33.9 C
Medan
Friday, May 10, 2024

Remaja 18 Tahun Direkrut jadi Bandar Sabu

Memang ada fenomena orang yang menjadi bandar narkotika kian muda. Hal tersebut terlihat dari kasus lain yang ditangani BNN, Sabtu (4/11) seorang pemuda berusia 20 tahun berinisial RA ditangkap karena membawa sabu dengan jumlah yang fantastis, 133 kg dan 8.500 butir ekstasi. Lokasi kejadian masih sama, Aceh.

“Narkotika itu berasal dari Malaysia yang dimasukkan ke Aceh menggunakan kapal nelayan. Begitu sampai ke Aceh, sabu dan ekstasi ini disimpan di rumah pelaku lain berinisial M dengan cara dikubur di pekarangan rumah,” terangnya.

Dia mengatakan, pemberantasan dan pencegahan narkotika memang perlu dilakukan lebih masif. Utamanya, untuk melindungi generasi bangsa yang menjadi sasaran bandar narkotika. “Pemberantasan narkotika kian urgen,” tuturnya.

Komisioner KPAI bidang kesehatan dan napza Sitti Hikmawatty menuturkan, pada Mei lalu terdapat seorang anak usia 16 tahun yang ditangkap karena membawa 1,6 kg sabu di Parepare, Sulawesi Selatan. Penangkapan kali ini jauh lebih besar dengan 30 kg sabu. “Ini sungguh mengkhawatirkan,” ujarnya.

Pengaduan adanya anak yang menjadi bandar tiap tahun selalu terjadi. Pada 2011 terdapat 12 anak, 2012 naik menjadi 17 anak, 2013 menjadi 21 anak, kenaikan drastis terjadi pada 2014 dengan 48 anak, untuk 2015 dan 2016 jumlahnya sama 31 anak. Terakhir hingga pertengahan 2017 terdapat 18 anak. “Jumlah ini hanya yang mengadu, jumlahnya jauh lebih besar sebenarnya,” tuturnya.

Keterlibatan anak dalam peredaran narkotika ini kemungkinan besar memang direncanakan bandar. Sitti menuturkan, saat ini tidak lagi hanya perluasan pasar dengan menyasar anak-anak sebagai konsumen narkotika. Namun, juga dilakukan perluasan marketing bandar narkotika. ”Maka, anak-anak yang dijadikan target menjadi kepanjangan tangan bandar,” keluhnya.

Realitasnya, saat ada anak-anak yang didekati oleh orang dewasa, tentu pihak sekolah dan masyarakat lebih curiga. Mengapa ada orang dewasa yang mendekati anak-anak. Namun, bila anak sebayanya yang menjadi bandar menawarkan narkotika, siapa yang bisa menduga. ”Inilah yang ditargetkan bandar, ini yang kami dapat setelah melakukan diskusi dengan berbagai penegak hukum,” ujarnya.

Menurutnya, kunci utama dalam mencegah anak terlibat dalam narkotika adalah pertahanan keluarga. Keluarga harus membangun komunikasi yang intens untuk bisa mendeteksi kondisi anak. Sekaligus, keluarga harus membangun kepekaan anak terhadap narkotika. “Anak harus punya kekhawatiran, yang dianggapnya enak seperti narkotika ini berbahaya,” terangnya.

Dia juga menghimbau pada penegak hukum untuk memproses secara khusus sesuai SPPA. Anak tidak boleh disebut sebagai terdakwa dalam persidangan, vonisnya juga harus lebih ringan sesuai dengan aturan. ”Anak masih memiliki jalan yang panjang. Mereka masih bisa diselamatkan,” tegasnya. (idr/jpg/ril)

Memang ada fenomena orang yang menjadi bandar narkotika kian muda. Hal tersebut terlihat dari kasus lain yang ditangani BNN, Sabtu (4/11) seorang pemuda berusia 20 tahun berinisial RA ditangkap karena membawa sabu dengan jumlah yang fantastis, 133 kg dan 8.500 butir ekstasi. Lokasi kejadian masih sama, Aceh.

“Narkotika itu berasal dari Malaysia yang dimasukkan ke Aceh menggunakan kapal nelayan. Begitu sampai ke Aceh, sabu dan ekstasi ini disimpan di rumah pelaku lain berinisial M dengan cara dikubur di pekarangan rumah,” terangnya.

Dia mengatakan, pemberantasan dan pencegahan narkotika memang perlu dilakukan lebih masif. Utamanya, untuk melindungi generasi bangsa yang menjadi sasaran bandar narkotika. “Pemberantasan narkotika kian urgen,” tuturnya.

Komisioner KPAI bidang kesehatan dan napza Sitti Hikmawatty menuturkan, pada Mei lalu terdapat seorang anak usia 16 tahun yang ditangkap karena membawa 1,6 kg sabu di Parepare, Sulawesi Selatan. Penangkapan kali ini jauh lebih besar dengan 30 kg sabu. “Ini sungguh mengkhawatirkan,” ujarnya.

Pengaduan adanya anak yang menjadi bandar tiap tahun selalu terjadi. Pada 2011 terdapat 12 anak, 2012 naik menjadi 17 anak, 2013 menjadi 21 anak, kenaikan drastis terjadi pada 2014 dengan 48 anak, untuk 2015 dan 2016 jumlahnya sama 31 anak. Terakhir hingga pertengahan 2017 terdapat 18 anak. “Jumlah ini hanya yang mengadu, jumlahnya jauh lebih besar sebenarnya,” tuturnya.

Keterlibatan anak dalam peredaran narkotika ini kemungkinan besar memang direncanakan bandar. Sitti menuturkan, saat ini tidak lagi hanya perluasan pasar dengan menyasar anak-anak sebagai konsumen narkotika. Namun, juga dilakukan perluasan marketing bandar narkotika. ”Maka, anak-anak yang dijadikan target menjadi kepanjangan tangan bandar,” keluhnya.

Realitasnya, saat ada anak-anak yang didekati oleh orang dewasa, tentu pihak sekolah dan masyarakat lebih curiga. Mengapa ada orang dewasa yang mendekati anak-anak. Namun, bila anak sebayanya yang menjadi bandar menawarkan narkotika, siapa yang bisa menduga. ”Inilah yang ditargetkan bandar, ini yang kami dapat setelah melakukan diskusi dengan berbagai penegak hukum,” ujarnya.

Menurutnya, kunci utama dalam mencegah anak terlibat dalam narkotika adalah pertahanan keluarga. Keluarga harus membangun komunikasi yang intens untuk bisa mendeteksi kondisi anak. Sekaligus, keluarga harus membangun kepekaan anak terhadap narkotika. “Anak harus punya kekhawatiran, yang dianggapnya enak seperti narkotika ini berbahaya,” terangnya.

Dia juga menghimbau pada penegak hukum untuk memproses secara khusus sesuai SPPA. Anak tidak boleh disebut sebagai terdakwa dalam persidangan, vonisnya juga harus lebih ringan sesuai dengan aturan. ”Anak masih memiliki jalan yang panjang. Mereka masih bisa diselamatkan,” tegasnya. (idr/jpg/ril)

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/