27.8 C
Medan
Friday, May 17, 2024

Melawan Tirani Lokal

Ansor Harahap

Usia muda tidak bisa dijadikan alasan untuk memberikan kontribusi pada perubahan di tengah-tengah masyarakat. Keteguhan sikap menjaga prinsip menjadi tameng arah perjuangan yang dilakoninya.

Hal itu tampaknya yang ingin ditunjukkan mahasiswa ekstensi Ilmu Administrasi Negara Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Univesitas Sumatera Utara (USU) Ansor Harahap (27) ini lewat buku berjudul “Melawan Tirani Lokal”. Meskipun mengacu pada daerah kelahirannya tanpa metode ilmiah  dan hanya mengandalkan dokumentasi dari fakta dan kenyataan yang ada, buku ini layak mendapat apresiasi positif. Pasalnya banyaknya tokoh pergerakan yang lupa melakukannya.

“Begitulah, banyak yang terlewat ketika kita sibuk dengan perjuangan. Jadi, saya berpikir untuk mengabadikan apa yang telah saya lakukan, baik dalam tulisan di media massa maupun tindakan nyata. Saya berharap, buku tersebut mampu menjadi saksi sejarah dalam perjuangan menuju Sumatera Utara yang lebih baik,” buka Ansor.
Tanpa berusaha membanggakan diri, Ansor menjelaskan kalau buku yang dia terbitkan tersebut tak lain dari tabungannya sendiri. “Selain itu ada juga yang simpati hingga menyumbangkan dananya. Yang jelas, kita akan terus berjuang,” tambahnya.

Dalam buku pertamanya ini dengan lantang dirinya menyuarakan bagaimana gagalnya pemerintah daerah; kabupaten/kota menjalankan demokrasi pada otonomi daerah. Termasuk kegagalan Pemkab Padang Lawas dalam mensejahterakan masyarakatnya setelah pemekaran 2007 silam.

Ansor juga melihat hubungan yang kuat dengan kegagalan sebahagian besar pemerintah kabupaten/kota dalam menjalankan peran dan fungsinya mensejahterakan masyarakat. Dimana kekuasaan yang beralih ke tingkat lokal melalui otonomi daerah justru menyuburkan korupsi, tirani, dan kolusi. Tanpa ada keinginan untuk perbaikan melalui the right man in the right place sehingga kesejahteraan masyarakat, kesejahteraan ekonomi, pendidikan, juga kesehatan dapat diwujudkan.

Bagaimana money politik sebagai dampak kegagalan memahami otonomi daerah menghiasi pesta demokrasi di tengah-tengah masyarakat. Sehingga lelang jabatan, rekrutman Pegawai Negeri Sipil (PNS), eksplorasi sumber daya alam, dan rekayasa proyek menjadi jalan untuk mengembalikan biaya yang dikeluarkan oleh sang pemenang. “Kondisi di Padang Lawas saya lihat juga terjadi di hampir semua kabupaten/kota di negara ini. Hanya beberapa seperti Kabupaten Jembrana, Kabupaten Solok, Kota Solo, Kabupaten Gorontalo, dan kalau di Sumut sendiri Kabupaten Serdang Bedagai yang terbilang sukses memahami otonomi daerah tadi,” tegas Ansor, Minggu (27/2) lalu.

Sebagai buku pertamanya, “Melawan Tirani Lokal” mendapat sambutan positif dari banyak pihak. Prof dr Usman Pelly, Antropolog dan Guru Besar Universitas Negeri Medan melihat buku setebal 211 halaman ini sebagai cermin otonomi setengah hati. Begitu juga Prof dr Nur Ahmad Fadhil Lubis, Rektor Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Sumut yang menyebut sebagai satu figur gerakan mahasiswa kontemporer di daerah ini. Wakil Ketua DPRD Sumut dan Sekretaris PDI-P Sumut H M Affan bahkan menangkap semangat pergerakan yang tinggi untuk kebangkitan daerah yang bisa jadi referensi melihat potret buram kedaerahan dan intrik-intrik dalam kehidupan berkebangsaan yang makin redup.

Semua itu sebenarnya tak lepas dari masa kecil yang dilalui. Lahir dari keluarga petani di Desa Siundol Jae, Kecamatan Sosopan Padang Lawas, 2 Maret 1984 silam Ansor kecil tak mau menyerah mewujudkan keinginannya untuk maju. Lewat jalur Panduan Minat dan Prestasi (PMP) yang didapat dari SMA Negeri 1 Subulusalam, putra pasangan Ahmad Sahri Harahap dan Farida Hapni Hasibuan ini melanjutkan pendidikan di program diploma tiga Bahasa Inggris Fakultas Sastra USU 2003 lalu.

Di sini lah pilihan itu dibuat ketika memilih Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) sebagai wadah mengasah keintelektualannya yang kemudian dituangkan dalam bentuk tulisan di berbagai media kampus dan surat kabar Kota Medan. Tidak sebatas perkembangan organisasi tempatnya bernaung, tulisan Ansor kerap mewarnai wacana kebangsaan dan kerakyatan khususnya di level lokal. “Tidak harus pembahasan yang berat. Di sekitar kita juga banyak hal yang bisa diangkat dalam rangka membangun opini membangun. Untuk USU sendiri bagaimana jurusan banyak yang terabaikan. Padahal jurusan seperti Etnomusikologi, Sosiologi, dan Antropologi ini memiliki peran penting dalam perkembangan pendidikan kita. Begitu juga kenaikan uang SPP yang tidak diikuti dengan pengadaan fasilitas yang layak. Tak heran kalau USU hanya tinggal nama besar belaka,” tuturnya.

Ansor tidak cuma tampil dalam tulisan tapi langsung dalam pergerakan mahasiswa. Seperti 2007 saat memimpin Gerakan Mahasiswa Padang Lawas (Gema Padang Lawas) menginap di DPRD Sumut untuk pemekaran Padang Lawas. Begitu juga saat menghentikan 300 truk milik salah satu perusahaan yang diindikasi merugikan masyarakat 2010 lalu. “Masyarakat Padang Lawas butuh prasarana pemerintahan dan peraturan daerah (Perda) yang sampai sekarang tidak jelas,” bebernya. (jul)

Salut Pada Soe Hok Gie

Perjalanan yang begitu berat berhasil dilalui bukan tanpa pegangan. Terhadap hal itu Ansor Harahap mengaku terinspirasi pada tokoh pergerakan mahasiswa Soe Hok Gie pada 1960-an silam.

“Di mata saya tidak ada tokoh di Indonesia ini yang lebih baik dari Soe Hok Gie dalam mempertahankan idealismenya. Yang saya lakukan sekarang bahkan masih jauh dari menyerupai. Tapi jujur saja, saya kagum pada Soe Hok Gie,” aku Ansor .

Sekilas memang kehidupan Ansor tidak jauh beda dari kisah Soe Hok Gie yang tidak mau mengalah terhadap tekanan yang dialami semasa kecil hingga berhasil masuk ke perguruan tinggi negeri yang sama-sama terkenal. Begitu juga dalam pergerakannya Ansor dikenal sulit diajak kompromi dengan oposisinya. “Banyak tawaran yang datang. Baik dari pihak Pemkab Padang Lawas atau perusahaan-perusahaan yang menjadi objek kritikan saya. Namun tawaran tidak masuk dalam pilihan saya karena kita fokus pada kesejahteraan masyarakat. Dengan tidak membuka ruang untuk satu transaksional mudah-mudahan semua itu bisa diatasi,” tegasnya.

Demikian juga kekecewaan yang dialami Soe Hok Gie dengan sikap teman seangkatannya yang di era demonstrasi 1960-an yang lupa dengan visi dan misi perjuangan selepas mereka lulus, Ansor tetap menjaga perjuangannya.
Ketekunan dan ketulusan dalam perjuangan itu pula membuat Ansor selalu mendapat sambutan positif dari siapa pun yang ditemui. Walau pun hal itu tak pernah dilihat sebagai kelebihan. “Saya tidak pernah berpikir ke sana. Hanya saya selalu berusaha memberikan yang terbaik terhadap setiap kepercayaan yang diberikan. Begitu juga dalam berjuang ini setulus mungkin. Istilah gaulnya tidak neko-neko,” ucap Ansor merendah.

Satu yang pasti, dengan wawasan dan karya nyata yang sudah diperlihatkannya, di lingkungannya Ansor tetap merupakan pribadi yang santun.  (jul)

 

Ansor Harahap

Usia muda tidak bisa dijadikan alasan untuk memberikan kontribusi pada perubahan di tengah-tengah masyarakat. Keteguhan sikap menjaga prinsip menjadi tameng arah perjuangan yang dilakoninya.

Hal itu tampaknya yang ingin ditunjukkan mahasiswa ekstensi Ilmu Administrasi Negara Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Univesitas Sumatera Utara (USU) Ansor Harahap (27) ini lewat buku berjudul “Melawan Tirani Lokal”. Meskipun mengacu pada daerah kelahirannya tanpa metode ilmiah  dan hanya mengandalkan dokumentasi dari fakta dan kenyataan yang ada, buku ini layak mendapat apresiasi positif. Pasalnya banyaknya tokoh pergerakan yang lupa melakukannya.

“Begitulah, banyak yang terlewat ketika kita sibuk dengan perjuangan. Jadi, saya berpikir untuk mengabadikan apa yang telah saya lakukan, baik dalam tulisan di media massa maupun tindakan nyata. Saya berharap, buku tersebut mampu menjadi saksi sejarah dalam perjuangan menuju Sumatera Utara yang lebih baik,” buka Ansor.
Tanpa berusaha membanggakan diri, Ansor menjelaskan kalau buku yang dia terbitkan tersebut tak lain dari tabungannya sendiri. “Selain itu ada juga yang simpati hingga menyumbangkan dananya. Yang jelas, kita akan terus berjuang,” tambahnya.

Dalam buku pertamanya ini dengan lantang dirinya menyuarakan bagaimana gagalnya pemerintah daerah; kabupaten/kota menjalankan demokrasi pada otonomi daerah. Termasuk kegagalan Pemkab Padang Lawas dalam mensejahterakan masyarakatnya setelah pemekaran 2007 silam.

Ansor juga melihat hubungan yang kuat dengan kegagalan sebahagian besar pemerintah kabupaten/kota dalam menjalankan peran dan fungsinya mensejahterakan masyarakat. Dimana kekuasaan yang beralih ke tingkat lokal melalui otonomi daerah justru menyuburkan korupsi, tirani, dan kolusi. Tanpa ada keinginan untuk perbaikan melalui the right man in the right place sehingga kesejahteraan masyarakat, kesejahteraan ekonomi, pendidikan, juga kesehatan dapat diwujudkan.

Bagaimana money politik sebagai dampak kegagalan memahami otonomi daerah menghiasi pesta demokrasi di tengah-tengah masyarakat. Sehingga lelang jabatan, rekrutman Pegawai Negeri Sipil (PNS), eksplorasi sumber daya alam, dan rekayasa proyek menjadi jalan untuk mengembalikan biaya yang dikeluarkan oleh sang pemenang. “Kondisi di Padang Lawas saya lihat juga terjadi di hampir semua kabupaten/kota di negara ini. Hanya beberapa seperti Kabupaten Jembrana, Kabupaten Solok, Kota Solo, Kabupaten Gorontalo, dan kalau di Sumut sendiri Kabupaten Serdang Bedagai yang terbilang sukses memahami otonomi daerah tadi,” tegas Ansor, Minggu (27/2) lalu.

Sebagai buku pertamanya, “Melawan Tirani Lokal” mendapat sambutan positif dari banyak pihak. Prof dr Usman Pelly, Antropolog dan Guru Besar Universitas Negeri Medan melihat buku setebal 211 halaman ini sebagai cermin otonomi setengah hati. Begitu juga Prof dr Nur Ahmad Fadhil Lubis, Rektor Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Sumut yang menyebut sebagai satu figur gerakan mahasiswa kontemporer di daerah ini. Wakil Ketua DPRD Sumut dan Sekretaris PDI-P Sumut H M Affan bahkan menangkap semangat pergerakan yang tinggi untuk kebangkitan daerah yang bisa jadi referensi melihat potret buram kedaerahan dan intrik-intrik dalam kehidupan berkebangsaan yang makin redup.

Semua itu sebenarnya tak lepas dari masa kecil yang dilalui. Lahir dari keluarga petani di Desa Siundol Jae, Kecamatan Sosopan Padang Lawas, 2 Maret 1984 silam Ansor kecil tak mau menyerah mewujudkan keinginannya untuk maju. Lewat jalur Panduan Minat dan Prestasi (PMP) yang didapat dari SMA Negeri 1 Subulusalam, putra pasangan Ahmad Sahri Harahap dan Farida Hapni Hasibuan ini melanjutkan pendidikan di program diploma tiga Bahasa Inggris Fakultas Sastra USU 2003 lalu.

Di sini lah pilihan itu dibuat ketika memilih Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) sebagai wadah mengasah keintelektualannya yang kemudian dituangkan dalam bentuk tulisan di berbagai media kampus dan surat kabar Kota Medan. Tidak sebatas perkembangan organisasi tempatnya bernaung, tulisan Ansor kerap mewarnai wacana kebangsaan dan kerakyatan khususnya di level lokal. “Tidak harus pembahasan yang berat. Di sekitar kita juga banyak hal yang bisa diangkat dalam rangka membangun opini membangun. Untuk USU sendiri bagaimana jurusan banyak yang terabaikan. Padahal jurusan seperti Etnomusikologi, Sosiologi, dan Antropologi ini memiliki peran penting dalam perkembangan pendidikan kita. Begitu juga kenaikan uang SPP yang tidak diikuti dengan pengadaan fasilitas yang layak. Tak heran kalau USU hanya tinggal nama besar belaka,” tuturnya.

Ansor tidak cuma tampil dalam tulisan tapi langsung dalam pergerakan mahasiswa. Seperti 2007 saat memimpin Gerakan Mahasiswa Padang Lawas (Gema Padang Lawas) menginap di DPRD Sumut untuk pemekaran Padang Lawas. Begitu juga saat menghentikan 300 truk milik salah satu perusahaan yang diindikasi merugikan masyarakat 2010 lalu. “Masyarakat Padang Lawas butuh prasarana pemerintahan dan peraturan daerah (Perda) yang sampai sekarang tidak jelas,” bebernya. (jul)

Salut Pada Soe Hok Gie

Perjalanan yang begitu berat berhasil dilalui bukan tanpa pegangan. Terhadap hal itu Ansor Harahap mengaku terinspirasi pada tokoh pergerakan mahasiswa Soe Hok Gie pada 1960-an silam.

“Di mata saya tidak ada tokoh di Indonesia ini yang lebih baik dari Soe Hok Gie dalam mempertahankan idealismenya. Yang saya lakukan sekarang bahkan masih jauh dari menyerupai. Tapi jujur saja, saya kagum pada Soe Hok Gie,” aku Ansor .

Sekilas memang kehidupan Ansor tidak jauh beda dari kisah Soe Hok Gie yang tidak mau mengalah terhadap tekanan yang dialami semasa kecil hingga berhasil masuk ke perguruan tinggi negeri yang sama-sama terkenal. Begitu juga dalam pergerakannya Ansor dikenal sulit diajak kompromi dengan oposisinya. “Banyak tawaran yang datang. Baik dari pihak Pemkab Padang Lawas atau perusahaan-perusahaan yang menjadi objek kritikan saya. Namun tawaran tidak masuk dalam pilihan saya karena kita fokus pada kesejahteraan masyarakat. Dengan tidak membuka ruang untuk satu transaksional mudah-mudahan semua itu bisa diatasi,” tegasnya.

Demikian juga kekecewaan yang dialami Soe Hok Gie dengan sikap teman seangkatannya yang di era demonstrasi 1960-an yang lupa dengan visi dan misi perjuangan selepas mereka lulus, Ansor tetap menjaga perjuangannya.
Ketekunan dan ketulusan dalam perjuangan itu pula membuat Ansor selalu mendapat sambutan positif dari siapa pun yang ditemui. Walau pun hal itu tak pernah dilihat sebagai kelebihan. “Saya tidak pernah berpikir ke sana. Hanya saya selalu berusaha memberikan yang terbaik terhadap setiap kepercayaan yang diberikan. Begitu juga dalam berjuang ini setulus mungkin. Istilah gaulnya tidak neko-neko,” ucap Ansor merendah.

Satu yang pasti, dengan wawasan dan karya nyata yang sudah diperlihatkannya, di lingkungannya Ansor tetap merupakan pribadi yang santun.  (jul)

 

Previous article
Next article

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/