Apalagi ini Medan. Kota yang orang-orangnya dikenal keras, ngotot, dan bahkan asal bersuara besar. Dengan kata lain, prinsip ‘tak mau kalah’ begitu berkuasa, prinsip ‘selalu tampil’ pun begitu mengemuka. Maka kata orang di luar Medan, “Jangan harap orang Medan langsung bilang ya.”+
Apa sulitnya mengatakan: ya! Hm, rasanya tak sulit. Cuma dua hurup. Cuma satu suku kata. Cuma satu tarikan napas. Tapi, perhatikanlah, kata ‘ya’ kadang tak segampang yang dipikirkan. Tidak percaya?
Dalam pekan terakhir, saya menghadapi soal ‘ya’ tadi. Dan itu berulang kali. Pertama — yang saya ingat — ketika bersinggungan dengan istri saya. Ceritanya ketika pagi, saya ingin dibuati kopi. Maka, saya memintanya, “Buati kopi dululah.” Dia menjawab, “Di dapur kan ada kopi, gula, dan air panas. Gelas di rak piring. Buat sendiri dululah… Aku lagi nyapu ni.”
Harusnya kan dia tinggal bilang, “Ya, habis aku nayapu ya.” Atau, “Ya,” sambil menghentikan pekerjaannya. Tapi, kenyataannya tidak kan?
Lalu, ketika di kantor. Saya meminta redaktur saya untuk menghandle dulu halaman tertentu karena ada yang tak masuk. “Aduh Pak, kenapa mendadak!” begitu dia menjawab. Ada pula redaktur yang lain ketika saya minta dia merancang berita di halamannya untuk terbitan lusa. Artinya, dia menyiapkan apa yang akan dikerjakan reporter. “Kemarin sudah kubuat, tapi gak berhasil,” katanya.
Padahal, keduanya kan bisa bilang, ‘Ya.’ Toh, apa yang saya minta merupakan tugas mereka. Nah, ketika saya emosi, mereka baru bilang, “Ya.” Lucu kan? Apakah butuh emosi agar orang mau mengatakan ‘ya’?
Untuk hal itu saya ingin bijak menyikapi. Bagi saya itu bukan penentangan tapi lebih pada kebiasaan. Ya, sepertinya menolak dianggap sebagai nilai tawar. Bak di pasar, dalam tawar-menawar, kan tidak mungkin kita langsung mengatakan ‘ya’.
Apalagi ini Medan. Kota yang orang-orangnya dikenal keras, ngotot, dan bahkan asal bersuara besar. Dengan kata lain, prinsip ‘tak mau kalah’ begitu berkuasa, prinsip ‘selalu tampil’ pun begitu mengemuka. Maka kata orang di luar Medan, “Jangan harap orang Medan langsung bilang ya.”
Ketika saya runut ke belakang, fenomena ini bukan sesuatu yang luar biasa. Ya, orang Medan kan terdiri dari etnis yang menonjol. Melayu adalah orang-orang yang dalam sejarah punya latar belakang hebat; ini tanah mereka, jadi sebagai penduduk ‘asli’ setidaknya mereka punya nilai tawar. Lalu, mereka yang beretnis Batak dengan segala variannya: semuanya anak raja, jadi meski di perantauan, tetap saja mereka merasa anak raja. China, Minang, Tamil, hingga Jawa adalah pekerja keras; saking kerasnya mereka tak mau mengalah untuk sebuah kerugian bukan? Masih banyak lagi etnis yang berada di Medan: semuanya merasa punya andil dalam kemajuan kota ini bukan? Nah, andil inilah yang kemudian membentuk sikap. Dan, sikap serta prinsip itu sedemikian rupa masuk ke dalam diri warga Medan.
Yang paling menarik, meski etnis Jawa cukup banyak, tidak pula ditemukan di Medan prinsip ‘nggih’. Ya, secara umum, orang Jawa kan mengusung konsep ‘nggih’ atau dalam istilah Indonesianya ‘ya’ tadi. Mereka akan mengatakan ‘ya’ begitu ada permintaan. Jika kemudian tak sesuai, mereka akan langsung mengubah sikapnya menjadi ‘tidak’. Dan itu adalah sebuah kewajaran. Di Medan, hal itu tak ada. Etnis Jawa di Medan bisa langsung mengatakan ‘tidak’ meski kemudian mengubah sikapnya menjadi ‘ya’ layaknya orang Medan kebanyakan.
Dan, masalahnya, meski hanya sebelas tahun tinggal di Jogjakarta, konsep ‘ya’ itu telah begitu hidup di diri saya. Jadi, setelah lima tahun di Medan, tetap saja saya akan mengatakan ‘ya’ lebih dulu ketika ada permintaan. Bagi saya hal itu tidak masalah karena dalam teori komunikasi versi saya, menyenangkan lawan bicara adalah teknik muncul yang baik. Artinya, buat dulu lawan bicara senang (persis orang Jawa di Pulau Jawa, padahal saya orang Sumatera he he he he), setelah itu pelan-pelan baru masukan pikiran kita hingga akhirnya dia rela ketika kita mengatakan ‘tidak’. Dan, bagi saya, hal ini lebih menguntungkan daripada mengatakan ‘tidak’ lebih dulu baru kemudian mengatakan ‘ya’. Untuk yang ini, bagi saya, lawan bicara sudah melihat kita membentengi diri hingga ketika kita mengatakan ‘ya’, kita sudah dianggap takluk. Nah, ketika kita takluk, adakah itu memiliki nilai tawar?
Masalahnya, pekan lalu, saya dihardik karena terus mengatakan ‘ya’. Hm, siapa lagi yang berani menghardik saya selain pimpinan bukan? “Ya ya terus, tapi ‘gak ada perubahan!” begitu katanya. Fiuh.
Hardikan itu langsung menyadarkan saya. Ya, saat ini sedang darurat. Artinya, ‘ya’ saya harus konkret dalam tingkah. Ini bukan sekadar kata. Ini bukan sekadar tawar-menawar. Ini kerja! Saya harus mempertanggungjawabkan ‘ya’ saya tadi. “Jangan main-main dengan kata ‘ya’, bisa jadi bumerang. Katakan saja ‘tidak’, tapi lakukan dengan benar,” seorang kawan mengingatkan saya.
Pesan ini lama terngiang dalam otak saya. Pasalnya, ketika saya katakan ‘tidak’ berarti saya bisa dianggap tidak mampu bukan? Lalu, bagaimana dengan pekerjaan saya. Saya mengatakan ‘ya’ pun bukan sembarangan bicara. Saya yakin bisa melakukan ‘ya’ itu, masalahnya butuh waktu. Itu saja!
Tapi sudahlah, soal ‘ya’ memang kadang bisa menjebak. Saya jadi lumayan sepakat dengan konsep ‘tidak’ oleh orang Medan. Ya, meski kata ‘tidak’ cenderung mengarah ke negatif. Tapi setidaknya dia tidak begitu menjerat kan?
Soal ‘ya’ meski tidak menjerat dan mampu mengakrabkan diri, dia bisa menjadi bumerang. Apalagi, orang Medan kan cenderung terbuka: kalau iya bilang iya kalau tidak ya bilang tidak. Simpel dan tanpa basa-basi. Fiuh.
Itulah sebab, melalui lantun ini, mungkin saya akan membuang basa-basi. Saya ingin menjadi orang Medan. Dan bukankah saya bermarga, artinya saya juga anak raja. Ha ha ha. Jika ada yang tak senang dengan sikap saya itu, biarkan saja. Ya, biarkan saja, toh, mengatakan ‘ya’ atau ‘tidak’ ujung-ujungnya sama saja. Semuanya kan dinilai dari hasil konkret, bukan kata-kata yang menenangkan. Yeahhh. Bagaimana menurut Anda?
Cocok kam rasa? (*)