Kontan saja petugas paramedis dan relawan sibuk membujuknya agar berhenti menangis. Ada yang mengusap-usap kepalanya, ada yang menawarkan coklat, dan ada yang memanggil ibunya.
Tetapi meski sang ibu sudah datang, Aulia tetap menjerit-jerit tak mau operasi.
Seorang relawan Martabe menawarkan permen dan langsung memasukkan permen itu ke mulut Aulia. Begitu lidahnya mencecap manisnya permen, Aulia berhenti menangis.
Oleh paramedis di ruang anestesi, daerah sekitar mata kirinya disuntik bius. Aulia masih diam mengecap manisnya permen. Namun begitu daerah sekitar mata kanannya mau disuntik lagi, ia mewek: “Tuh.. mau disuntik bius lagi kan…,” tangisnya dalam bahasa Mandailing.
Untunglah tahapan bius sukses. Ia pun dipindah ke ruang operasi.
Namun begitu peralatan operasi menyorot ke matanya, ia kembali ketakutan dan tangisnya meledak. “Huaaaa, Nggak mau akuuuu….”
Paramedis kembali sibuk membujuknya.
Seorang relawan dari Drs Koffie yang paham psikologi anak, berinisiatif mengalihkan perhatian Aulia dari suasana operasi. “Kita nyanyi yuk,” ajaknya.
Sang relawan memimpin tim medis menyanyikan lagu ’Sayang Semuanya’ ciptaan Bu Kasur. “Satu satu… aku sayang ibu. Dua dua… juga sayang ayah…”
Syukurlah, pelan-pelan perhatian Aulia berhasil teralihkan, dan operasinya berjalan dengan lancar.
Usai operasi, Aulia mengaku matanya terasa sakit. Tapi ia tidak menangis lagi.
”Sakit, pak. Bisa kita pulang?” hibanya.
”Besoklah kita pulang ya nak,” jawab ayahnya.
”Sekaranglah ya…,” pintanya lagi. Sang ibu hanya mengelus kepalanya.
Tak lama kemudian, ia tertidur.
Keesokan harinya, Aulia kembali rewel saat penutup matanya dibuka dan ditetes obat mata. Untunglah, dia berhasil dihibur dengan janji bakal pulang hari itu juga.
”Senang anak kami sudah dioperasi. Semoga ia semakin semangat belajar. Sebenarnya, masih banyak warga kampung kami yang menunggu kesempatan bisa ikut operasi katarak gratis. Tetapi ada sebagian yang takut, sebagian lagi susah meninggalkan kerjaan di sawah karena banyak tanggungan,” kata Shahban menutup pembicaraan. (*)