30.6 C
Medan
Tuesday, May 7, 2024

Debat Cawapres Tak Beri Solusi Masalah Agraria dan Ekologis

JAKARTA, SUMUTPOS.CO – Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) mengkritisi jalannya debat calon wakil presiden (Cawapres). Dia menyebut, tiga cawapres tidak menjawab persoalan agraria, pangan, dan ekologi.

“Tiga calon saya pikir sangat jauh bicara (masalah) soal pangan, agraria, dan ekologis,” kata Manager Pengakuan Wilayah Kelola Rakyat Walhi, Ferry Widodo, dalam diskusi di kantornya, Jakarta, Selasa (23/1).

Menurut Ferry, dari tiga calon itu, tidak ada yang pernyataan untuk menyelesaikan masalah konflik agraria. Menurutnya, tak ada yang jelas menjelaskan bagaimana melakukan reforma agraria sejati yaitu menata ulang struktur kepemilikan tanah.

“Kritik terhadap mereka adalah, tak ada yang bisa jelaskan bagaimana bisa mendorong terkait reforma agraria sejati,” katanya.

Dia mengkritik pernyataan dari cawapres nomor urut 1, Muhaimin Iskandar atau Cak Imin soal rencana dana desa Rp5 miliar. Menurutnya, anggaran desa yang besar belum tentu bisa selesaian masalah.

“Apakah dana desa Rp5 M itu cukup untuk menjadi anggaran yang cukup untuk pembangunan dan pemberdayaan tingkat desa. Fakta di lapangan, tidak terjadi. Rp1 M dana desa yang dikucurkan saat ini, itu malah menyebabkan angka korupsi di tingkat desa tinggi. Ada 600 kepala desa yang terseret isu korupsi dana desa,” kata Ferry.

Dana desa tak selesaikan masalah agraria di mana terjadi konflik antara masyarakat dengan konsesi industri besar. Sehingga, kemiskinan di desa pun tidak terjadi.

“Dia tak selesaikan persoalan agraria yang sudah diambil oleh konsesi industri besar. Ini titik tekan kita. Mau dinaikkan Rp10 M pun, bukan jaminan penyelesaian konflik agraria dan penuntasan kemiskinan di desa,” katanya.

Tiga pasangan capres memiliki misi dan visi terkait reformasi agraria. Tapi hanya menurutnya tak ada pembahasan bagaimana menyelesaikan masalah konflik agraria. “Kita tegaskan bahwa walaupun dalam visi misi tiga calon ada mengenai reforma agraria. Bagaimana selesaikan konflik?” katanya.

Selain itu, Ferry pun menyinggung soal masalah pangan di Indonesia. Menurutnya, tiga cawapres tidak membahas soal tata kelola dan distribusi pupuk dan pangan di Indonesia.

“Yang jadi persoalan, bukan ketersediaan pupuk, tata kelola, dan distribusi pupuk yang jadi masalah. Di beberapa tempat yang kami temukan, bahwa agen pupuk besar dia telah punya jaringan sendiri. Biasanya, bukan jaringan resmi yang terdaftar, ada yang tidak terdaftar, dan penimbunan pupuk besar,” katanya.

“Dan bagaimana kemudian atasi distribusi dan tata kelola pupuk, itu tak muncul (di debat),” katanya.

Menurut Ferry, seharusnya tiga cawapres membahas bagaimana menjadikan distribusi lebih pendek. Konsumen seharusnya bisa langsung mendapatkan pupuk atau pangan dari produsen.

“(Cawapres) hanya bicara distribusi pupuk adil, subsidi pupuk, itu sudah lama dan ada. Bagaimana tata kelola dari produsen ke konsumen langsung? Beras punya sembilan mata rantai dari produsen ke konsumen, dari setiap level agen ini mereka ambil margin,” ucapnya.

Sementara itu, Manajer Kampanye Tambang dan Energi WALHI, Fanny Tri Jambore Christanto atau Rere, mengatakan bahwa sampai saat ini pemerintah tidak tuntas mengatasi masalah karbon. Proyek hilirisasi industri yang sering disampaikan oleh cawapres nomor urut 02, Gibran Rakabuming Raka, menambah emisi karbon di Indonesia.

“Misal pendekatan untuk melakukan hilirisasi. Itu justru menghasilkan karbon dalam sekala besar. Perubahan bentang lahan menyebabkan emisi karbon meningkat,” katanya.

Menurut Rere, kebijakan perusahaan untuk membeli alat kredit karbon untuk mengurangi emisi, tidak menyelesaikan masalah. Hal itu malah membuat perusahaan yang membuat emisi atau emiter semakin berkembang mengambil lahan.

“Ada skema pemerintah tidak dimunculkan (saat debat) tapi jadi masalah dalam skema pembangunan rendah karbon. Bagi kami, skema perdagangan karbon, upaya membiarkan emiter menghasilkan emisi dengan membeli kredit karbon. Emisi tak turun tapi malah pengambilalihan lahan masyarakat,” katanya. (jpc/dtk/azw)

JAKARTA, SUMUTPOS.CO – Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) mengkritisi jalannya debat calon wakil presiden (Cawapres). Dia menyebut, tiga cawapres tidak menjawab persoalan agraria, pangan, dan ekologi.

“Tiga calon saya pikir sangat jauh bicara (masalah) soal pangan, agraria, dan ekologis,” kata Manager Pengakuan Wilayah Kelola Rakyat Walhi, Ferry Widodo, dalam diskusi di kantornya, Jakarta, Selasa (23/1).

Menurut Ferry, dari tiga calon itu, tidak ada yang pernyataan untuk menyelesaikan masalah konflik agraria. Menurutnya, tak ada yang jelas menjelaskan bagaimana melakukan reforma agraria sejati yaitu menata ulang struktur kepemilikan tanah.

“Kritik terhadap mereka adalah, tak ada yang bisa jelaskan bagaimana bisa mendorong terkait reforma agraria sejati,” katanya.

Dia mengkritik pernyataan dari cawapres nomor urut 1, Muhaimin Iskandar atau Cak Imin soal rencana dana desa Rp5 miliar. Menurutnya, anggaran desa yang besar belum tentu bisa selesaian masalah.

“Apakah dana desa Rp5 M itu cukup untuk menjadi anggaran yang cukup untuk pembangunan dan pemberdayaan tingkat desa. Fakta di lapangan, tidak terjadi. Rp1 M dana desa yang dikucurkan saat ini, itu malah menyebabkan angka korupsi di tingkat desa tinggi. Ada 600 kepala desa yang terseret isu korupsi dana desa,” kata Ferry.

Dana desa tak selesaikan masalah agraria di mana terjadi konflik antara masyarakat dengan konsesi industri besar. Sehingga, kemiskinan di desa pun tidak terjadi.

“Dia tak selesaikan persoalan agraria yang sudah diambil oleh konsesi industri besar. Ini titik tekan kita. Mau dinaikkan Rp10 M pun, bukan jaminan penyelesaian konflik agraria dan penuntasan kemiskinan di desa,” katanya.

Tiga pasangan capres memiliki misi dan visi terkait reformasi agraria. Tapi hanya menurutnya tak ada pembahasan bagaimana menyelesaikan masalah konflik agraria. “Kita tegaskan bahwa walaupun dalam visi misi tiga calon ada mengenai reforma agraria. Bagaimana selesaikan konflik?” katanya.

Selain itu, Ferry pun menyinggung soal masalah pangan di Indonesia. Menurutnya, tiga cawapres tidak membahas soal tata kelola dan distribusi pupuk dan pangan di Indonesia.

“Yang jadi persoalan, bukan ketersediaan pupuk, tata kelola, dan distribusi pupuk yang jadi masalah. Di beberapa tempat yang kami temukan, bahwa agen pupuk besar dia telah punya jaringan sendiri. Biasanya, bukan jaringan resmi yang terdaftar, ada yang tidak terdaftar, dan penimbunan pupuk besar,” katanya.

“Dan bagaimana kemudian atasi distribusi dan tata kelola pupuk, itu tak muncul (di debat),” katanya.

Menurut Ferry, seharusnya tiga cawapres membahas bagaimana menjadikan distribusi lebih pendek. Konsumen seharusnya bisa langsung mendapatkan pupuk atau pangan dari produsen.

“(Cawapres) hanya bicara distribusi pupuk adil, subsidi pupuk, itu sudah lama dan ada. Bagaimana tata kelola dari produsen ke konsumen langsung? Beras punya sembilan mata rantai dari produsen ke konsumen, dari setiap level agen ini mereka ambil margin,” ucapnya.

Sementara itu, Manajer Kampanye Tambang dan Energi WALHI, Fanny Tri Jambore Christanto atau Rere, mengatakan bahwa sampai saat ini pemerintah tidak tuntas mengatasi masalah karbon. Proyek hilirisasi industri yang sering disampaikan oleh cawapres nomor urut 02, Gibran Rakabuming Raka, menambah emisi karbon di Indonesia.

“Misal pendekatan untuk melakukan hilirisasi. Itu justru menghasilkan karbon dalam sekala besar. Perubahan bentang lahan menyebabkan emisi karbon meningkat,” katanya.

Menurut Rere, kebijakan perusahaan untuk membeli alat kredit karbon untuk mengurangi emisi, tidak menyelesaikan masalah. Hal itu malah membuat perusahaan yang membuat emisi atau emiter semakin berkembang mengambil lahan.

“Ada skema pemerintah tidak dimunculkan (saat debat) tapi jadi masalah dalam skema pembangunan rendah karbon. Bagi kami, skema perdagangan karbon, upaya membiarkan emiter menghasilkan emisi dengan membeli kredit karbon. Emisi tak turun tapi malah pengambilalihan lahan masyarakat,” katanya. (jpc/dtk/azw)

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/