang kemudian meneruskan kisah itu dengan semangatnya. Wiranto yang mendengarkan dari ruang sebelah merasa gembira. Maka, setiap melihat Pak Harto bad mood, Wiranto minta agar TB berpura-pura punya urusan dengan Pak Harto.

Hebatnya, TB menyadari, menjadi anak emas itu banyak tidak enaknya. Dan dia belajar banyak dari situ Waktu Rudini diangkat menjadi KSAD, TB yang masih paban diminta menjadi orang nomor dua untuk menghadap. Padahal, mestinya para asisten dulu. Itu menimbulkan kecemburuan yang merugikan dirinya. Apalagi ketika akhirnya tahu TB-lah yang diminta membuatkan konsep tujuh perintah harian KSAD yang baru.

TB juga pernah menjadi anak emas Jenderal M Jusuf. Mulanya dari kunjungan Menhankam/Pangab asli Makassar itu ke Makassar setelah meredanya kerusuhan anti-Tionghoa di sana. Jenderal Jusuf begitu senangnya kerusuhan tersebut berhasil diselesaikan dengan cepat. Karena itu, saat itu juga, di tempat rapat itu juga, Jenderal Jusuf minta pangkat Pangdam Hasanuddin Brigjen Soegiarto dinaikkan menjadi mayor jenderal.

Setelah itu, sang Pangdam dengan rendah hati mengemukakan bahwa kerusuhan tersebut cepat teratasi berkat peran asisten operasinya, Letkol TB Silalahi. Kebetulan, pangkat TB itu sudah agak lama tersendat. Mendengar itu, Jenderal Jusuf langsung mengeluarkan perintah yang mengagetkan: Ya sudah, naikkan pangkat Silalahi hari ini juga!

KSAD saat itu, Letjen Poniman, menjelaskan bahwa kenaikan pangkat tidak bisa dilakukan mendadak di tempat seperti itu. Setidaknya, harus dibuatkan dulu surat keputusannya di Jakarta. Setidaknya, harus dicarikan dulu nomor surat keputusan yang akan dibuat. Apa jawaban Jenderal Jusuf? “Tidak usah lah kau cari-cari nomornya. Kalau perlu, pakai nomor mobil saya,” perintah sang Jenderal.

Tentu tidak ada yang berani membantah perintah panglima ABRI. Tapi, ada kesulitan teknis untuk menaikkan pangkat TB saat itu juga. Dari mana bisa mendapatkan tanda pangkat kolonel di kota seperti Makassar yang akan disematkan di pundak TB? Sudah diusahakan dicarikan di toko-toko dan di pasar loak, tapi tidak ditemukan. Akhirnya, memang bisa didapat. Tapi, tanda pangkat itu sudah sangat kusam. Cepat-cepat tanda pangkat itu di-brasso untuk disematkan di pundak TB.

Kelak, peristiwa tersebut menyulitkan karir TB. Terutama setelah panglima ABRI-nya diganti. TB dikira “geng”-nya Jenderal Jusuf. Karirnya terhenti sangat-sangat lama dan penempatannya pun tidak di pusat kekuasaan.

TB sempat frustrasi lagi. Sampai-sampai, saat berjalan pagi dengan istrinya di kompleks Seskoad Bandung, TB mengambil sikap yang dianggap istrinya sangat aneh. Ketika melewati patung Jenderal Gatot Subroto, TB berhenti: menghadap patung, memberi hormat militer dengan sikap sempurna, dan meneriakkan kata-kata berikut ini: “Pak Gatot, saya ini stres berat. Saya sudah mencoba berbuat yang terbaik untuk Angkatan Darat. Tapi, nasib saya terkatung-katung. Mohon petunjuk!”

“Kamu ini sudah miring,” kata istrinya. “Lama-lama kamu bisa gila!” tambah sang istri.

Sangat menarik membaca bagaimana TB berhasil menundukkan dirinya sendiri dari rasa frustrasi. Lalu, berhasil bangkit, mencapai pangkat letnan jenderal, dan bahkan menjadi menteri.

Kelihatannya buku ini berisi cerita tentang TB. Tapi, pada dasarnya, inilah buku tentang tokoh-tokoh militer Indonesia. Lengkap dengan sikap, karakter, dan pola kepemimpinan mereka. Hampir di semua bab TB bercerita tentang pertemuannya dengan tokoh militer. Mulai Try Sutrisno sampai SBY. Masing-masing lengkap dengan gambaran gaya dan sikap kepemimpinan mereka.

Semua itu menggambarkan bahwa faktor kepemimpinan sangat memengaruhi jalannya sejarah. Termasuk sejarah militer. TB, dengan keseniorannya, bercerita tentang tokoh-tokoh tersebut seperti tidak sungkan, tanpa beban dan tidak perlu menutup-nutupinya.

Sekarang ini, pada usianya yang sudah 72 tahun tapi masih gesit seperti saat berumur 60 tahun, guru segala jenderal ini diminta kembali ke medan laga. Kali ini ke arena politik kekuasaan. Tentu kali ini TB tidak bisa membawa tank kavaleri. (*)

Stres Berat, Minta Petunjuk Patung Gatot Subroto

Ceritanya, sewaktu TB harus menghadap Pak Harto menyampaikan masalah yang sangat penting, Wiranto mencegahnya. Pak Harto lagi bad-mood. Tapi, TB ngotot karena masalahnya memang penting. Di ruang kerja Pak Harto itu, TB mencari akal bagaimana membuat Pak Harto tidak lagi murung.

Oleh: DAHLAN ISKAN, Pecinta Buku

Berceritalah TB mengenai kisah kehebatan Pak Harto yang pernah dia dengar dari para jenderal yang pernah mendengarnya. Yakni, mengenai pertempuran Ambarawa. Waktu itu, Pak Harto diperintah Jenderal Gatot Subroto untuk mempertahankan sebuah bukit yang penting. Pak Harto dan pasukannya tidak boleh meninggalkan bukit itu sama sekali. Ketika malam, Belanda membombardir bukit itu habis-habisan, Jenderal Gatot Subroto menangis.

Dia mengira Pak Harto pasti sudah tewas. Demikian juga pasukannya. Pagi itu, Gatot Subroto mengerahkan pasukan menyisir bukit tersebut untuk mencari mayat Pak Harto. Ternyata, Pak Harto masih hidup. Ternyata, Pak Harto, dengan perhitungannya sendiri, tidak menaati perintah atasannya itu. Pak Harto, sebelum malam tiba, sudah meninggalkan bukit tersebut.

Senjata TB itu sangat ampuh. Baru sebentar TB berkisah, Pak Harto sudah menimpali. Bahkan, Pak Harto-lah yang kemudian meneruskan kisah itu dengan semangatnya. Wiranto yang mendengarkan dari ruang sebelah merasa gembira. Maka, setiap melihat Pak Harto bad mood, Wiranto minta agar TB berpura-pura punya urusan dengan Pak Harto.

Hebatnya, TB menyadari, menjadi anak emas itu banyak tidak enaknya. Dan dia belajar banyak dari situ Waktu Rudini diangkat menjadi KSAD, TB yang masih paban diminta menjadi orang nomor dua untuk menghadap. Padahal, mestinya para asisten dulu. Itu menimbulkan kecemburuan yang merugikan dirinya. Apalagi ketika akhirnya tahu TB-lah yang diminta membuatkan konsep tujuh perintah harian KSAD yang baru.

TB juga pernah menjadi anak emas Jenderal M Jusuf. Mulanya dari kunjungan Menhankam/Pangab asli Makassar itu ke Makassar setelah meredanya kerusuhan anti-Tionghoa di sana. Jenderal Jusuf begitu senangnya kerusuhan tersebut berhasil diselesaikan dengan cepat. Karena itu, saat itu juga, di tempat rapat itu juga, Jenderal Jusuf minta pangkat Pangdam Hasanuddin Brigjen Soegiarto dinaikkan menjadi mayor jenderal.

Setelah itu, sang Pangdam dengan rendah hati mengemukakan bahwa kerusuhan tersebut cepat teratasi berkat peran asisten operasinya, Letkol TB Silalahi. Kebetulan, pangkat TB itu sudah agak lama tersendat. Mendengar itu, Jenderal Jusuf langsung mengeluarkan perintah yang mengagetkan: Ya sudah, naikkan pangkat Silalahi hari ini juga!

KSAD saat itu, Letjen Poniman, menjelaskan bahwa kenaikan pangkat tidak bisa dilakukan mendadak di tempat seperti itu. Setidaknya, harus dibuatkan dulu surat keputusannya di Jakarta. Setidaknya, harus dicarikan dulu nomor surat keputusan yang akan dibuat. Apa jawaban Jenderal Jusuf? “Tidak usah lah kau cari-cari nomornya. Kalau perlu, pakai nomor mobil saya,” perintah sang Jenderal.

Tentu tidak ada yang berani membantah perintah panglima ABRI. Tapi, ada kesulitan teknis untuk menaikkan pangkat TB saat itu juga. Dari mana bisa mendapatkan tanda pangkat kolonel di kota seperti Makassar yang akan disematkan di pundak TB? Sudah diusahakan dicarikan di toko-toko dan di pasar loak, tapi tidak ditemukan. Akhirnya, memang bisa didapat. Tapi, tanda pangkat itu sudah sangat kusam. Cepat-cepat tanda pangkat itu di-brasso untuk disematkan di pundak TB.

Kelak, peristiwa tersebut menyulitkan karir TB. Terutama setelah panglima ABRI-nya diganti. TB dikira “geng”-nya Jenderal Jusuf. Karirnya terhenti sangat-sangat lama dan penempatannya pun tidak di pusat kekuasaan.

TB sempat frustrasi lagi. Sampai-sampai, saat berjalan pagi dengan istrinya di kompleks Seskoad Bandung, TB mengambil sikap yang dianggap istrinya sangat aneh. Ketika melewati patung Jenderal Gatot Subroto, TB berhenti: menghadap patung, memberi hormat militer dengan sikap sempurna, dan meneriakkan kata-kata berikut ini: “Pak Gatot, saya ini stres berat. Saya sudah mencoba berbuat yang terbaik untuk Angkatan Darat. Tapi, nasib saya terkatung-katung. Mohon petunjuk!”

“Kamu ini sudah miring,” kata istrinya. “Lama-lama kamu bisa gila!” tambah sang istri.

Sangat menarik membaca bagaimana TB berhasil menundukkan dirinya sendiri dari rasa frustrasi. Lalu, berhasil bangkit, mencapai pangkat letnan jenderal, dan bahkan menjadi menteri.

Kelihatannya buku ini berisi cerita tentang TB. Tapi, pada dasarnya, inilah buku tentang tokoh-tokoh militer Indonesia. Lengkap dengan sikap, karakter, dan pola kepemimpinan mereka. Hampir di semua bab TB bercerita tentang pertemuannya dengan tokoh militer. Mulai Try Sutrisno sampai SBY. Masing-masing lengkap dengan gambaran gaya dan sikap kepemimpinan mereka.

Semua itu menggambarkan bahwa faktor kepemimpinan sangat memengaruhi jalannya sejarah. Termasuk sejarah militer. TB, dengan keseniorannya, bercerita tentang tokoh-tokoh tersebut seperti tidak sungkan, tanpa beban dan tidak perlu menutup-nutupinya.

Sekarang ini, pada usianya yang sudah 72 tahun tapi masih gesit seperti saat berumur 60 tahun, guru segala jenderal ini diminta kembali ke medan laga. Kali ini ke arena politik kekuasaan. Tentu kali ini TB tidak bisa membawa tank kavaleri. (*)

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/