32.8 C
Medan
Friday, May 24, 2024

Kejati Jatim Langgar Prosedur

Perihal peran BPK dalam penghitungan kerugian negara itu juga ditegaskan oleh Prof Mudzakkir. Dia mengatakan, sebelum tersangka ditetapkan, seharusnya diperiksa terlebih dulu tindak pidana apa yang disangkakan. Menurut dia, penyidik harus membuktikan unsur-unsur tindak pidana sebelum menetapkan tersangka. ”Kalau tiba-tiba dijadikan tersangka dulu, unsur-unsur belum diproses, penetapan tersangka jadi bermasalah. Bagaimana menetapkan tersangka, sedangkan unsur tindak pidana belum terpenuhi?” Tanya dia. ”Tanpa adanya perhitungan kerugian negara, jadinya seperti menyidik pembunuhan, tapi siapa yang dibunuh belum jelas,” lanjutnya.

Hal itulah yang dilihat Prof Mudzakkir dalam penetapan Dahlan sebagai tersangka dalam kasus PT PWU. Dia belum bisa menangkap unsur-unsur pidana. Kejadian yang diusut terjadi sepuluh tahun lalu. Karena itulah, unsur tindak pidana harus ditemukan dulu. Jika unsur tersebut terpenuhi, baru dicari siapa yang harus bertanggung jawab.

Guru besar sekaligus ahli hukum pidana UII itu juga mempertanyakan apakah tindak pidana yang terjadi dalam ranah perseroan masuk tindak pidana korupsi. Dia mengatakan, perseroan terbatas (PT) bergerak dalam konteks swasta dan murni bisnis. Menurut Mudzakkir, meski sebagian saham PT milik negara, aturan yang berlaku harus tunduk dalam Undang-Undang Perseroan. Saham milik negara yang ada di PT tersebut dianggap sebagai kekayaan negara yang terpisahkan.

Dia menegaskan, kalaupun ada tindak pidana, masuk ke ranah tindak pidana umum. ”Bukan korupsi,” tegasnya. Sebab, subjek korupsi adalah penyelenggara negara. Kalaupun ada penyalahgunaan wewenang, penyelesaiannya menggunakan mesin-mesin swasta. ”Orang bisnis kan feeling. Tapi kalau penyelenggara negara tidak boleh pakai feeling,” imbuhnya.

Mudzakkir khawatir, jika PT bisa dijerat dengan delik korupsi, tujuan negara membentuk perseroan agar cepat dalam berbisnis tidak tercapai. ”Kalau bisnis dimasuki aparat penegak hukum, maksud berbisnis agar mendapat keuntungan sebanyak-banyaknya menjadi buyar,” ujarnya.

Menurut dia, jika ada masalah di dalam perseroan, seharusnya cukup diselesaikan melalui RUPS. Sebab, dalam RUPS, ada orang yang ditunjuk pemerintah untuk mewakili kepentingannya. Jika terjadi penyalahgunaan kepengurusan, bisa dijatuhkan sanksi pecat atau yang bersangkutan diganti. ”Tapi, kalau diaudit aparat penegak hukum, sistem negara dalam konteks BUMN dan BUMD menjadi rusak. Hukum memang ditegakkan, tapi bukan semuanya dikorupsikan,” tegasnya.

 

Jaksa: Saksi Ahli Pelacur Akademik

Selain mengungkap kesewenang-wenangan penyidik, sidang praperadilan kemarin diwarnai sikap kontroversial jaksa yang mewakili Kejati Jatim. Ahmad Fauzi, salah seorang jaksa, dalam jawaban permohonan praperadilan menuding saksi ahli yang dihadirkan dalam sidang praperadilan sebagai pelacur akademik. Jaksa menyebut saksi ahli seperti itu sebagai senjata bayaran. Jaksa menganggap saksi ahli memberikan keterangan dengan hanya berorientasi pada uang. Jaksa juga menyebut hakim agar tidak hanya pandai bersilat lidah.

”Memberikan pendapatnya di muka sidang bukan untuk menyampaikan kebenaran, tetapi semata-mata untuk memperoleh sejumlah uang,” kata Fauzi. ”Hal itu menimbulkan kesesatan, pengkhianatan integritas akademik, serta apa yang disebut dengan pelacuran akademik,” lanjutnya.

Ungkapan jaksa tersebut tentu saja memantik reaksi dari Prof Nur Basuki Minarno yang kemarin menjadi saksi ahli. Dalam sidang, dia mengajukan protes dengan sebutan pelacur akademik untuk ahli yang hadir dalam ruang sidang. ”Sebenarnya jaksa telepon saya (minta agar jadi saksi yang diajukan jaksa dalam praperadilan, Red). Tapi, saat itu saya sudah menyanggupi menjadi ahli yang dihadirkan pemohon. Saya menolak,” ucapnya.

Nur menambahkan, ucapan jaksa tersebut bisa membuat marah kalangan akademisi. Sebab, itu sama saja melecehkan dunia akademisi. Menurut dia, jika tidak di dalam sidang, ucapan itu bisa dituntut secara pidana.

Nur menegaskan, meski hadir sebagai ahli yang dihadirkan pemohon, dirinya memastikan memberikan penjelasan sesuai dengan keahliannya. ”Jangan dikira kalau saya dihadirkan pemohon saya akan membela pemohon. Tidak begitu. Saya berbicara sesuai fakta hukum,” tegasnya. Menurut Nur, ahli akan memberikan pendapat sesuai ilmu pengetahuannya.

Lain lagi yang disampaikan Prof Mudzakkir. Dia mengatakan, berdasar pengalamannya menjadi ahli, jika amunisi salah satu pihak kurang, senjatanya menyerang secara pribadi. ”Seharusnya itu (tuduhan pelacur akademik, Red) tidak patut diucapkan aparat penegak hukum,” ujarnya.

Meski begitu, dia tidak akan terpancing untuk menanggapinya secara berlebihan. Menurut Mudzakkir, seharusnya jaksa meminta maaf agar tidak jadi fitnah yang bakal menjadi bumerang untuk jaksa sendiri.

Bukan hanya ahli yang jadi ejekan jaksa. Hakim pun mendapat hal serupa. Itu disebutkan dalam penutup jawaban yang tidak dibacakan. Jaksa meminjam ungkapan Francis Bacon, filsuf asal Inggris. Yaitu, para hakim seyogianya lebih terpelajar daripada sekadar pandai bersilat lidah. Lebih bermartabat daripada sekadar bersikap wajar dan lebih menghayati masalah yang dihadapinya daripada sekadar berkeyakinan. (atm/c11/c10/ang/jpg)

Perihal peran BPK dalam penghitungan kerugian negara itu juga ditegaskan oleh Prof Mudzakkir. Dia mengatakan, sebelum tersangka ditetapkan, seharusnya diperiksa terlebih dulu tindak pidana apa yang disangkakan. Menurut dia, penyidik harus membuktikan unsur-unsur tindak pidana sebelum menetapkan tersangka. ”Kalau tiba-tiba dijadikan tersangka dulu, unsur-unsur belum diproses, penetapan tersangka jadi bermasalah. Bagaimana menetapkan tersangka, sedangkan unsur tindak pidana belum terpenuhi?” Tanya dia. ”Tanpa adanya perhitungan kerugian negara, jadinya seperti menyidik pembunuhan, tapi siapa yang dibunuh belum jelas,” lanjutnya.

Hal itulah yang dilihat Prof Mudzakkir dalam penetapan Dahlan sebagai tersangka dalam kasus PT PWU. Dia belum bisa menangkap unsur-unsur pidana. Kejadian yang diusut terjadi sepuluh tahun lalu. Karena itulah, unsur tindak pidana harus ditemukan dulu. Jika unsur tersebut terpenuhi, baru dicari siapa yang harus bertanggung jawab.

Guru besar sekaligus ahli hukum pidana UII itu juga mempertanyakan apakah tindak pidana yang terjadi dalam ranah perseroan masuk tindak pidana korupsi. Dia mengatakan, perseroan terbatas (PT) bergerak dalam konteks swasta dan murni bisnis. Menurut Mudzakkir, meski sebagian saham PT milik negara, aturan yang berlaku harus tunduk dalam Undang-Undang Perseroan. Saham milik negara yang ada di PT tersebut dianggap sebagai kekayaan negara yang terpisahkan.

Dia menegaskan, kalaupun ada tindak pidana, masuk ke ranah tindak pidana umum. ”Bukan korupsi,” tegasnya. Sebab, subjek korupsi adalah penyelenggara negara. Kalaupun ada penyalahgunaan wewenang, penyelesaiannya menggunakan mesin-mesin swasta. ”Orang bisnis kan feeling. Tapi kalau penyelenggara negara tidak boleh pakai feeling,” imbuhnya.

Mudzakkir khawatir, jika PT bisa dijerat dengan delik korupsi, tujuan negara membentuk perseroan agar cepat dalam berbisnis tidak tercapai. ”Kalau bisnis dimasuki aparat penegak hukum, maksud berbisnis agar mendapat keuntungan sebanyak-banyaknya menjadi buyar,” ujarnya.

Menurut dia, jika ada masalah di dalam perseroan, seharusnya cukup diselesaikan melalui RUPS. Sebab, dalam RUPS, ada orang yang ditunjuk pemerintah untuk mewakili kepentingannya. Jika terjadi penyalahgunaan kepengurusan, bisa dijatuhkan sanksi pecat atau yang bersangkutan diganti. ”Tapi, kalau diaudit aparat penegak hukum, sistem negara dalam konteks BUMN dan BUMD menjadi rusak. Hukum memang ditegakkan, tapi bukan semuanya dikorupsikan,” tegasnya.

 

Jaksa: Saksi Ahli Pelacur Akademik

Selain mengungkap kesewenang-wenangan penyidik, sidang praperadilan kemarin diwarnai sikap kontroversial jaksa yang mewakili Kejati Jatim. Ahmad Fauzi, salah seorang jaksa, dalam jawaban permohonan praperadilan menuding saksi ahli yang dihadirkan dalam sidang praperadilan sebagai pelacur akademik. Jaksa menyebut saksi ahli seperti itu sebagai senjata bayaran. Jaksa menganggap saksi ahli memberikan keterangan dengan hanya berorientasi pada uang. Jaksa juga menyebut hakim agar tidak hanya pandai bersilat lidah.

”Memberikan pendapatnya di muka sidang bukan untuk menyampaikan kebenaran, tetapi semata-mata untuk memperoleh sejumlah uang,” kata Fauzi. ”Hal itu menimbulkan kesesatan, pengkhianatan integritas akademik, serta apa yang disebut dengan pelacuran akademik,” lanjutnya.

Ungkapan jaksa tersebut tentu saja memantik reaksi dari Prof Nur Basuki Minarno yang kemarin menjadi saksi ahli. Dalam sidang, dia mengajukan protes dengan sebutan pelacur akademik untuk ahli yang hadir dalam ruang sidang. ”Sebenarnya jaksa telepon saya (minta agar jadi saksi yang diajukan jaksa dalam praperadilan, Red). Tapi, saat itu saya sudah menyanggupi menjadi ahli yang dihadirkan pemohon. Saya menolak,” ucapnya.

Nur menambahkan, ucapan jaksa tersebut bisa membuat marah kalangan akademisi. Sebab, itu sama saja melecehkan dunia akademisi. Menurut dia, jika tidak di dalam sidang, ucapan itu bisa dituntut secara pidana.

Nur menegaskan, meski hadir sebagai ahli yang dihadirkan pemohon, dirinya memastikan memberikan penjelasan sesuai dengan keahliannya. ”Jangan dikira kalau saya dihadirkan pemohon saya akan membela pemohon. Tidak begitu. Saya berbicara sesuai fakta hukum,” tegasnya. Menurut Nur, ahli akan memberikan pendapat sesuai ilmu pengetahuannya.

Lain lagi yang disampaikan Prof Mudzakkir. Dia mengatakan, berdasar pengalamannya menjadi ahli, jika amunisi salah satu pihak kurang, senjatanya menyerang secara pribadi. ”Seharusnya itu (tuduhan pelacur akademik, Red) tidak patut diucapkan aparat penegak hukum,” ujarnya.

Meski begitu, dia tidak akan terpancing untuk menanggapinya secara berlebihan. Menurut Mudzakkir, seharusnya jaksa meminta maaf agar tidak jadi fitnah yang bakal menjadi bumerang untuk jaksa sendiri.

Bukan hanya ahli yang jadi ejekan jaksa. Hakim pun mendapat hal serupa. Itu disebutkan dalam penutup jawaban yang tidak dibacakan. Jaksa meminjam ungkapan Francis Bacon, filsuf asal Inggris. Yaitu, para hakim seyogianya lebih terpelajar daripada sekadar pandai bersilat lidah. Lebih bermartabat daripada sekadar bersikap wajar dan lebih menghayati masalah yang dihadapinya daripada sekadar berkeyakinan. (atm/c11/c10/ang/jpg)

Previous article
Next article

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/