Pekerjaan paling mengerikan ternyata adalah jadi orang tua. Pekerjaan paling mengerikan selanjutnya mungkin adalah pengelola institusi pendidikan serta para staf pengajarnya.
***
Waktu tinggal sendirian saat kuliah dulu, saya dikenal teman-teman sebagai orang yang sangat rapi. Di apartemen, sepatu-sepatu saya selalu berjajar rapi. Barang-barang tertata rapi, khususnya koleksi mainan, buku-buku, serta CD lagu dan film format VHS (zaman itu).
Saking rapinya, buku dan CD diatur sesuai urutan alfabet. Baju di lemari pun ditata sesuai warna.
Dapur bersih kinclong. Ibu saya sendiri sampai bingung saya atur-atur kalau pas sedang berkunjung. Kamar mandi juga tidak kalah bersih.
Dan kalau sedang ada party (maklum anak muda, wkwkwkwk), ketika yang lain tidur, saya justru asyik membereskan botol-botol dan kaleng-kaleng minuman, lalu memvakum karpet sampai dini hari.
Serius. Wkwkwkwk…
Ada teman yang bilang saya ini agak-agak OCD alias obsessive compulsive disorder. Segalanya harus sesuai dan pas. Tapi, itu tidak selalu negatif kok. Karena mungkin gara-gara itu juga dulu teman-teman betah hangout di tempat saya, dan saya gampang dapat pacar. Wkwkwkwkwk…
Sekarang, tanda-tanda itu mulai kelihatan pada anak saya. Yang pertama, laki-laki umur 8 tahun, tergolong sudah pintar menata kamar. Buku-buku ditata rapi sendiri. Mainan diatur sesuai urutan.
Istri saya sempat pusing melihat ulahnya menempeli dinding atau tempat tidur dengan gambar-gambar. Tapi, setelah dilihat, tatanannya tergolong rapi dan menarik. Ada alur dan logikanya. Tidak asal tempel.
Anak saya yang kedua, perempuan umur hampir 7 tahun, juga ada miripnya. Dia suka memilih sendiri dandanan, dan suka marah-marah kalau sepatu tidak pas, baju tidak matching, atau hal-hal kecil lain yang tidak ’’pas’’. Dan dia akan menuntut perfection/kesempurnaan, baru bisa kembali tenang.
Salah satu sahabat saya waktu kuliah dulu pernah bilang, kita baru sadar kalau kita ini jadi orang tua saat melihat anak kita melakukan sesuatu yang mirip dengan kita.
Bagi dia, itu ketika dia bangun tidur, lalu melihat posisi tidur anaknya mirip sekali dengan dia.
Ada juga teman yang bilang kalau anaknya persis seperti dia dulu. Karena kalau disuruh belajar malah tidur…
Trudat!
Karena anak kita bisa mirip kita dalam kelakuan, semakin lama rasanya semakin mengerikan jadi orang tua. Kebaikan kita bisa jadi kebaikan dia juga, tapi kenakalan kita juga bisa jadi kenakalan mereka kelak. Wkwkwkwk…
Apakah saya bisa jadi orang tua yang baik? Entahlah. Mungkin juga tidak terlalu, hahahaha…
Yang pasti, saya tidak ingin terlalu membatasi, terlalu menghalangi, apa pun yang mereka suka atau kehendaki. Biarlah mereka tersandung. Biarlah mereka nanti menabrak tembok. Karena hanya dengan cara itu mereka kelak bisa bertahan hidup, bahkan mengejar sukses. Apa pun definisi sukses itu nanti.
Seperti kata komedian kondang Jerry Seinfeld. Dia heran kenapa anak kalau belajar main bowling dibantu dengan pagar, supaya bola tidak meleset ke selokan kiri dan kanan. Seharusnya biarkan saja mereka belajar melempar bola sesukanya.
’’Karena anak-anak itu kelak akan mendapati kenyataan bahwa hidup ini penuh dengan selokan,’’ selorohnya.
Setiap orang pasti beda, setiap orang tua pasti beda. Pernah saya naik bus di Orlando, dan kebetulan di dalamnya ada keluarga Indonesia lain. Dan melihat gaya ibu keluarga itu, saya berjanji dalam hati tidak ingin seperti mereka.
Waktu itu, anaknya yang kira-kira masih SMP harus berdiri di dalam bus memegang tiang. Sang ibu marah-marah kepadanya. Katanya: ’’Jangan pegang tiang itu, kotor!’’
Sang ibu, yang juga terpaksa berdiri, memang tampak berusaha keras menghindari memegang tiang. Walau sebenarnya dia terlihat konyol, karena badan membungkuk memegangi sandaran tempat duduk orang lain.
Dalam hati saya, pegang tiang kan tidak masalah. Kalau kotor kan nanti turun bisa cuci tangan. Emangnya sandaran kursi itu tidak sama kotornya? Dan emangnya dalam hidup ini kita bisa selalu steril? Lha kalau kita terus berusaha steril, bagaimana badan kita bisa menjadi kuat melawan berbagai ’’kekotoran’’ di masa mendatang?
Kasihan juga anak itu. Konyol juga ibu itu. Padahal, jelas-jelas dia orang mampu, melihat merek tas sang ibu yang terkenal supermahal. Mungkin benar saja, orang kaya tidak selalu pintar, tidak selalu logis, tidak selalu baik.