Lebih jauh, dia melihat Gubernur Sumut, Tengku Erry Nuradi yang juga Ketua DPW Nasdem Sumut bersifat pasif didalam persoalan pengisian kursi wakil gubernur. “Gubernur tidak menghambat proses pemilihan, juga tidak memaksakan. Karena tidak ada kewenangan Gubenur untuk itu,” paparnya.
Sebelumnya, saat diskusi Kamisan yang digelar Sumut Pos kemarin (20/10), akademisi Univeritas Sumatera Utara (USU), Prof Dr Arif Nasution menilai, proses pemilihan Cawagubsu yang saat ini bergulir di DPRD Sumut sudah cacat hukum dan bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016. Karenanya, jika DPRD Sumut tetap memaksakan proses pemilihan berjalan, diyakini wakil gubernur yang terpilih menjadi ilegal.
“Prosesnya saja sudah cacat, apalagi hasilnya. Wagubsu bisa ilegal,” tegas Arif.
Dengan adanya putusan PTUN Jakarta atas perkara yang diajukan PKNU Sumut, Prof Arif menyarankan agar Pansus di DPRD Sumut berkonsultasi ke Mahkamah Konstitusi (MK).
“Mendagri mengacu pasal 174 dalam pemilihan cawagubsu, tapi surat Mendagri itu sudah dibatalkan oleh putusan PTUN. Agar tidak ada kekeliruan, alangkah baiknya Pansus berkonsultasi ke MK, sehingga tidak ada multi tafsir lagi ,” katanya.
Ribut-ribut dan tarik-menarik kepentingan di dalam proses pemilihan cawagubsu, diyakininya akan mempengaruhi tingkat kepercayaan masyarakat kepada pemerintah. “Persentasi kepercayaan masyarakat kepada pemerintah itu kecil, sekitar 30 persen. Kalau terus-terusan begini, akan makin kecil kepercayaan masyarakat kepada pemangku kepentingan,” sebutnya.
Sementara anggota DPRD Sumut, Sutrisno Pangaribuan memastikan dirinya akan mendukung pelaksanaan sidang paripurna pemilihan cawagubsu jika mengacu kepada pasal 176 UU No 10/2016.
Menurutnya, surat Kemendagri tidak bisa dijadikan dasar pegangan oleh pansus. Karena telah bertentangan.
“Ini sudah kesalahan kolektif secara kelembagaan, harusnya UU yang dijadikan patokan, bukan surat Mendagri,” tegas politisi yang dikenal vokal itu.
Maka dari itu, dia menilai, baik PKNU, PPN serta Patriot yang ikut menjadi parpol pengusung pasangan Ganteng pada Pilgubsu 2013 lalu tetap berhak mengajukan nama kepada gubernur.
“Lakukan saja seharusnya kewajibannya, karena itu memang amanat dari UU,” cetusnya.
Secara khusus, Sutrisno mengaku tidak pernah berkomunikasi dengan PPN, Patrito serta PKNU. Namun, ia mengakui selalu berada tiga parpol non seat itu karena sama-sama mengerti atas UU.
Sutrisno coba menempatkan dirinya pada posisi parpol pengusung nonseat yang saat ini telah dizalimi. “Andaikan PDI-P dimasa yang akan datang merasakan hal yang sama, tentu sedih. Makanya, saya ingin membela siapa yang benar,” terangnya.
“Pasal 174 itu dipakai ketika posisi gubernur dan wakil gubernur sama-sama berhalangan. Sedangkan untuk masalah yang menimpa Sumut itu menggunakan pasal 176,” tukasnya.