SUMUTPOS.CO – Ombudsman RI Perwakilan Sumatera Utara (Sumut) melakukan Own Motion Investigation atau sebuah kajian cepat tentang nasib guru honorer di sekolah negeri. Kajian dilakukan lantaran nasib guru honorer di Sumut masih sangat memprihatinkan. Sebab, meski dibutuhkan di sekolah negeri, tetapi mereka dibayar tidak layak.
Kepala Ombudsman RI Perwakilan Sumut, Abyadi Siregar mengatakan, realita di lapangan membuktikan bahwa keberadaan guru honor di sekolah negeri begitu pentingnya. Dari hasil investigasi kajian cepat, ada banyak sekolah yang jumlah guru honornya jauh lebih banyak dibanding guru PNS.
Akibatnya, proses kegiatan belajar mengajar (KBM) di sekolah sangat tergantung dengan keberadaan guru honor. Namun anehnya, perhatian pemerintah terhadap kesejahteraan guru honor nyaris tidak ada. Bahkan, masih terdapat gaji guru honor hanya Rp100 ribu per bulan.
“Seluruh guru honorer di Sumut belum dibayar layak. Padahal, sebagian sekolah negeri yang ada justru sangat bergantung pada keberadaan mereka untuk menjalankan KBM,” ungkap Abyadi saat memaparkan hasil investigasi kajian cepatnya sejak April 2017 mengenai persoalan yang dihadapi oleh para guru honorer Sumut, yang digelar di Hotel Polonia, Medan, Jumat (3/11).
Hadir dalam kegiatan itu, Plt Kabid Pembinaan Ketenagaan Dinas Pendidikan Sumut Abdul Malik Pane, Staf Teknis Dinas Pendidikan Kota Medan Abdul Gofur dan guru honor dari SMP Negeri 6 Medan Asco Simarmata. Selain itu, sejumlah tokoh pendidikan Sumut seperti Ketua Yayasan Parade Guru Tapanuli Utara, Martua Situmorang dan Sekretaris Forum Guru Honor Simalungun, Beni Polin Purba.
Menurut Abyadi, tindakan pemerintah yang tidak memperhatikan kesejahteraan guru honor tersebut, sesungguhnya termasuk sebagai perbuatan maladministrasi dalam bentuk penyalahgunaan wewenang dan mengabaikan kewajiban penyelenggaraan pelayanan publik. Maka dari itulah, dilakukan sebuah kajian cepat dengan objek tidak hanya di Kota Medan. Melainkan, di beberapa kabupaten/kota di Sumut, seperti Deli Serdang, Tapanuli Utara (Taput), Tapanuli Tengah (Tapteng) dan Simalungun.
“Tujuan dari kajian ini untuk mengetahui nasib guru honorer dilihat dari ketiadaan perhatian pemerintah terhadap kesejahteraan mereka. Sekaligus juga, untuk mendapatkan data perbandingan jumlah guru PNS dengan guru honorer yang mengajar di sekolah negara. Harapannya, dengan begitu pemerintah terutama pemerintah daerah segera mencari solusi memberi gaji yang layak kepada guru honorer,” sebut Abyadi.
Diutarakan dia, dalam kajian ini banyak hal yang membuatnya menghela nafas panjang, saat menelusuri pengelolaan pendidikan di Sumut terutama pelosok desa. Sebab, diketahui pengelolaan pendidikan yang menurut akal sehat, tidak mungkin terjadi di sebuah negara yang selama ini konsen terhadap pembangunan pendidikan.
“Di sebuah negara besar yang sejak lama mengalokasikan 20 persen anggarannya untuk sektor pendidikan, namun kenyataannya sungguh menyedihkan. Sebagai contoh, SMP Negeri 4 Sibabangun, Tapteng, yang memiliki 5 ruang kelas tetapi guru PNS hanya satu orang yaitu kepala sekolah. Oleh karena itu, agar proses KBM tetap berjalan maka terpaksa direkrut 4 guru honor yang harus mengajar semua mata pelajaran di semua kelas,” beber Abyadi.