Bayangkan sebuah beranda samping yang menghadap taman kecil dengan kolam ikan cantik di tengahnya. Bunga bermekaran, beraneka warna. Di tengah kolam, ada patung malaikat mungil bersayap sedang kencing. Lalu, dari pohon-pohon buah di sekitar taman itu muncul suara burung; burung kecil yang beterbangan dari ranting ke ranting tanpa henti. Saat itu masih ada sisa embun yang belum disedot matahari. Masihkah perlu kopi dan sebatang rokok? LALU, cobalah bayangkan beranda samping yang menghadap tembok.
Mata tak bisa memandang luas karena tetangga telah membangun dinding rumahnya hingga menutup langit. Lalu, dari rumah tetangga lainnya keluar nyanyian populer dari artis yang tak Anda ingat namanya. Suara artis itu membahana seakan dunia begitu ingin mendengar nyanyiannya: volume suara full hingga loudspeaker bergetar parah. Lalu, tak ada embun di pagi itu. Tak ada pohon. Apalagi bunga beraneka warna, nihil. Masihkah perlu sebatang rokok dan segelas kopi hitam? Pagi kemarin saya tidak berada di kedua tempat itu. Saya menulis lantun ini di sebuah garasi tanpa mobil. Di sebuah rumah yang sepi; bukan karena tak ada penghuni tapi karena terlalu banyak ruang di rumah ini hingga suara terkotak: tersekat dalam ruang.
Masihkah perlu kopi dan rokok? Jawab saya: tentu! Sebagai penikmat yang menjurus pecinta rokok dan kopi, saya merasa tempat bukan masalah. Yang paling penting itu kopi dan rokok harus ada.
Meski begitu, saya agak pantang merokok di ruang ber-AC. Entahlah, saya merasa hambar ketika merokok di ruang semacam itu. Itulah sebab saya tak habis pikir ketika ada orang yang nyaman merokok di bus ber-AC.
Saya jadi teringat ketika beberapa tahun lalu saat masih kuliah. Kesenangan saya pulang ke Medan dari Jogjakarta melalui jalur darat. Maka, bus ALS adalah pililihan. Bahkan saya pernah naik bus dari Surabaya ke Medan. Perjalanan sampai lima hari! Biasanya saya selalu mencari bus ALS yang ber-AC.
Bisa bayangkan jika naik bus tak ber-AC untuk perjalanan sejauh itu? Nah, dalam lima hari perjalanan di bus ber- AC, tentunya kenikmatan merokok berkurang. Seperti yang saya bilang tadi, saya tak nyaman merokok di ruang ber-AC. Sumpah, sangat tersiksa. Jatah bus berhenti sehari hanya dua kali — kalau mujur tiga kali — untuk makan dan istirahat. Untungnya sekali berhenti mencapai satu jam. Waktu itulah saya gunakan untuk merokok sepuasnya; walau waktu dipotong untuk mandi dan makan.
Praktis dua batang rokok yang terhisap.
Lucunya, namanya bus Medan, kedisiplinan penumpang juga berkurang.
Beberapa penumpang santai saja merokok dalam bus. Saya tidak bisa! Pernah saya coba, tapi tetap saja tak nyaman. Maka, dalam perjalanan saya sering berharap ban bus bocor. Fiuh, ketika bus berhenti di tengah hutan Sumatera, maka saya akan riang.
Ya, saya akan memilih sisi depan bus. Saya rebahan di aspal yang disinari lampu bus. Saya berbaring untuk meluruskan badan. Memandang langit dengan asap mengepul. Sumpah, nikmat! Atau ketika ban bus bocor di antara kepadatan rumah di Pulau Jawa, saya akan memilih duduk di pinggir jalan. Memandang tingkah pola warga setempat sambil menghisap rokok, fiuh nikmat! Itulah sebab saya katakan tempat tak begitu penting. Yang paling penting adalah rokoknya.
Lalu, bagaimana dengan kopi? Tidak seperti rokok, kopi cenderung tak memiliki masalah bagi saya. Artinya, tidak ada larangan atau ketidaknyamanan ngopi di tempat tertentu. Ngopi di ruang ber-AC bagi saya nikmat- nikmat saja. Buktinya di kantor, saya baru nyaman mengedit berita ketika sudah ada kopi. Apalagi, ruang kerja saya AC-nya luar biasa dingin. Maklumlah, menurut pakarnya, AC kan bisa membuat komputer nyaman.
Jadi, agar komputer tak mengulah, atur temperatur sedingin mungkin. Masalah penguni ruangan menggigil, kan ada kopi he he he he he.
Saya pun bisa ngopi di kawasan sangat panas. Misalnya di rumah kontrakan saya di Amplas. Kawasan itu sangat rapat. Istilahnya, rumah kontrakan saya berada di gang kelinci. Namanya gang kelinci, dinding satu rumah dengan rumah lainnya pasti berhimpitan.
Jangan cari pohon atau bunga, angin saja sulit dirasakan. Kipas angin yang diputar pun hanya menghasilkan hawa panas. Jadi, bayangkanlah kalau matahari sedang garang.
Nah, di rumah itu, saya nyaman saja ngopi.
Tak ada masalah. Kopi tetap nikmat.
Itulah sebab saya katakan tempat tak begitu penting. Yang paling penting adalah kopinya.
Bicara soal kopi dan rokok, biasanya dua benda ini sering dipasangkan bukan? Artinya, seorang pengopi biasanya perokok, begitu juga sebaliknya. Bahkan ada yang mengatakan, jangan ngopi nanti bisa kecanduan rokok. Jangan merokok nanti kecanduan kopi. Benarkah? Entahlah, yang jelas beberapa kawan saya tak menunjukkan itu. Ada seorang kawan yang tak merokok tapi selalu minum kopi saat kami bertemu. Ada pula seorang kawan yang selalu minum jus padahal dia seorang perokok berat.
Tapi itu tadi, imej rokok dan kopi sebagai satu kesatuan sudah begitu kental. Persis dengan yang saya katakan soal bus ber-AC.
Ya, atas nama bus Medan, kedisiplinan penumpangnya berkurang. Kenapa itu bisa terjadi? Ya, jawabnya karena sering terlihat. Seorang yang minum kopi biasanya sambil merokok dan saat menumpang bus Medan biasanya terlihat penumpang yang sesuka hati.
Begitu kan? Hal ini tentunya mirip dengan imej yang mungkin bisa tercipta terhadap para anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) mau tingkat pusat maupun provinsi atau kabupaten dan kota. Karena terlalu sering tersangkut masalah, bisa saja suatu saat nanti anggota DPR dianggap biang masalah bukan? Padahal, tidak semua semacam itu.
Lalu, ujung-ujungnya, pemilihan anggota legislatif beberapa waktu ke depan bisa menjadi hambar. Seperti ketika naik bus Medan, orang yang tidak suka ketidakdisplinan pasti akan menghindar. Fiuh.
Tapi begitulah hidup, kata orang bijak. Latar belakang sangat menentukan masa depan seseorang. Orang yang pernah salah bisa seterusnya dianggap salah. Nah, apakah itu salah? Hm, tergantung Anda memandangnya.
Yang jelas saat ini saya sedang merokok dan minum kopi. Saya merasa nikmat meski tidak berada di beranda samping sambil memandang pepohonan atau gerimis. Saya hanya di garasi. Dan saya merasa cukup nikmat.
Namun ada yang mengganggu pikiran saya. Besok pagi adakah kopi? Pasalnya tadi saya lihat di dapur, kopi hanya untuk hari ini. Sial. (*)