Dia menuturkan, dengan fakta di lapangan yang ditemukan maka bisa disimpulkan hampir seluruh sekolah negeri di Sumut kekurangan guru PNS. Sehingga, disiasati merekrut guru honorer.
Meski keberadaan guru honor demikian pentingnya, namun faktanya penghargaan yang diberikan pemerintah ternyata tidak sepenting keberadaan mereka. Pemerintah belum pernah menganggarkan gaji yang layak untuk mereka baik dari APBN maupun APBD.
“Nasib guru honor lebih tragis dari para buruh pabrik, yang masih mendapatkan gaji setidaknya sebesar UMP, atau mencapai UMK. Guru honor masih ada yang menerima gaji Rp100 ribu setiap bulan. Ironisnya, gaji Rp100 ribu diterima dalam tiga bulan sekali. Hal ini dialami guru honor SMP Negeri 3 Purbatua, Taput,” cetus Abyadi.
Kecilnya gaji yang diterima para guru honor, sambung dia, disebabkan tidak adanya anggaran yang dialokasikan pemerintah untuk gaji yang layak. Sehingga, praktis gaji mereka berasal dari dua sumber yakni dana BOS dan uang komite sekolah.
“Untuk menutupi kebutuhan keluarga, maka para guru honor harus mencari kerja sampingan. Pada umumnya, pilihan paling dekat adalah mengajar di sekolah swasta atau les,” ucap Abyadi.
Oleh karena itu, kata dia, sulit dipercaya melihat fakta yang terjadi. Tentunya, ini tidak bisa dibiarkan dan pemerintah harus segera mengambil langkah cepat untuk memutuskan kebijakan baru. Terlebih, persoalan ini sudah cukup lama berlangsung.
“Ada beberapa hal yang dapat ditawarkan dalam menyelesaikan nasib guru honor. Sebagai misal, dapat diawali dengan pendataan sehingga dapat melihat gambaran dicari solusi penyelesaian masalah. Yaitu, dengan melakukan reditribusi atau pemerataan guru PNS di sekolah-sekolah. Sebab, selama ini yang terjadi adalah tidak meratanya penempatan guru di sekolah,” jabarnya.
Selain itu, lanjut Abyadi, pemerintah daerah dapat memberi kepastian bagi para guru honor. Artinya, mengangkat mereka dengan Surat Keputusan (SK) Kepala Daerah sesuai dengan peraturan yang berlaku.
“Solusi lain yang bisa diambil, pemerintah segera membuka moratorium penerimaan CPNS khususnya untuk guru, sesuai dengan kebutuhan daerah,” pungkasnya.
Salah seorang guru honor dari SMP Negeri 6 Medan, Asco Simarmata menyatakan, hingga saat ini nasib guru honorer masih sangat memprihatinkan. Di mana, dari sisi penghasilan, mereka belum mendapatkan upah/gaji yang layak. “Pada tahun 2004 lalu saya hanya menerima Rp250 ribu per bulan. Namun, kemudian terus naik hingga saat ini tahun 2017 menjadi sebesar Rp650 ribu per bulan,” ucapnya.
Dijelaskan dia, minimnya penghasilan mereka ini membuat para guru honor kerap kesulitan untuk memenuhi kebutuhan mereka. Untuk urusan ini, ia mengaku tidak sungkan melakoni berbagai kegiatan lain untuk memenuhi kebutuhan keluarganya. “Saya pernah menjadi tukang parkir di Jambur Namaken, kemudian saat ada pembangunan di Johor saya jadi kuli bangunan. Lanjut saya juga kemudian mengumpulkan anak-anak untuk memberi les, itu semua saya lakukan hanya untuk memenuhi nafkah keluarga,” ujarnya.