28.9 C
Medan
Sunday, June 23, 2024

Idris Pasaribu Indah Bersastra

Wesel berisi honor penulisan cerita pendek (cerpen) di salah satu media yang diumumkan di lapangan sekolah menjadi kenangan terindah bagi Idris Pasaribu SH (58). Kepuasan yang hanya ditemuinya di dunia sastra itu pun tak mau ia lepaskan.

“Waktu kelas satu SMA cerpen saya “Daun Cemara Pada Gugur” terbit di majalah Mutiara (terbitan Jakarta, Red), pada 1962 lalu dan saya dapat honor yang saat itu masih menggunakan wesel. Karena saya pakai alamat sekolah, wesel tadi pun diumumkan di sekolah. Jumlahnya waktu itu honor empat bulan uang sekolah langsung saya beli celana ‘saddle king’, baju ‘rider’, dan sepatu MBC yang kala itu terbilang keren,” kenang Idris yang ditemui Sumut Pos, Selasa (24/5) lalu.

Begitulah sejak mengenal sastra di usia 16 tahun, dirinya seolah tak lepas dari kegiatan tulis-menulis. Di bawah asuhan guru-guru yang menginspirasi, di antaranya Simatupang dan Simon Simanulang satu per satu karya pun dilahirkan. Dari mengisi majalah dinding di sekolahnya hingga mengisi beberapa rubrik di media massa. “Mereka selalu bilang sastra dan bahasa adalah disiplin ilmu yang harus dipelajari. Mereka juga selalu menekankan bahwa bukan penyair yang menulis syair melainkan syair lah yang menjadikan seorang penyair. Jadi tulis saja karya sastra sebaik-baiknya,” tambahnya.

Melanjutkan pendidikan di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara (USU) tak mengurangi ketertarikan dengan menulis. Dengan cara-cara yang kreatif dan nakal referensi dikumpulkan untuk kemudian melahirkan cerpen-cerpen bernuansa lokal yang kental. Bagi Idris, dengan keberagaman yang ada Sumut menyimpan kekayaan akan sebuah kekuatan karya sastra.

Penggalian kearifan lokal tadi pun akan memenuhi panggilan sebagai seorang sastrawan yaitu sebagai saksi zaman. Yaitu, fatwa pujangga yang tidak bicara benar dan salah, hanya untuk direnungkan. Semua kenikmatan tadi membulatkan bapak dari tiga anak ini menolak profesi yang lebih menjanjikan di bidang lain.

Terlebih keterlibatan di organisasi beraliran nasionalis memancing rasa ingin tahu yang lebih besar. Kritik pun disalurkan dengan cara yang etis pada novel perdananya “Acek Botak” yang diterbitkan di Jakarta 2009 lalu. Bagaimana Idris menggambarkan keberadaan warga Tionghoa di Indonesia dari riset empat tahun yang dilakukan.
Begitu juga novel kedua “Bincalang” yang rencananya diterbitkan pada Juni 2011 ini. Mengangkat aktivitas masyarakat Bincalang yang dilakukan di atas perahu. Berikut istilah-istilah keseharian pada masyarakat yang kian hilang digerus modernisasi. “Jakarta adalah perusak bahasa Indonesia, ayo kita lawan dengan mengangkat kembali istilah-istilah yang ada di tengah-tengah masyarakat kita karena setiap daerah memiliki kearifan lokal sendiri-sendiri,” tegasnya.

Menatap tema-tema sastra yang muncul belakangan, pentolan Komunitas Sastra Indonesia cabang Medan ini mengaku prihatin. Meskipun dirinya melihat hal itu dampak dari mati surinya organisasi dan komunitas sastra yang ada dalam pembinaan anggotanya. Diskusi-diskusi sastra juga kian jarang dilakukan. Belum lagi kebutuhan hidup yang cenderung dijadikan pembenaran untuk tidak melahirkan karya yang berkualitas.

Dalam perjalanannya sebagai penulis, kakek dari tiga cucu ini pun mengalami banyak liku. Dari pembredelan Patriot Jaya yang mengancam kehidupannya, berjalan kaki dari Taman Budaya sampai Istana Maimun untuk mendapatkan angkutan ke Deli Tua karena kemalaman, sampai menjual petak tanah untuk menerbitkan novel perdananya.
“Jadi sebenarnya sekarang lebih mudah. Untuk referensi bisa dilihat di Titi Gantung, mau ke mana juga banyak angkutan dan dekat. Asal ada minat, tantangan itu akan indah,” pungkas sastrawan yang juga  redaktur budaya di Harian Analisa itu. (jul)

Wesel berisi honor penulisan cerita pendek (cerpen) di salah satu media yang diumumkan di lapangan sekolah menjadi kenangan terindah bagi Idris Pasaribu SH (58). Kepuasan yang hanya ditemuinya di dunia sastra itu pun tak mau ia lepaskan.

“Waktu kelas satu SMA cerpen saya “Daun Cemara Pada Gugur” terbit di majalah Mutiara (terbitan Jakarta, Red), pada 1962 lalu dan saya dapat honor yang saat itu masih menggunakan wesel. Karena saya pakai alamat sekolah, wesel tadi pun diumumkan di sekolah. Jumlahnya waktu itu honor empat bulan uang sekolah langsung saya beli celana ‘saddle king’, baju ‘rider’, dan sepatu MBC yang kala itu terbilang keren,” kenang Idris yang ditemui Sumut Pos, Selasa (24/5) lalu.

Begitulah sejak mengenal sastra di usia 16 tahun, dirinya seolah tak lepas dari kegiatan tulis-menulis. Di bawah asuhan guru-guru yang menginspirasi, di antaranya Simatupang dan Simon Simanulang satu per satu karya pun dilahirkan. Dari mengisi majalah dinding di sekolahnya hingga mengisi beberapa rubrik di media massa. “Mereka selalu bilang sastra dan bahasa adalah disiplin ilmu yang harus dipelajari. Mereka juga selalu menekankan bahwa bukan penyair yang menulis syair melainkan syair lah yang menjadikan seorang penyair. Jadi tulis saja karya sastra sebaik-baiknya,” tambahnya.

Melanjutkan pendidikan di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara (USU) tak mengurangi ketertarikan dengan menulis. Dengan cara-cara yang kreatif dan nakal referensi dikumpulkan untuk kemudian melahirkan cerpen-cerpen bernuansa lokal yang kental. Bagi Idris, dengan keberagaman yang ada Sumut menyimpan kekayaan akan sebuah kekuatan karya sastra.

Penggalian kearifan lokal tadi pun akan memenuhi panggilan sebagai seorang sastrawan yaitu sebagai saksi zaman. Yaitu, fatwa pujangga yang tidak bicara benar dan salah, hanya untuk direnungkan. Semua kenikmatan tadi membulatkan bapak dari tiga anak ini menolak profesi yang lebih menjanjikan di bidang lain.

Terlebih keterlibatan di organisasi beraliran nasionalis memancing rasa ingin tahu yang lebih besar. Kritik pun disalurkan dengan cara yang etis pada novel perdananya “Acek Botak” yang diterbitkan di Jakarta 2009 lalu. Bagaimana Idris menggambarkan keberadaan warga Tionghoa di Indonesia dari riset empat tahun yang dilakukan.
Begitu juga novel kedua “Bincalang” yang rencananya diterbitkan pada Juni 2011 ini. Mengangkat aktivitas masyarakat Bincalang yang dilakukan di atas perahu. Berikut istilah-istilah keseharian pada masyarakat yang kian hilang digerus modernisasi. “Jakarta adalah perusak bahasa Indonesia, ayo kita lawan dengan mengangkat kembali istilah-istilah yang ada di tengah-tengah masyarakat kita karena setiap daerah memiliki kearifan lokal sendiri-sendiri,” tegasnya.

Menatap tema-tema sastra yang muncul belakangan, pentolan Komunitas Sastra Indonesia cabang Medan ini mengaku prihatin. Meskipun dirinya melihat hal itu dampak dari mati surinya organisasi dan komunitas sastra yang ada dalam pembinaan anggotanya. Diskusi-diskusi sastra juga kian jarang dilakukan. Belum lagi kebutuhan hidup yang cenderung dijadikan pembenaran untuk tidak melahirkan karya yang berkualitas.

Dalam perjalanannya sebagai penulis, kakek dari tiga cucu ini pun mengalami banyak liku. Dari pembredelan Patriot Jaya yang mengancam kehidupannya, berjalan kaki dari Taman Budaya sampai Istana Maimun untuk mendapatkan angkutan ke Deli Tua karena kemalaman, sampai menjual petak tanah untuk menerbitkan novel perdananya.
“Jadi sebenarnya sekarang lebih mudah. Untuk referensi bisa dilihat di Titi Gantung, mau ke mana juga banyak angkutan dan dekat. Asal ada minat, tantangan itu akan indah,” pungkas sastrawan yang juga  redaktur budaya di Harian Analisa itu. (jul)

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/