30 C
Medan
Thursday, May 16, 2024

Dana Aspirasi Tabrak Konstitusi

Gedung DPR RI
Gedung DPR RI

SUMUTPOS.CO- Usulan Badan Anggaran DPR untuk memasukkan dana aspirasi di APBN 2016 terus menuai kecaman. Dana aspirasi daerah pemilihan yang diistilahkan Usulan Program Pembangunan Daerah Pemilihan (UP2DP) sebesar Rp20 miliar per anggota per tahun itu terindikasi menabrak konstitusi. Sebabnya, DPR bukan badan yang diberi kewenangan oleh undang-undang untuk mengelola anggaran.

“MENURUT hemat saya, alokasi Rp20 miliar untuk setiap anggota DPR itu melanggar konstitusi, karena DPR tidak memiliki kewenangan untuk mengelola anggaran,” ujar pakar hukum tata negara, Johanes Tuba Helan, Kamis (11/6).

Ia mengatakan peran dan fungsi dewan adalah melakukan pengawasan dan kontrol terhadap pemerintah dalam menjalankan roda pemerintahan dan pembangunan. Artinya, meskipun dana aspirasi tersebut sudah diakomodasi dalam UU 17 Tahun 2014 tentang MD3, tetapi secara hukum tetap tidak dibenarkan.

“Kalau mengunakan acuan MD3, menurut saya terlalu umum karena tidak mengatur teknis pengelolaan anggaran oleh anggota parlemen kita,” ujarnya.

Johanes menambahkan, kalaupun dana aspirasi dititipkan pada Kementerian atau lembaga lainnya, tetapi tetap akan menimbulkan kerancuan dalam proses pengawasan dan pelaksanaan program di lapangan.

Menurutnya, kementerian atau lembaga terkait tidak mungkin diberi tugas, dan tanggung jawab untuk melakukan pengawasan secara efektif di lapangan, karena harus berkonsentrasi pada program di kementerian atau lembaga masing-masing.

“Kementerian pasti akan berkonsentrasi menjalankan program-program yang diluncurkannya, karena ada penilaian kinerja dari presiden. Jadi tidak mungkin kementerian turun mengawasi programnya DPR,” tegasnya.

Karena itu, sebaiknya DPR mempertimbangkan kembali dana aspirasi yang sudah diusulkan dalam RAPBN 2016, jika tidak ingin terseret dalam permasalahan hukum dikemudian hari.

Direktur Institute for Policy Reform (IPR) Riant Nugroho menilai upaya DPR menyelipkan alokasi dana aspirasi untuk daerah pemilihan dalam APBN 2016 menyalahi aturan dan berpotensi menimbulkan korupsi berjamaah.

“Kalau itu diberikan bisa terjadi kerusakan yang parah dan melembaga atau istilahnya institutional hazard. Bisa terjadi korupsi berjamaah karena mengambil hak (pengelolaan anggaran) yang bukan tupoksinya,” ujarnya,

Dia mencermati ada upaya menyelinapkan hasrat anggota DPR untuk membelanjakan sebagian dari APBN tahun depan. Namun, dia meragukan pemerintahan Joko Widodo bisa menolak permintaan para politisi Senayan tersebut mengingat hubungan keduanya kurang harmonis.

“Kalau ada penentangan dari pemerintah itu sudah benar, tapi kemungkinan pemrintahan Jokowi akan memberikan itu, ditawar jadi Rp 10-15 miliar per anggota, untuk istilahnya menyuap legislatif,” tuturnya.

Pakar Kebijakan Publik Universitas Indonesia ini menganggap praktik semacam ini sebagai bentuk kenakalan politik yang tidak lagi lazim dilakukan di negara-negara dengan tingkat kedewasaan demokrasinya tinggi. Modus-modus menyelinapkan anggaran seperti ini biasanya menimbulkan wilayah adu-abu yang bisa dimainkan oleh oknum.

“Fungsi dari DPR  kan tiga, fungsi budgeting, fungsi pembuat undang-undang, dan fungsi pengawasan. Tidak diperbolehkan secara akademik maupun praktik, legislatif melakukan fungsi yang sifatnya eksekusi proyek,” tuturnya.

Terkait itu, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyarankan DPR untuk  mempertimbangkan pengajuan dana aspirasi yang jumlahnya terbilang fantastis mencapai Rp11,2 Triliun tersebut. KPK menilai setiap pengeluaran dana yang menggunakan duit negara sepatutnya harus terlebih dulu menjamin kepentingan rakyat.

“Dalam hal dana aspirasi, itu tidak memberikan manfaaat yang signifikan pada masyarakat luas yang terwakili di DPR, sebaiknya dana ini dipertimbangkan,” ujar pelaksana tugas Wakil Ketua KPK Indriyanto Seno Adji, Kamis (11/6).

Indriyanto menegaskan DPR harus bisa menjelaskan dengan transparan mengenai tujuan dari dana aspirasi tersebut. Hal itu diperlukan agar DPR bisa menjamin tidak adanya penyelewengan anggaran dari dana yang dikucurkan menggunakan duit negara.

“Jangan sampai dana aspirasi memiliki potensi dan menjadi celah terjadinya korupsi,” ujar dia.

Sepakat dengan banyak pihak yang menolak, anggota Komisi II DPR Budiman Sudjatmiko menyatakan ikut menolak usulan dana aspirasi yang dirancang oleh Badan Anggaran DPR.

Penolakan pertama, kata dia, anggaran Rp20 miliar sebagai dana aspirasi yang dialokasikan melalui anggota DPR RI dan ditujukan untuk pembangunan daerah pemilihan itu tidak memiliki alasan yang kuat.

“Sebab, fungsi DPR yakni legislasi adalah pengawasan. Mengenai anggaran, tidak perlu menjangkau sejauh itu, di mana anggota DPR menjadi semacam saluran anggaran di daerah pemilihan. Sementara di sisi lain, penggunaan anggaran yang selama ini ada (tunjangan reses dan sebagainya) belum dapat dimaksimalkan untuk menyerap aspirasi masyarakat di daerah pemilihan,” ujar Budiman, Kamis (11/6).

Alasan kedua, ungkap Budiman, jika dana aspirasi itu direalisasikan berarti kerja angggota DPR akan diukur dari bagaimana dana aspirasi tersebut disalurkan. Sebab, seorang anggota DPR hanya fokus bagaimana dana aspirasi ini tersalurkan. Karena itu, akan ada faktor-faktor subjektif di dalamnya, yakni menyangkut basis pemilihan dan lain sebagainya.

“Sementara sejatinya ketika sudah menjadi anggota DPR, semestinya anggota yang bersangkutan sudah terlepas dari sekat-sekat subjektif tersebut dan bekerja untuk kepentingan masyarakat yang lebih luas,” jelasnya.

Kemudian yang ketiga, politikus dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) itu menyatakan masih percaya bahwa masih banyak anggota DPR yang memiliki integritas. Bekerja untuk menghasilkan undang-undang yang baik bagi masyarakat tanpa harus dibekali alokasi anggaran sebesar Rp20 miliar.

“Saya percaya bahwa masih banyak anggota DPR yang bekerja dengan kesungguhan hati untuk kepentingan masyarakat. Sebab itu, anggota DPR jangan dikecilkan dengan urusan Rp20 miliar semata. Namun lebih dari itu, adalah bagaimana menghasilkan UU yang baik dan bermanfaat bagi masyarakat secara luas demi kelangsungan bangsa dan negara,” ungkapnya.

Keempat, jelas Budiman, dengan adanya dan alokasi Rp20 miliar maka anggota DPR terkesan mengambil kerja-kerja eksekutif. Jika kemudian alasannya adalah untuk kepentingan daerah pemilihan, ia menegaskan, bukankah di daerah pemilihan sudah terdapat pemerintah daerah yang bekerja untuk mengembangkan wilayah masing-masing.

“Belum lagi dikarenakan daerah pemilihan yang beragam. Di beberapa daerah, ada yang dua kabupaten/kota. Bahkan ada yang sampai belasan kabupaten/kota dengan beragam persoalan dan kesulitan sendiri-sendiri,” katanya.

Melalui keempat alasan itu, ungkap Budiman, cukup untuk menegaskan bahwa dana Rp20 miliar tersebut sudah melecehkan nurani dan akal sehat. Baik untuk anggota DPR maupun untuk rakyat.

“Ini akan melecehkan rakyat, karena kan kebutuhan rakyat yang beragam itu bukanlah disahuti dengan Rp20 miliar, tetapi dengan kerja-kerja yang baik dan mampu menjawab kebutuhan masyarakat dalam jangka panjang,” pungkasnya. (jpnn/bbs/val)

Gedung DPR RI
Gedung DPR RI

SUMUTPOS.CO- Usulan Badan Anggaran DPR untuk memasukkan dana aspirasi di APBN 2016 terus menuai kecaman. Dana aspirasi daerah pemilihan yang diistilahkan Usulan Program Pembangunan Daerah Pemilihan (UP2DP) sebesar Rp20 miliar per anggota per tahun itu terindikasi menabrak konstitusi. Sebabnya, DPR bukan badan yang diberi kewenangan oleh undang-undang untuk mengelola anggaran.

“MENURUT hemat saya, alokasi Rp20 miliar untuk setiap anggota DPR itu melanggar konstitusi, karena DPR tidak memiliki kewenangan untuk mengelola anggaran,” ujar pakar hukum tata negara, Johanes Tuba Helan, Kamis (11/6).

Ia mengatakan peran dan fungsi dewan adalah melakukan pengawasan dan kontrol terhadap pemerintah dalam menjalankan roda pemerintahan dan pembangunan. Artinya, meskipun dana aspirasi tersebut sudah diakomodasi dalam UU 17 Tahun 2014 tentang MD3, tetapi secara hukum tetap tidak dibenarkan.

“Kalau mengunakan acuan MD3, menurut saya terlalu umum karena tidak mengatur teknis pengelolaan anggaran oleh anggota parlemen kita,” ujarnya.

Johanes menambahkan, kalaupun dana aspirasi dititipkan pada Kementerian atau lembaga lainnya, tetapi tetap akan menimbulkan kerancuan dalam proses pengawasan dan pelaksanaan program di lapangan.

Menurutnya, kementerian atau lembaga terkait tidak mungkin diberi tugas, dan tanggung jawab untuk melakukan pengawasan secara efektif di lapangan, karena harus berkonsentrasi pada program di kementerian atau lembaga masing-masing.

“Kementerian pasti akan berkonsentrasi menjalankan program-program yang diluncurkannya, karena ada penilaian kinerja dari presiden. Jadi tidak mungkin kementerian turun mengawasi programnya DPR,” tegasnya.

Karena itu, sebaiknya DPR mempertimbangkan kembali dana aspirasi yang sudah diusulkan dalam RAPBN 2016, jika tidak ingin terseret dalam permasalahan hukum dikemudian hari.

Direktur Institute for Policy Reform (IPR) Riant Nugroho menilai upaya DPR menyelipkan alokasi dana aspirasi untuk daerah pemilihan dalam APBN 2016 menyalahi aturan dan berpotensi menimbulkan korupsi berjamaah.

“Kalau itu diberikan bisa terjadi kerusakan yang parah dan melembaga atau istilahnya institutional hazard. Bisa terjadi korupsi berjamaah karena mengambil hak (pengelolaan anggaran) yang bukan tupoksinya,” ujarnya,

Dia mencermati ada upaya menyelinapkan hasrat anggota DPR untuk membelanjakan sebagian dari APBN tahun depan. Namun, dia meragukan pemerintahan Joko Widodo bisa menolak permintaan para politisi Senayan tersebut mengingat hubungan keduanya kurang harmonis.

“Kalau ada penentangan dari pemerintah itu sudah benar, tapi kemungkinan pemrintahan Jokowi akan memberikan itu, ditawar jadi Rp 10-15 miliar per anggota, untuk istilahnya menyuap legislatif,” tuturnya.

Pakar Kebijakan Publik Universitas Indonesia ini menganggap praktik semacam ini sebagai bentuk kenakalan politik yang tidak lagi lazim dilakukan di negara-negara dengan tingkat kedewasaan demokrasinya tinggi. Modus-modus menyelinapkan anggaran seperti ini biasanya menimbulkan wilayah adu-abu yang bisa dimainkan oleh oknum.

“Fungsi dari DPR  kan tiga, fungsi budgeting, fungsi pembuat undang-undang, dan fungsi pengawasan. Tidak diperbolehkan secara akademik maupun praktik, legislatif melakukan fungsi yang sifatnya eksekusi proyek,” tuturnya.

Terkait itu, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyarankan DPR untuk  mempertimbangkan pengajuan dana aspirasi yang jumlahnya terbilang fantastis mencapai Rp11,2 Triliun tersebut. KPK menilai setiap pengeluaran dana yang menggunakan duit negara sepatutnya harus terlebih dulu menjamin kepentingan rakyat.

“Dalam hal dana aspirasi, itu tidak memberikan manfaaat yang signifikan pada masyarakat luas yang terwakili di DPR, sebaiknya dana ini dipertimbangkan,” ujar pelaksana tugas Wakil Ketua KPK Indriyanto Seno Adji, Kamis (11/6).

Indriyanto menegaskan DPR harus bisa menjelaskan dengan transparan mengenai tujuan dari dana aspirasi tersebut. Hal itu diperlukan agar DPR bisa menjamin tidak adanya penyelewengan anggaran dari dana yang dikucurkan menggunakan duit negara.

“Jangan sampai dana aspirasi memiliki potensi dan menjadi celah terjadinya korupsi,” ujar dia.

Sepakat dengan banyak pihak yang menolak, anggota Komisi II DPR Budiman Sudjatmiko menyatakan ikut menolak usulan dana aspirasi yang dirancang oleh Badan Anggaran DPR.

Penolakan pertama, kata dia, anggaran Rp20 miliar sebagai dana aspirasi yang dialokasikan melalui anggota DPR RI dan ditujukan untuk pembangunan daerah pemilihan itu tidak memiliki alasan yang kuat.

“Sebab, fungsi DPR yakni legislasi adalah pengawasan. Mengenai anggaran, tidak perlu menjangkau sejauh itu, di mana anggota DPR menjadi semacam saluran anggaran di daerah pemilihan. Sementara di sisi lain, penggunaan anggaran yang selama ini ada (tunjangan reses dan sebagainya) belum dapat dimaksimalkan untuk menyerap aspirasi masyarakat di daerah pemilihan,” ujar Budiman, Kamis (11/6).

Alasan kedua, ungkap Budiman, jika dana aspirasi itu direalisasikan berarti kerja angggota DPR akan diukur dari bagaimana dana aspirasi tersebut disalurkan. Sebab, seorang anggota DPR hanya fokus bagaimana dana aspirasi ini tersalurkan. Karena itu, akan ada faktor-faktor subjektif di dalamnya, yakni menyangkut basis pemilihan dan lain sebagainya.

“Sementara sejatinya ketika sudah menjadi anggota DPR, semestinya anggota yang bersangkutan sudah terlepas dari sekat-sekat subjektif tersebut dan bekerja untuk kepentingan masyarakat yang lebih luas,” jelasnya.

Kemudian yang ketiga, politikus dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) itu menyatakan masih percaya bahwa masih banyak anggota DPR yang memiliki integritas. Bekerja untuk menghasilkan undang-undang yang baik bagi masyarakat tanpa harus dibekali alokasi anggaran sebesar Rp20 miliar.

“Saya percaya bahwa masih banyak anggota DPR yang bekerja dengan kesungguhan hati untuk kepentingan masyarakat. Sebab itu, anggota DPR jangan dikecilkan dengan urusan Rp20 miliar semata. Namun lebih dari itu, adalah bagaimana menghasilkan UU yang baik dan bermanfaat bagi masyarakat secara luas demi kelangsungan bangsa dan negara,” ungkapnya.

Keempat, jelas Budiman, dengan adanya dan alokasi Rp20 miliar maka anggota DPR terkesan mengambil kerja-kerja eksekutif. Jika kemudian alasannya adalah untuk kepentingan daerah pemilihan, ia menegaskan, bukankah di daerah pemilihan sudah terdapat pemerintah daerah yang bekerja untuk mengembangkan wilayah masing-masing.

“Belum lagi dikarenakan daerah pemilihan yang beragam. Di beberapa daerah, ada yang dua kabupaten/kota. Bahkan ada yang sampai belasan kabupaten/kota dengan beragam persoalan dan kesulitan sendiri-sendiri,” katanya.

Melalui keempat alasan itu, ungkap Budiman, cukup untuk menegaskan bahwa dana Rp20 miliar tersebut sudah melecehkan nurani dan akal sehat. Baik untuk anggota DPR maupun untuk rakyat.

“Ini akan melecehkan rakyat, karena kan kebutuhan rakyat yang beragam itu bukanlah disahuti dengan Rp20 miliar, tetapi dengan kerja-kerja yang baik dan mampu menjawab kebutuhan masyarakat dalam jangka panjang,” pungkasnya. (jpnn/bbs/val)

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/