27.8 C
Medan
Monday, May 20, 2024

Sumut Bakal Punya 2 Wakil Gubernur

RUU-Pilkada-ilustrasi
RUU-Pilkada-ilustrasi

JAKARTA, SUMUTPOS.CO – Para kandidat calon kepala daerah yang akan bertarung dalam pilkada sebaiknya tidak terburu-buru menentukan pasangan sebagai wakilnya. Pasalnya, di dalam Rancangan Undang-undang (RUU) pilkada, dengan mekanisme pilkada langsung, hanya untuk memilih gubernur, bupati, dan walikota.

Untuk wakil gubernur akan diangkat oleh presiden berdasarkan usulan gubernur terpilih. Sedang untuk wakil bupati/wakil walikota, diangkat oleh mendagri berdasar usulan bupati/walikota terpilih. Dengan kata lain, pemilihan tidak dengan sistem paket.

Untuk pelantikannya, wagub dilantik gubernur dan wawako/wabup dilantik oleh bupati/walikota.

Bahkan, untuk provinsi dengan jumlah penduduk kurang dari 3 juta, tidak perlu ada wakil gubernur. Jumlah penduduk 3 juta-10 juta satu wagub, dan untuk provinsi dengan jumlah penduduk di atas 10 juta, dua wagub.

Dengan demikian, ke depan, jika RUU pilkada disahkan dengan rumusan masih seperti itu, maka Sumut bakal punya dua wagub. Pasalnya, data 2013, jumlah penduduk Sumut sudah 13,31 juta jiwa.

Untuk kabupaten/kota dengan jumlah penduduk kurang dari 100 ribu, juga tak perlu ada wakil bupati/wakil walikota. Untuk jumlah penduduk di atas 100 ribu, satu wakil bupati/walikota.

Ketentuan mengenai hal tersebut diatur dalam pasal 163 hingga 168 di RUU pilkada, dalam opsi pilkada dilakukan secara langsung oleh rakyat.

Tampaknya, rumusan ini untuk menutupi kekurangan pelaksanaan pilkada langsung selama ini, yang banyak dikeluhkan menciptakan disharmoni kepala daerah-wakil kepala daerah, atau yang dikenal dengan istilah pecah kongsi.

Mendagri Gamawan Fauzi mengatakan, pemerintah memang menyiapkan dua versi RUU pilkada, yakni versi dipilih langsung dan versi dipilih oleh DPRD.

Dikatakan, rumusan di dua versi RUU sudah disiapkan secara matang, untuk menjawab berbagai persoalan yang selama ini dikeluhkan publik.

“Pemerintah benar-benar menyiapkan usulan pasal dalam RUU Pilkada secara matang. Agar yang mana pun nantinya disetujui, baik itu pilkada langsung atau lewat DPRD, benar-benar dapat menjawab kebutuhan masyarakat,” ujar Gamawan kemarin.

Rumusan RUU ini posisinya per 8 September dan punya peluang berubah saat pengesahan di paripurna DPR yang dijadwalkan 25 September mendatang.

Anggota Panja RUU dari pihak pemerintah yang juga Kapuspen Kemendagri, Dodi Riyadmadji, sebelumnya sudah mengatakan, bahwa RUU pilkada yang baru berupaya untuk mencegah agar berbagai kekurangan pelaksanaan pilkada langsung selama ini, tidak terjadi lagi di masa mendatang.

Terkait dengan gugatan sengketa pilkada, yang selama ini mayoritas hasil pilkada dibawa ke MK, juga dieliminir di RUU pilkada. Di sana diatur syarat pengajuan gugatan, yang sudah dialihkan ke MA untuk pilgub dan ke Pengadilan Tinggi untuk pilbup/pilwako.

Pengajuan gugatan bisa dilakukan jika ada perbedaan suara maksimal 2 persen untuk pilgub di provinsi dengan jumlah penduduk kurang dua juta. Beda maksimal 1,5 persen untuk provinsi berpenduduk 2 juta-6 juta, dan 0,5 persen untuk provinsi berpenduduk di atas 6 juta. Pembatasan serupa, dengan kategori jumlah penduduk yang lebih kecil, juga dilakukan untuk pilbup/pilwako.

Hal baru lainnya, dalam tahap pencalonan, akan ada Tim Panel yang dibentuk KPU Daerah, untuk melakukan uji publik kompetensi dan integritas para kandidat. Tim Panel terdiri lima orang, dengan rincian 2 akademisi, 2 tokoh masyarakat, dan 1 anggota KPU.

Meski peluang pengesahan RUU menjadi UU pilkada dimenangkan kubu yang pro pilkada langsung menyusul berubahnya sikap Fraksi Demokrat, namun pemerintah juga telah menyiapkan rumusan RUU pilkada, opsi pemilihan oleh DPRD.

Di rumusan pilkada oleh DPRD ini tetap mengakomodir calon perseorangan atau independen, alias calon non partai. Seperti di pilkada langsung, calon perseorangan untuk bisa maju, juga harus mengumpulkan syarat dukungan rakyat dalam jumlah tertentu.

Kandidat juga harus melalui uji publik oleh Tim Panel yang dibentuk Panlih DPRD, dengan anggota 5 orang, terdiri 3 akademisi dan 2 tokoh masyarakat. Uji publik harus dilakukan terbuka.

Diatur juga di pasal 18, partai atau gabungan partai, fraksi dan gabungan fraksi, dilarang menerima imbalan dalam bentuk apa pun para proses pencalonan. Jika terbukti menerima uang, harus mengembalikan sebanyak 10 kali lipat dari jumlah yang diterima, dan pada pemilihan kepala daerah berikutnya, mereka tak boleh lagi ikut mengajukan calon.

Anggota DPRD yang terbukti melakukan atau turut serta melakukan politik uang, akan dipecat sebagai anggota dewan. Dan unsur tindak pidananya tetap dibawa ke pengadilan umum atau pengadilan tipikor.

Untuk pengisian kursi wakil gubernur, diangkat oleh presiden atas usulan gubernur terpilih. Begitu pun untuk wakil bupati, dan wakil walikota, diangkat oleh mendagri atas usul bupati atau walikota terpilih. (sam/bd)

RUU-Pilkada-ilustrasi
RUU-Pilkada-ilustrasi

JAKARTA, SUMUTPOS.CO – Para kandidat calon kepala daerah yang akan bertarung dalam pilkada sebaiknya tidak terburu-buru menentukan pasangan sebagai wakilnya. Pasalnya, di dalam Rancangan Undang-undang (RUU) pilkada, dengan mekanisme pilkada langsung, hanya untuk memilih gubernur, bupati, dan walikota.

Untuk wakil gubernur akan diangkat oleh presiden berdasarkan usulan gubernur terpilih. Sedang untuk wakil bupati/wakil walikota, diangkat oleh mendagri berdasar usulan bupati/walikota terpilih. Dengan kata lain, pemilihan tidak dengan sistem paket.

Untuk pelantikannya, wagub dilantik gubernur dan wawako/wabup dilantik oleh bupati/walikota.

Bahkan, untuk provinsi dengan jumlah penduduk kurang dari 3 juta, tidak perlu ada wakil gubernur. Jumlah penduduk 3 juta-10 juta satu wagub, dan untuk provinsi dengan jumlah penduduk di atas 10 juta, dua wagub.

Dengan demikian, ke depan, jika RUU pilkada disahkan dengan rumusan masih seperti itu, maka Sumut bakal punya dua wagub. Pasalnya, data 2013, jumlah penduduk Sumut sudah 13,31 juta jiwa.

Untuk kabupaten/kota dengan jumlah penduduk kurang dari 100 ribu, juga tak perlu ada wakil bupati/wakil walikota. Untuk jumlah penduduk di atas 100 ribu, satu wakil bupati/walikota.

Ketentuan mengenai hal tersebut diatur dalam pasal 163 hingga 168 di RUU pilkada, dalam opsi pilkada dilakukan secara langsung oleh rakyat.

Tampaknya, rumusan ini untuk menutupi kekurangan pelaksanaan pilkada langsung selama ini, yang banyak dikeluhkan menciptakan disharmoni kepala daerah-wakil kepala daerah, atau yang dikenal dengan istilah pecah kongsi.

Mendagri Gamawan Fauzi mengatakan, pemerintah memang menyiapkan dua versi RUU pilkada, yakni versi dipilih langsung dan versi dipilih oleh DPRD.

Dikatakan, rumusan di dua versi RUU sudah disiapkan secara matang, untuk menjawab berbagai persoalan yang selama ini dikeluhkan publik.

“Pemerintah benar-benar menyiapkan usulan pasal dalam RUU Pilkada secara matang. Agar yang mana pun nantinya disetujui, baik itu pilkada langsung atau lewat DPRD, benar-benar dapat menjawab kebutuhan masyarakat,” ujar Gamawan kemarin.

Rumusan RUU ini posisinya per 8 September dan punya peluang berubah saat pengesahan di paripurna DPR yang dijadwalkan 25 September mendatang.

Anggota Panja RUU dari pihak pemerintah yang juga Kapuspen Kemendagri, Dodi Riyadmadji, sebelumnya sudah mengatakan, bahwa RUU pilkada yang baru berupaya untuk mencegah agar berbagai kekurangan pelaksanaan pilkada langsung selama ini, tidak terjadi lagi di masa mendatang.

Terkait dengan gugatan sengketa pilkada, yang selama ini mayoritas hasil pilkada dibawa ke MK, juga dieliminir di RUU pilkada. Di sana diatur syarat pengajuan gugatan, yang sudah dialihkan ke MA untuk pilgub dan ke Pengadilan Tinggi untuk pilbup/pilwako.

Pengajuan gugatan bisa dilakukan jika ada perbedaan suara maksimal 2 persen untuk pilgub di provinsi dengan jumlah penduduk kurang dua juta. Beda maksimal 1,5 persen untuk provinsi berpenduduk 2 juta-6 juta, dan 0,5 persen untuk provinsi berpenduduk di atas 6 juta. Pembatasan serupa, dengan kategori jumlah penduduk yang lebih kecil, juga dilakukan untuk pilbup/pilwako.

Hal baru lainnya, dalam tahap pencalonan, akan ada Tim Panel yang dibentuk KPU Daerah, untuk melakukan uji publik kompetensi dan integritas para kandidat. Tim Panel terdiri lima orang, dengan rincian 2 akademisi, 2 tokoh masyarakat, dan 1 anggota KPU.

Meski peluang pengesahan RUU menjadi UU pilkada dimenangkan kubu yang pro pilkada langsung menyusul berubahnya sikap Fraksi Demokrat, namun pemerintah juga telah menyiapkan rumusan RUU pilkada, opsi pemilihan oleh DPRD.

Di rumusan pilkada oleh DPRD ini tetap mengakomodir calon perseorangan atau independen, alias calon non partai. Seperti di pilkada langsung, calon perseorangan untuk bisa maju, juga harus mengumpulkan syarat dukungan rakyat dalam jumlah tertentu.

Kandidat juga harus melalui uji publik oleh Tim Panel yang dibentuk Panlih DPRD, dengan anggota 5 orang, terdiri 3 akademisi dan 2 tokoh masyarakat. Uji publik harus dilakukan terbuka.

Diatur juga di pasal 18, partai atau gabungan partai, fraksi dan gabungan fraksi, dilarang menerima imbalan dalam bentuk apa pun para proses pencalonan. Jika terbukti menerima uang, harus mengembalikan sebanyak 10 kali lipat dari jumlah yang diterima, dan pada pemilihan kepala daerah berikutnya, mereka tak boleh lagi ikut mengajukan calon.

Anggota DPRD yang terbukti melakukan atau turut serta melakukan politik uang, akan dipecat sebagai anggota dewan. Dan unsur tindak pidananya tetap dibawa ke pengadilan umum atau pengadilan tipikor.

Untuk pengisian kursi wakil gubernur, diangkat oleh presiden atas usulan gubernur terpilih. Begitu pun untuk wakil bupati, dan wakil walikota, diangkat oleh mendagri atas usul bupati atau walikota terpilih. (sam/bd)

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/