25.6 C
Medan
Thursday, May 16, 2024

AJI: Pers di Indonesia Belum Bebas

FOTO:MIFTAHULHAYAT/JAWA POS
Wapres Jusuf Kalla (kanan) bersama Director General UNESCO Irina Bokova (kiri) meninjau pameran foto “80 Years in 80 Photos : Chronicling Indonesia in Images since 1937” saat pembukaan World Press Freedom Day 2017 di Jakarta Convention Center, Jakarta, Rabu (3/5). Pameran foto jurnalistik tersebut bercerita tentang perjalanan pers Indonesia selama 80 tahun.

Wakil Presiden Jusuf Kalla menuturkan semua pekerjaan pasti punya risiko yang harus dihadapi. Termasuk potensi kekerasan pada para jurnalis. Salah satu penyebabnya adalah ada jurnalis yang membuat berita tapi lebih mengarah sebagai fitnah.

”Kalau anda menulis hangat dengan fitnah pasti orang marah juga kan,” ujar dia usai membuka World Press Freedom 2017 di JCC kemarin (3/5).

Menurut JK, orang akan respek dengan berita yang ditulis bila disertai dengan fakta-fakta objektif yang didukung bukti yang lebih nyata. Bila melanggar ketentuan itu akan membuat pembaca atau masyarakat marah. ”Jadi ada hak anda bebas tapi kewajiban anda menjaga objektifitas,” tambah dia.

Meskipun begitu, dia juga berharap media tetap menjadi mitra yang kritis pada kebijakan-kebijakan pemerintah. Sehingga arah kemajuan negara bisa tetap terus terjaga dengan baik.

”Negara tanpa kritik, negara tanpa pandangan-pandangan kritis tidak juga dapat menjalankan misi kenegaraannya, pemerintahannya yang baik dan adil,”  imbuh JK. Dia pun menjamin tidak ada intervensi pemerintah kepada media. Tapi, dia berharap media menjaga dirinya sendiri dengan tetap objektif. ”Sehingga menjaga keutuhan masyarakat. Itu harapan kita smua,” jelas dia.

Menteri Komunikasi dan Informatika Rudiantara menambahkan perlu dibedakan perlakuan antara media mainstream dengan media sosial. Di media sosial aturan yang dipakai adalah undang-undang informasi dan transaksi elektronik. Sedangkan untuk media mainstream menggunakan undang-undang 40/1999 tentang Pers.

”Di Indonesia yang tidak ada PP (peraturan pemerintah) dan tidak ada permen (peraturan menteri). Artinya tidak ada intervensi pemerintah terhadap landscape pers Indonesia,” tegas dia. (and/jun/jpg)

FOTO:MIFTAHULHAYAT/JAWA POS
Wapres Jusuf Kalla (kanan) bersama Director General UNESCO Irina Bokova (kiri) meninjau pameran foto “80 Years in 80 Photos : Chronicling Indonesia in Images since 1937” saat pembukaan World Press Freedom Day 2017 di Jakarta Convention Center, Jakarta, Rabu (3/5). Pameran foto jurnalistik tersebut bercerita tentang perjalanan pers Indonesia selama 80 tahun.

Wakil Presiden Jusuf Kalla menuturkan semua pekerjaan pasti punya risiko yang harus dihadapi. Termasuk potensi kekerasan pada para jurnalis. Salah satu penyebabnya adalah ada jurnalis yang membuat berita tapi lebih mengarah sebagai fitnah.

”Kalau anda menulis hangat dengan fitnah pasti orang marah juga kan,” ujar dia usai membuka World Press Freedom 2017 di JCC kemarin (3/5).

Menurut JK, orang akan respek dengan berita yang ditulis bila disertai dengan fakta-fakta objektif yang didukung bukti yang lebih nyata. Bila melanggar ketentuan itu akan membuat pembaca atau masyarakat marah. ”Jadi ada hak anda bebas tapi kewajiban anda menjaga objektifitas,” tambah dia.

Meskipun begitu, dia juga berharap media tetap menjadi mitra yang kritis pada kebijakan-kebijakan pemerintah. Sehingga arah kemajuan negara bisa tetap terus terjaga dengan baik.

”Negara tanpa kritik, negara tanpa pandangan-pandangan kritis tidak juga dapat menjalankan misi kenegaraannya, pemerintahannya yang baik dan adil,”  imbuh JK. Dia pun menjamin tidak ada intervensi pemerintah kepada media. Tapi, dia berharap media menjaga dirinya sendiri dengan tetap objektif. ”Sehingga menjaga keutuhan masyarakat. Itu harapan kita smua,” jelas dia.

Menteri Komunikasi dan Informatika Rudiantara menambahkan perlu dibedakan perlakuan antara media mainstream dengan media sosial. Di media sosial aturan yang dipakai adalah undang-undang informasi dan transaksi elektronik. Sedangkan untuk media mainstream menggunakan undang-undang 40/1999 tentang Pers.

”Di Indonesia yang tidak ada PP (peraturan pemerintah) dan tidak ada permen (peraturan menteri). Artinya tidak ada intervensi pemerintah terhadap landscape pers Indonesia,” tegas dia. (and/jun/jpg)

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/