25.6 C
Medan
Monday, May 6, 2024

Anak TK Dilarang Diajari Calistung

BELAJAR RAMBU: Siswa TK Aisyiah Purwokerto belajar rambu di Taman Lalulintas Bulupitu Purwokerto, Rabu (18/1) kemarin.
Radar Banyumas/Dimas Prabowo

JAKARTA, SUMUTPOS.CO – Kegiatan penerimaan anak didik baru di taman kanak-kanak (TK) mulai bermunculan. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) kembali mengingatkan larangan belajar baca, tulis, dan berhitung (calistung) untuk anak-anak TK. Orangtua diminta selektif memilih lembaga TK untuk buah hatinya.

Direktur Pembinaan Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) Ella Yulaelawati menuturkan ada banyak faktor yang menyebabkan anak-anak di TK sudah diajari calistung. Pertama adalah minimnya sarana bermain atau alat permainan edukatif (APE) di TK.  “Karena tidak ada aktivititas, ya guru-gurunya mengajarkan calistung,” jelasnya di PAUD KM 0 komplek Kemendikbud, Sabtu (20/1).

Ella menjelaskan praktik calistung juga disebabkan karena permintaan orangtua. Permintaan itu muncul karena saat masuk SD sudah dilakukan ujian masuk berbasis calistung. Sehingga memunculkan efek berantai, yakni pembelajaran calistung di jenjang TK.

Dia menegaskan mengajari calistung untuk anak TK sama dengan mengajari anak-anak berjalan, padahal belum waktunya. Baginya setiap anak memiliki perkembangan otak yang khas. Sehingga tidak bisa disamaratakan untuk mengenyam pembelajaran calistung.

Ella berharap TK kembali pada jalurnya sebagai lembaga pendidikan yang menyiapkan anak untuk mandiri. “Sehingga siap untuk masuk SD,” jelasnya.

Kriteria siap masuk SD diantaranya adalah aspek sosial seperti tidak takut bertemu dengan orang baru. Kemudian kemandirian seperti berani ke toilet sediri, memasang tali sepatu, dan sejenisnya.

“Kalau sebatas dikenalkan ingin angka satu, angka dua, masih wajar. Tetapi kalau sudah penjumlahan, pengkalian, dan pembagian, itu sudah berlebihan,” tuturnya.

Ella juga memberikan panduan untuk memilih lembaga TK yang ideal. Diantaranya adalah memastikan TK itu terdapat di data pokok pendidikan (dapodik) Kemendikbud. Kemudian melihat keragaman APE dan permainan outdoor-nya. Untuk keamanan anak-anak, pastikan wahanan permainan outdoor tidak tajam, berkarat, dan sejenisnya.

Pemerhati anak Seto Mulyadi mendukung kampanye Kemendikbud bahwa di TK tidak boleh diajarkan calistung. Dia menegaskan bahwa TK itu taman, bukan sekolah. Sehingga upaya utama dalam mengelola TK adalah membuat anak-anak betah di TK.

Dia berharap orangtua tidak menekan anak-anaknya untuk belajar membaca ketika masih duduk di bangku TK. Sebab pada masanya anak-anak akan belajar membaca, menulis, dan berhitung ketika sudah berada di SD. (wan/jpg/yaa)

BELAJAR RAMBU: Siswa TK Aisyiah Purwokerto belajar rambu di Taman Lalulintas Bulupitu Purwokerto, Rabu (18/1) kemarin.
Radar Banyumas/Dimas Prabowo

JAKARTA, SUMUTPOS.CO – Kegiatan penerimaan anak didik baru di taman kanak-kanak (TK) mulai bermunculan. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) kembali mengingatkan larangan belajar baca, tulis, dan berhitung (calistung) untuk anak-anak TK. Orangtua diminta selektif memilih lembaga TK untuk buah hatinya.

Direktur Pembinaan Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) Ella Yulaelawati menuturkan ada banyak faktor yang menyebabkan anak-anak di TK sudah diajari calistung. Pertama adalah minimnya sarana bermain atau alat permainan edukatif (APE) di TK.  “Karena tidak ada aktivititas, ya guru-gurunya mengajarkan calistung,” jelasnya di PAUD KM 0 komplek Kemendikbud, Sabtu (20/1).

Ella menjelaskan praktik calistung juga disebabkan karena permintaan orangtua. Permintaan itu muncul karena saat masuk SD sudah dilakukan ujian masuk berbasis calistung. Sehingga memunculkan efek berantai, yakni pembelajaran calistung di jenjang TK.

Dia menegaskan mengajari calistung untuk anak TK sama dengan mengajari anak-anak berjalan, padahal belum waktunya. Baginya setiap anak memiliki perkembangan otak yang khas. Sehingga tidak bisa disamaratakan untuk mengenyam pembelajaran calistung.

Ella berharap TK kembali pada jalurnya sebagai lembaga pendidikan yang menyiapkan anak untuk mandiri. “Sehingga siap untuk masuk SD,” jelasnya.

Kriteria siap masuk SD diantaranya adalah aspek sosial seperti tidak takut bertemu dengan orang baru. Kemudian kemandirian seperti berani ke toilet sediri, memasang tali sepatu, dan sejenisnya.

“Kalau sebatas dikenalkan ingin angka satu, angka dua, masih wajar. Tetapi kalau sudah penjumlahan, pengkalian, dan pembagian, itu sudah berlebihan,” tuturnya.

Ella juga memberikan panduan untuk memilih lembaga TK yang ideal. Diantaranya adalah memastikan TK itu terdapat di data pokok pendidikan (dapodik) Kemendikbud. Kemudian melihat keragaman APE dan permainan outdoor-nya. Untuk keamanan anak-anak, pastikan wahanan permainan outdoor tidak tajam, berkarat, dan sejenisnya.

Pemerhati anak Seto Mulyadi mendukung kampanye Kemendikbud bahwa di TK tidak boleh diajarkan calistung. Dia menegaskan bahwa TK itu taman, bukan sekolah. Sehingga upaya utama dalam mengelola TK adalah membuat anak-anak betah di TK.

Dia berharap orangtua tidak menekan anak-anaknya untuk belajar membaca ketika masih duduk di bangku TK. Sebab pada masanya anak-anak akan belajar membaca, menulis, dan berhitung ketika sudah berada di SD. (wan/jpg/yaa)

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/