SUMUTPOS.CO – Biro Penyidik Federal AS (FBI) meminta bantuan publik untuk mengidentifikasi sedikitnya 90 orang yang diduga menjadi korban pelaku pedofilia yang pernah bekerja di sedikitnya 10 sekolah Amerika dan intenasional di dunia selama 40 tahun, sebelum bunuh diri bulan lalu.
William James Vahey, 64, mengakhiri hidupnya di Minnesota pada 21 Maret, kata FBI.
Berdasarkan catatan FBI, ia diketahui pernah mengajar di Jakarta International School pada 1992 hingga 2002.
Di laman website mereka, FBI menulis bahwa korban-korban Vahey diduga sebagai siswa Amerika Serikat dan warga negara lain yang pernah dididiknya sejak 1972.
“Sebuah USB milik Vahey yang diberikan kepada FBI mengungkap foto-foto porno anak-anak lelaki berusia antara 12 hingga 14 tahun dalam kondisi tertidur atau tidak sadarkan diri,” tulis FBI.
Foto-foto itu diberi lokasi dan tanggal yang merujuk ke tempat-tempat ia pernah mengajar.
Lebih lanjut, FBI menyatakan bahwa ketika Vahey ditanya mengenai foto-foto tersebut, ia dilaporkan mengaku telah melakukan pelecehan seksual kepada anak-anak lelaki selama hidupnya dan ia memberi mereka obat tidur sebelum melakukan aksinya.
KEKHAWATIRAN FBI
Agen FBI Shauna Dunlap kepada kantor berita AP mengatakan bahwa FBI tidak pernah “melihat ada kasus lain dimana individu melakukan pelecehan kepada anak sebanyak itu dalam jangka waktu yang sangat panjang.”
Selain di JIS, Vahey diketahui pernah mengajar antara lain di sekolah internasional Teheran, Madrid, Athena dan London. Ia juga menjadi pelatih tim basket putra di beberapa sekolah.
Sekolah-sekolah semacam itu biasanya mengajar siswa-siswa yang merupakan anak-anak diplomat AS, personil militer dan warga negara AS lain yang bekerja di luar negeri dan FBI menduga korban Vahey berasal dari berbagai kebangsaan.
FBI khawatir bahwa sebagian korban mungkin tidak mengetahui bahwa mereka dilecehkan.
“Ia punya akses ke anak-anak karena posisinya sebagai orang yang dipercaya,” kata agen FBI Patrick Fransen.
“Cara ia melecehkan anak-anak itu, yaitu ketika mereka tidak sadarkan diri, mungkin membuat mereka tidak tahu apa yang terjadi dan menjadikan mustahil bagi mereka untuk melapor ketika pelecehan terjadi.” (BBC)