26.7 C
Medan
Monday, June 17, 2024

Minta Komite TPPU Melapor Setiap Masa Sidang, Komisi III Dukung Pembentukan Satgas

JAKARTA, SUMUTPOS.CO – Komisi III DPR mendukung langkah Komite Koordinasi Nasional Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang atau Komite TPPU membentuk tim gabungan atau satuan tugas (satgas). Nantinya Komite TPPU harus melaporkan setiap perkembangan atas tindak lanjut transaksi mencurigakan Rp 349 triliun. Ketua Komisi III DPR Bambang Wuryanto menyampaikan hal itu dalam rapat kerja di DPR, kemarin sore (11/4).

Legislator yang biasa dipanggil Bambang Pacul itu menegaskan, Komisi III DPR mendukung penuh rencana Komite TPPU yang sudah disampaikan kepada publik sejak dua hari lalu (10/4). “Saya kira Komisi III mendukung penuh dibuatkan satgas,” imbuhnya.

Karena itu, pihaknya mempersilakan Men-teri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD sebagai ketua Komite TPPU membentuk satgas tersebut.

Dengan begitu, satgas bisa segera bekerja untuk melakukan supervisi atas Laporan Hasil Analisis (LHA) dan Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) yang belum selesai ditindaklanjuti. Bambang ingin supervisi oleh satgas itu berlangsung sampai tuntas. “Sampai 300 laporan PPATK itu selesai,” tegasnya. Dia pun meminta satgas itu melapor secara berkala kepada Komisi III DPR. Laporan bisa disampaikan dalam setiap masa sidang.

Hal itu dinilai penting agar Komisi III DPR mengetahui progres atas kerja-kerja satgas yang dibentuk oleh Komite TPPU. “Kami punya masa sidang lima kali dalam satu tahun. Jadi, nanti progresnya kami ingin lihat,” jelas dia. “Misalnya laporan kesekian sudah selesai, follow up-nya Kementerian Keuangan seperti ini, selesai. Semua itu nanti,” tambah dia. Dengan begitu pendalaman atas transaksi mencurigakan Rp 349 triliun benar-benar terbuka.

Dalam rapat kemarin, Mahfud kembali menegaskan bahwa tidak ada perbedaan data antara Kemenko Polhukam dengan Kementerian Keuangan. Sebab, sumber data transaksi mencurigakan dengan nilai agregat Rp 349 triliun itu sama. Yakni laporan dari Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK). “Tidak terdapat perbedaan dikarenakan memang berasal dari sumber yang sama,” jelas Mahfud.

Pejabat asal Madura itu pun menjelaskan bahwa Komite TPPU telah memutuskan untuk membentuk satgas. Transaksi mencurigakan dengan nilai agregat Rp 189 triliun bakal menjadi prioritas mereka untuk dilakukan case building. “Komite TPPU berkomitmen mengawal langkah hukum yang akan dilakukan Kementerian Keuangan terhadap dugaan TPPU dan hal-hal lain yang belum masuk di dalam proses hukum,” terang Mahfud.

Pada kesempatan yang sama, Menkeu Sri Mulyani Indrawati memastikan tak ada perbedaan data antara yang dimilikinya dengan data milik Menkopolhukam Mahfud MD. Sebab, sumber data yang digunakan berasal dari PPATK. “Tidak ada perbedaan data an-tara Menko Polhukam dan Menteri Keuangan terkait transaksi agregat Rp349 triliun,” katanya.

Ani menekankan, nilai transaksi Rp349 triliun itu adalah penghitungan agregat. Artinya, angka itu adalah jumlah transaksi debit-kredit dan keluar-masuk. Dalam perspektif akuntansi, hal itu biasa disebut double triple accounting. “Transaksi agregat ini ada transaksi yang debit kredit dan keluar masuk. Di dalam melihat akuntansinya ini disebut double triple accounting, jadi ini dijumlahkan menjadi Rp349 triliun,” imbuh dia.

Dia menegaskan, Kemenkeu telah me-nindak sejumlah pegawai ASN yang terlibat dalam dugaan TPPU. Penindakan pegawai Kemenkeu itu sesuai dengan aturan yang berlaku.

Wakil Ketua Komisi III DPR RI Ahmad Sahroni yang memimpin raker menjelaskan, ada empat poin digelarnya rapat tersebut. Hal itu berdasar pada raker yang telah dilakukan 21 Maret lalu dengan Kepala PPATK. Yakni, pertama, nominal Rp 349 triliun merupakan indikasi TPPU berdasarkan hasil analisis dan hasil pemeriksaan yang dilakukan oleh PPATK.

‘’Nominal Rp 349 triliun tersebut bukan tindak pidana yang dilakukan oleh/di Kementerian Keuangan. Tetapi terkait dengan tupoksi Kementerian Keuangan sebagai penyidik Tindak Pidana Asal yang kebanyakan kasusnya berasal dari kasus ekspor impor dan kasus perpajakan,’’ jelas Sahroni.

Kedua, LHA terkait dengan oknum dan tugas dan fungsinya, sehubungan dengan kasus ekspor impor dan perpajakan dan diketahui oknumnya. Ketiga, Terdapat LHA terkait Tindak Pidana Asal seperti kepabeanan dan perpajakan yang tidak diketahui oknumnya sehingga sulit untuk diartikan bahwa TPPU tersebut terjadi di Kemenkeu.

Keempat, berdasarkan LHA dan LHP yang disampaikan PPATK ke Kemenkeu, sebesar 59,62 persen telah ditindaklanjuti atas 260 kasus. Raker kemudian memutuskan bahwa rapat akan dilanjutkan pada kemarin (11/4).

Diketahui, Rp275 triliun adalah jumlah transaksi dari 200 surat yang dilayangkan PPATK ke Kemenkeu, sedangkan nominal Rp74 triliun adalah jumlah transaksi dari 100 surat yang dilayangkan PPAT ke APH, sehingga total transaksi janggal Rp349 triliun. (jpc/ila)

Anggota Komisi III DPR RI Supriansa mempertanyakan mengapa persoalan transaksi yang terjadi sejak 2009-2023 itu baru terungkap sekarang. Bahkan dia menyayangkan perihal belum ada Aparat Penegak Hukum (APH) yang bertindak. “Siapakah yang terlibat di angka-angka yang besar ini, sehingga sulit aparat penegak hukum kita menindaklanjuti. Siapa yang mesti bertanggung jawab pada semua ini. Kenapa berlarut-larut dari 2009 sampai dengan 2022, bahkan 2023. Jumlah yang besar ini, sudah berganti kepala PPATK berkali-kali, berarti barang ini sudah lama, kenapa dibiarkan ini,” jelas Supriansa.

Politisi dari Fraksi Partai Golkar itu mempertanyakan peran aparat penegak hukum dalam persoalan itu. Dia pun mengapresiasi Mahfud MD yang berani mengungkap persoalan ke publik, sehingga ada upaya untuk menjernihkan skandal tersebut. “Terimakasih karena ada Prof Mahfud yang berani mengungkap ini, sehingga ini bisa terbuka. Ada angka yang begitu besar Rp 275 triliun rupiah yang tidak diproses, yang tidak ditindaklanjuti dan kita diam-diam saja. Angka Rp 275 triliun ini, jika dibagi masyarakat miskin Indonesia mereka bisa menjadi pengusaha UMK yang baru. Dari pada dibiarkan dicuri digelapkan, atau tidak dipertanggungjawabkan,’’ tuturnya.

Terkait dengan satgas yang dibentuk oleh Komite TPPU, dia menyarankan agar satgas tersebut melibatkan aparat penegak hukum, sehingga proses penyidikan bisa langsung berjalan. Diketahui, nominal Rp275 triliun adalah jumlah transaksi dari 200 surat yang dilayangkan PPATK ke Kemenkeu, sedangkan nominal Rp74 triliun adalah jumlah transaksi dari 100 surat yang dilayangkan PPAT ke APH, sehingga total keseluruhan transaksi janggal sebanyak Rp349 triliun.

Dari 200 surat tersebut, tindak lanjut berupa selesai follow-up sebanyak 186 surat, 193 pegawai yang mendapatkan hukuman disiplin, dan hanya 9 surat yang ditindaklanjuti APH. (dee/syn/jpg)

JAKARTA, SUMUTPOS.CO – Komisi III DPR mendukung langkah Komite Koordinasi Nasional Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang atau Komite TPPU membentuk tim gabungan atau satuan tugas (satgas). Nantinya Komite TPPU harus melaporkan setiap perkembangan atas tindak lanjut transaksi mencurigakan Rp 349 triliun. Ketua Komisi III DPR Bambang Wuryanto menyampaikan hal itu dalam rapat kerja di DPR, kemarin sore (11/4).

Legislator yang biasa dipanggil Bambang Pacul itu menegaskan, Komisi III DPR mendukung penuh rencana Komite TPPU yang sudah disampaikan kepada publik sejak dua hari lalu (10/4). “Saya kira Komisi III mendukung penuh dibuatkan satgas,” imbuhnya.

Karena itu, pihaknya mempersilakan Men-teri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD sebagai ketua Komite TPPU membentuk satgas tersebut.

Dengan begitu, satgas bisa segera bekerja untuk melakukan supervisi atas Laporan Hasil Analisis (LHA) dan Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) yang belum selesai ditindaklanjuti. Bambang ingin supervisi oleh satgas itu berlangsung sampai tuntas. “Sampai 300 laporan PPATK itu selesai,” tegasnya. Dia pun meminta satgas itu melapor secara berkala kepada Komisi III DPR. Laporan bisa disampaikan dalam setiap masa sidang.

Hal itu dinilai penting agar Komisi III DPR mengetahui progres atas kerja-kerja satgas yang dibentuk oleh Komite TPPU. “Kami punya masa sidang lima kali dalam satu tahun. Jadi, nanti progresnya kami ingin lihat,” jelas dia. “Misalnya laporan kesekian sudah selesai, follow up-nya Kementerian Keuangan seperti ini, selesai. Semua itu nanti,” tambah dia. Dengan begitu pendalaman atas transaksi mencurigakan Rp 349 triliun benar-benar terbuka.

Dalam rapat kemarin, Mahfud kembali menegaskan bahwa tidak ada perbedaan data antara Kemenko Polhukam dengan Kementerian Keuangan. Sebab, sumber data transaksi mencurigakan dengan nilai agregat Rp 349 triliun itu sama. Yakni laporan dari Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK). “Tidak terdapat perbedaan dikarenakan memang berasal dari sumber yang sama,” jelas Mahfud.

Pejabat asal Madura itu pun menjelaskan bahwa Komite TPPU telah memutuskan untuk membentuk satgas. Transaksi mencurigakan dengan nilai agregat Rp 189 triliun bakal menjadi prioritas mereka untuk dilakukan case building. “Komite TPPU berkomitmen mengawal langkah hukum yang akan dilakukan Kementerian Keuangan terhadap dugaan TPPU dan hal-hal lain yang belum masuk di dalam proses hukum,” terang Mahfud.

Pada kesempatan yang sama, Menkeu Sri Mulyani Indrawati memastikan tak ada perbedaan data antara yang dimilikinya dengan data milik Menkopolhukam Mahfud MD. Sebab, sumber data yang digunakan berasal dari PPATK. “Tidak ada perbedaan data an-tara Menko Polhukam dan Menteri Keuangan terkait transaksi agregat Rp349 triliun,” katanya.

Ani menekankan, nilai transaksi Rp349 triliun itu adalah penghitungan agregat. Artinya, angka itu adalah jumlah transaksi debit-kredit dan keluar-masuk. Dalam perspektif akuntansi, hal itu biasa disebut double triple accounting. “Transaksi agregat ini ada transaksi yang debit kredit dan keluar masuk. Di dalam melihat akuntansinya ini disebut double triple accounting, jadi ini dijumlahkan menjadi Rp349 triliun,” imbuh dia.

Dia menegaskan, Kemenkeu telah me-nindak sejumlah pegawai ASN yang terlibat dalam dugaan TPPU. Penindakan pegawai Kemenkeu itu sesuai dengan aturan yang berlaku.

Wakil Ketua Komisi III DPR RI Ahmad Sahroni yang memimpin raker menjelaskan, ada empat poin digelarnya rapat tersebut. Hal itu berdasar pada raker yang telah dilakukan 21 Maret lalu dengan Kepala PPATK. Yakni, pertama, nominal Rp 349 triliun merupakan indikasi TPPU berdasarkan hasil analisis dan hasil pemeriksaan yang dilakukan oleh PPATK.

‘’Nominal Rp 349 triliun tersebut bukan tindak pidana yang dilakukan oleh/di Kementerian Keuangan. Tetapi terkait dengan tupoksi Kementerian Keuangan sebagai penyidik Tindak Pidana Asal yang kebanyakan kasusnya berasal dari kasus ekspor impor dan kasus perpajakan,’’ jelas Sahroni.

Kedua, LHA terkait dengan oknum dan tugas dan fungsinya, sehubungan dengan kasus ekspor impor dan perpajakan dan diketahui oknumnya. Ketiga, Terdapat LHA terkait Tindak Pidana Asal seperti kepabeanan dan perpajakan yang tidak diketahui oknumnya sehingga sulit untuk diartikan bahwa TPPU tersebut terjadi di Kemenkeu.

Keempat, berdasarkan LHA dan LHP yang disampaikan PPATK ke Kemenkeu, sebesar 59,62 persen telah ditindaklanjuti atas 260 kasus. Raker kemudian memutuskan bahwa rapat akan dilanjutkan pada kemarin (11/4).

Diketahui, Rp275 triliun adalah jumlah transaksi dari 200 surat yang dilayangkan PPATK ke Kemenkeu, sedangkan nominal Rp74 triliun adalah jumlah transaksi dari 100 surat yang dilayangkan PPAT ke APH, sehingga total transaksi janggal Rp349 triliun. (jpc/ila)

Anggota Komisi III DPR RI Supriansa mempertanyakan mengapa persoalan transaksi yang terjadi sejak 2009-2023 itu baru terungkap sekarang. Bahkan dia menyayangkan perihal belum ada Aparat Penegak Hukum (APH) yang bertindak. “Siapakah yang terlibat di angka-angka yang besar ini, sehingga sulit aparat penegak hukum kita menindaklanjuti. Siapa yang mesti bertanggung jawab pada semua ini. Kenapa berlarut-larut dari 2009 sampai dengan 2022, bahkan 2023. Jumlah yang besar ini, sudah berganti kepala PPATK berkali-kali, berarti barang ini sudah lama, kenapa dibiarkan ini,” jelas Supriansa.

Politisi dari Fraksi Partai Golkar itu mempertanyakan peran aparat penegak hukum dalam persoalan itu. Dia pun mengapresiasi Mahfud MD yang berani mengungkap persoalan ke publik, sehingga ada upaya untuk menjernihkan skandal tersebut. “Terimakasih karena ada Prof Mahfud yang berani mengungkap ini, sehingga ini bisa terbuka. Ada angka yang begitu besar Rp 275 triliun rupiah yang tidak diproses, yang tidak ditindaklanjuti dan kita diam-diam saja. Angka Rp 275 triliun ini, jika dibagi masyarakat miskin Indonesia mereka bisa menjadi pengusaha UMK yang baru. Dari pada dibiarkan dicuri digelapkan, atau tidak dipertanggungjawabkan,’’ tuturnya.

Terkait dengan satgas yang dibentuk oleh Komite TPPU, dia menyarankan agar satgas tersebut melibatkan aparat penegak hukum, sehingga proses penyidikan bisa langsung berjalan. Diketahui, nominal Rp275 triliun adalah jumlah transaksi dari 200 surat yang dilayangkan PPATK ke Kemenkeu, sedangkan nominal Rp74 triliun adalah jumlah transaksi dari 100 surat yang dilayangkan PPAT ke APH, sehingga total keseluruhan transaksi janggal sebanyak Rp349 triliun.

Dari 200 surat tersebut, tindak lanjut berupa selesai follow-up sebanyak 186 surat, 193 pegawai yang mendapatkan hukuman disiplin, dan hanya 9 surat yang ditindaklanjuti APH. (dee/syn/jpg)

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/